Denpasar (Antara Bali) - Ratusan umat Hindu Bali yang memiliki hari lahir pada "Wuku Wayang" yang dipercaya rawan musibah, melaksanakan ritual "Sapuh Leger" secara massal di Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi di Jalan Cekomaria, Denpasar, Sabtu.
"Sapuh Leger merupakan sebuah proses pembersihan badan manusia. Secara Hindu upacara ini dilakukan karena diyakini bahwa orang yang terlahir pada 'Wuku Wayang' dipercaya rawan terhadap musibah," kata Jro Mangku Putu Mas Sujana, pengurus Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi, Sabtu.
Ritual ini dilakukan oleh 545 orang yang lahir pada Wuku Wayang, yakni hitungan hari dalam sepekan berdasarkan penanggalan tahun Saka di Bali.
"Upacara seperti ini wajib dilakukan sekali seumur hidup oleh orang yang lahir pada 'wuku' (pekan) tersebut," katanya.
Sebelum melaksanakan upacara inti Sapuh leger atau menyapu hal-hal yang buruk, peserta upacara yang dalam urutan keluarganya memiliki kakak dan adik yang telah meninggal dunia, wajib melaksanakan upacara "Sanan Empeg" dengan mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali.
"Sanan Empeg ini bermakna, di mana orang yang terlahir pada 'Wuku Wayang' dan memiliki kakak atau adik yang sudah meninggal dunia, dikhawatirkan kehidupannya tidak seimbang," ujarnya.
Untuk menyeimbangkan itu, peserta "Sanan Empeg" diwajibkan memiluk sejaji dengan "sanan" (alat pikulan berupa sebilah bambu), di mana beban di bagian depan dan belakang harus seimbang.
Dengan beban yang seimbang itu mereka kemudian berjalan berputar mengitari tumpukan "banten" yang telah disiapkan. "Sanan dimaksud melambangkan keseimbangan kehidupan," ucapnya menjelaskan.
Upacara Sapuh Leger untuk umat Hindu yang terlahir pada Wuku Wayang itu dilakukan Sabtu, bertepatan dengan hari "Tumpek Wayang".
Tumpek Wayang didedikasikan pada hal-hal yang telah berjasa pada manusia, salah satunya wayang. Sehingga pada hari tersebut wayang-wayang di Bali juga wajib diupacarai.
Untuk itu, kata dia, dalam ritual Sapuh Leger juga disertakan wayang-wayang dengan berabagi macam penokohannya.
Sebagai puncak ritual, setelah melakukan persembahyangan bersama, ratusan orang ber-Wuku Wayang tersebut secara bergantian melakukan Sapuh Leger, yakni menyapu hal buruk dengan cara menyiramkan air suci di atas kepalanya.
Penyiraman air suci tersebut dilakukan oleh para pemangku atau pemimpin spriritual umat Hindu.
"Air suci yang kami gunakan itu merupakan air dari sembilan pancuran atau dari sumbernya para mata air di Tampaksiring, Segara, dan Campuhan," katanya menjelaskan.
Peserta ritual Sapuh Leger yang digelar oleh Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi ini diikuti oleh umat Hindu yang terlahir pada Wuku Wayang, tanpa membedakan kasta yang dimiliki oleh masyarakat Bali.
"Upacara ini diikuti semua masyarakat, tidak mengenal kasta. Baik dari kasta atau warga Brahmana, Gusti, Pradewa, Pujangga, maupun Satria, semua bisa mengikuti," katanya.
Ritual ini dilaksakan secara massal karena dalam pelaksanaannya membutuhkan banyak waktu dan dana yang besar untuk menyiapkan keperluan upacara seperti banten atau sesaji.
Sehubungan penyelenggeraannya secara massal, setiap peserta cukup hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp500 ribu.
"Untuk keseluruhan upacara massal ini, telah mengahabiskan dana sekitar Rp100 juta," kata Jero Mangku Putu Mas Sujana menambahkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011
"Sapuh Leger merupakan sebuah proses pembersihan badan manusia. Secara Hindu upacara ini dilakukan karena diyakini bahwa orang yang terlahir pada 'Wuku Wayang' dipercaya rawan terhadap musibah," kata Jro Mangku Putu Mas Sujana, pengurus Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi, Sabtu.
Ritual ini dilakukan oleh 545 orang yang lahir pada Wuku Wayang, yakni hitungan hari dalam sepekan berdasarkan penanggalan tahun Saka di Bali.
"Upacara seperti ini wajib dilakukan sekali seumur hidup oleh orang yang lahir pada 'wuku' (pekan) tersebut," katanya.
Sebelum melaksanakan upacara inti Sapuh leger atau menyapu hal-hal yang buruk, peserta upacara yang dalam urutan keluarganya memiliki kakak dan adik yang telah meninggal dunia, wajib melaksanakan upacara "Sanan Empeg" dengan mengitari berbagai sesaji atau banten searah jarum jam sebanyak tiga kali.
"Sanan Empeg ini bermakna, di mana orang yang terlahir pada 'Wuku Wayang' dan memiliki kakak atau adik yang sudah meninggal dunia, dikhawatirkan kehidupannya tidak seimbang," ujarnya.
Untuk menyeimbangkan itu, peserta "Sanan Empeg" diwajibkan memiluk sejaji dengan "sanan" (alat pikulan berupa sebilah bambu), di mana beban di bagian depan dan belakang harus seimbang.
Dengan beban yang seimbang itu mereka kemudian berjalan berputar mengitari tumpukan "banten" yang telah disiapkan. "Sanan dimaksud melambangkan keseimbangan kehidupan," ucapnya menjelaskan.
Upacara Sapuh Leger untuk umat Hindu yang terlahir pada Wuku Wayang itu dilakukan Sabtu, bertepatan dengan hari "Tumpek Wayang".
Tumpek Wayang didedikasikan pada hal-hal yang telah berjasa pada manusia, salah satunya wayang. Sehingga pada hari tersebut wayang-wayang di Bali juga wajib diupacarai.
Untuk itu, kata dia, dalam ritual Sapuh Leger juga disertakan wayang-wayang dengan berabagi macam penokohannya.
Sebagai puncak ritual, setelah melakukan persembahyangan bersama, ratusan orang ber-Wuku Wayang tersebut secara bergantian melakukan Sapuh Leger, yakni menyapu hal buruk dengan cara menyiramkan air suci di atas kepalanya.
Penyiraman air suci tersebut dilakukan oleh para pemangku atau pemimpin spriritual umat Hindu.
"Air suci yang kami gunakan itu merupakan air dari sembilan pancuran atau dari sumbernya para mata air di Tampaksiring, Segara, dan Campuhan," katanya menjelaskan.
Peserta ritual Sapuh Leger yang digelar oleh Mahagotra Pasek Sanak Sapta Resi ini diikuti oleh umat Hindu yang terlahir pada Wuku Wayang, tanpa membedakan kasta yang dimiliki oleh masyarakat Bali.
"Upacara ini diikuti semua masyarakat, tidak mengenal kasta. Baik dari kasta atau warga Brahmana, Gusti, Pradewa, Pujangga, maupun Satria, semua bisa mengikuti," katanya.
Ritual ini dilaksakan secara massal karena dalam pelaksanaannya membutuhkan banyak waktu dan dana yang besar untuk menyiapkan keperluan upacara seperti banten atau sesaji.
Sehubungan penyelenggeraannya secara massal, setiap peserta cukup hanya mengeluarkan biaya sebesar Rp500 ribu.
"Untuk keseluruhan upacara massal ini, telah mengahabiskan dana sekitar Rp100 juta," kata Jero Mangku Putu Mas Sujana menambahkan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2011