Tabanan (Antara Bali) - Pertunjukan seni dan budaya yang mengangkat cerita lahirnya I Gusti Ngurah Rai hingga perjuangan melawan penjajah Belanda mewarnai puncak peringatan 100 tahun (satu abad) Pahlawan Nasional tersebut di Taman Makam Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Margarana, Kabupaten Tabanan, Senin.

Wakil Gubernur Bali I Ketut Sudikerta hadir dalam acara tersebut bersama anggota DPR RI, DPD RI Dapil Bali, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah Provinsi Bali, Ketua Legiun Veteran dan Keluarga besar pahlawan nasional asal Bali tersebut.

Kegiatan yang melibatkan masyarakat sekitar Candi Pahlawan tersebut mengusung tema "Mengobarkan Semangat Perjuangan Kebangsaan Kolonel (Anm) I Gusti Ngurah Rai" yang mendapat perhatian besar masyarakat di daerah "gudang beras" Pulau Dewata itu.

I Gusti Ngurah Alit Yudha, salah seorang putra bungsu Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai mengungkapkan, dalam hiruk-pikuk mengenang peringatan 100 tahun I Gusti Ngurah Rai, ia kembali terkenang pada surat jawaban ayahnya ( I Gusti Ngurah Rai) kepada panglima tentara penjajah Belanda di Bali.

Itu adalah sebuah surat jawaban yang heroik dan bersejarah, yang oleh para pejuang kemerdekaan di Bali dikenal sebagai "Surat Sakti".

Menurut Alit, substansi Surat Sakti itu menunjukkan bahwa I Gusti Ngurah Rai bukan seorang kompromis, katanya. Pihaknya lalu merasa bangga dengan makna surat jawaban itu, sebab hal itu menunjukkan bahwa Pak Rai telah sejak lama menunjukkan dirinya sebagai seorang nasionalis, dan berjuang untuk NKRI. Bahwa semua keputusan politik harus ditentukan oleh pemerintah pusat.

Dikatakan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam surat jawaban tersebut, adalah sebuah pesan moral kepada generasi baru Indonesia.

"NKRI yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 adalah sebuah pusaka yang harus selalu dikenang, dipahami, dijadikan referensi, dan dilaksanakan dalam berbangsa dan bernegara," Alit Yudha.

Oleh sebab itu mantan anggota DPR RI tersebut menambahkan, kepentingan nasional harus ditempatkan di atas kepentingan daerah, kelompok, partai, golongan, dan kepentingan pribadi.

Bercermin dari itu dia mengharapkan, momentum peringatan satu abad I Gusti Ngurah Rai, dapat dijadikan tonggak baru dalam berbangsa dan bernegara. Selain itu, peringatan 100 tahun I Gusti Ngurah Rai memiliki tujuan untuk mengobarkan kembali semangat kebangsaan di Indonesia, menjadikan nilai-nilai perjuangan Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai sebagai teladan bagi generasi baru Indonesia, dan menjadikan Pahlawan Nasional I Gusti Ngurah Rai sebagai ikon bagi masyarakat Bali.

I Gusti Ngurah Rai lahir 30 Januari 1917 atau 100 tahun yang silam dan gugur sebagai Ratna kusuma bangsa di Taman Makam Pahlawan Taman Pujaan Bangsa Marga Rana Kabupaten Tabanan 20 NOvember 1946 atau 70 tahun yang silam.

Pemerintah Indonesia secara kebetulan pula memberikan penghargaan kepada pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai dalam cetakan uang rupiah NKRI untuk pecahan Rp50.000.

Sebuah romantika telah terjadi di tengah-tengah revolusi terhadap seorang putra terbaik bangsa I Gusti Ngurah Rai bagaikan sebuah alur cerita dalam sebuah roman yang dimulai dari tahapan awal, melalui tahapan akhir setelah melewati tahapan tengah.

Ngurah Rai dalam usia 28 tahun kala itu meninggalkan rumah, Puri Carangsari, saat istrinya Desak Putu Kari dalam kondisi mengandung bayi dan dua orang putra yang masih kecil yakni I Gusti Ngurah Gede Yudana (4) dan I Gusti Nyoman Tantra (1). Kemudian dari bayi yang dikandung istrinya itu lahirlah I Gusti Ngurah Alit Yudha, yang pernah menjadi anggota DPR RI pada masa orde baru.

Ketika itu bertepatan dengan Hari Raya Galungan, hari Kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (Keburukan), pada hari Budha Kliwon Dungulan, 19 Desember 1945 sekaligus meninggalkan Bali dalam sebuah perjalanan panjang menuju Yogyakarta, 1 Januari 1946.

Namun dari buku-buku dapat mendalami, betapa bangga karena negara ini dibangun dengan perang dan revolusi yang panjang. Betapa penderitaan para pejuang bangsa ini untuk kemerdekaan, dengan mempertaruhkan segala-galanya, dari keringat, airmata, harta benda, darah hingga korban jiwa.

Di Bali sendiri hingga para pejuang kemerdekaan sudah sangat berkurang. Hanya tinggal sekitar 4.000 orang dari 24.000 pejuang kemedekaan tahun 1945-1949.

Mereka yang kini masih hidup, adalah para pejuang yang dahulu di kala perang kemerdekaan masih sangat muda-muda. Tugasnya adalah sebagai penghubung, juru masak dan kegiatan lainnya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017