Tiada hari tanpa aktivitas ritual yang digelar masyarakat Bali dalam kesibukan sehari-hari. Hari suci jatuh secara beruntun dalam beberapa hari terakhir ini.
Memasuki tahun 2017, berawal dari Hari Suci Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan diperingati pada Sabtu (21/1), menyusul Hari Somo Ribek (23/1) dan Rabu (25/1) kembali merayakan hari suci Pagerwesi yang bermakna meningkatkan keteguhan iman dan meningkatkan kerukunan umat beragama.
Semua itu dilakoni untuk memohon kepada Ida Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, agar dunia beserta isinya diberikan keselamatan dan kesejahteraan, terhindar dari bencana dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kegiatan ritual yang digelar di tempat suci rumah tangga (merajan/sanggah) masing-masing menghaturkan sesaji serta rangkaian janur, bunga, dan buah-buahan (banten) yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
"Hari suci Pagerwesi merupakan tonggak untuk mengingatkan umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai penguasa alam semesta," tutur Direktur Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.
Umat lintas agama di Pulau Dewata sejak ratusan tahun silam hidup harmonis, rukun berdampingan satu sama lainnya, tanpa pernah terjadi konflik.
Kesadaran yang kuat dan saling pengertian umat lintas agama, membuat kerukunan antarumat beragama dapat tercipta di daerah tujuan wisata di Pulau Dewata itu.
Semua itu didasari atas rasa cinta damai dari seluruh umat lintas agama. Seluruh umat menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sekaligus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh sebab itu semua pihak dan umat lintas agama hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Persembahan kepada Tuhan
Model bersahabat dengan alam dan lingkungan, menurut Jero Ketut Sumadi, orang Bali mewarisi berbagai jenis ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi, dalam manifestasinya sebagai penguasa alam dan semua makhluk.
Bagi leluhur orang Bali, memelihara kelestarian lingkungan merupakan kewajiban suci sebagai pengamalan nilai ajaran agama yang terbungkus dalam Tattwa (pengetahuan), Susila (perilaku), dan Upacara (kegiatan ritual).
Upaya itu dilakukan dengan cara bakti maupun pengorbanan suci secara tulus ikhlas (yadnya).
Pagerwesi, hari suci terbesar kedua setelah Har Raya Galungan dan Kuningan, kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) juga dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan bimbingan ke jalan yang benar serta mampu menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama dan hati nurani.
Tata cara pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di delapan kabupaten dan satu kota di Bali beragam, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan (desa, kala patra).
Ritual Pagerwesi juga dilandasi dengan tradisi masing-masing desa adat (pekraman) dalam mengenang kembali terhadap kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).
Kegiatan ritual atau ajaran agama pada hakekatnya mampu menyejukan diri umatnya (pageh) yang menjadi aplikasi dari jati diri dalam memfungsikan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kehidupan serasi
Jero Mangku Sumadi, pria kelahiran Batuyang, Kabupaten Gianyar, 31 Desember 1962 atau 55 tahun yang silam itu, mengatakan umat manusia dalam kehidupan yang dilakoninya tidak henti-hentinya menghadapi masalah yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Lewat kegiatan ritual itu, umat manusia selalu mengharapkan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dianugerahkan kehidupan lebih baik, mampu mengatasi segala permasalahan, dan mampu mewujudkan kehidupan yang serasi, dengan mematuhi ketentuan norma serta hukum yang berlaku.
Alumnus program doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu, menjelaskan pada ritual Pagerwesi yang dirayakan setiap 210 hari sekali, umat Hindu juga memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai "Paramesti guru".
Dengan demikian, diharapkan kekuatan iman serta bimbingan dan lindungan-Nya, ilmu pengetahuan yang telah diturunkan pada Hari Raya Saraswati, yang dirayakan empat hari sebelumnya (Sabtu, 21/1), penggunaannya dilandasi oleh kesucian, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup umat manusia.
Ketut Sumadi mengharapkan melalui ritual perayaaan Pagerwesi umat Hindu mampu memperkuat "benteng iman" melalui yoga semadi, sekaligus dapat mengambil hikmah untuk mengendalikan musuh dalam diri maupun musuh yang berasal dari luar.
Kegiatan ritual yang digelar masyarakat Pulau Dewata yang tidak pernah henti-hentinya dari hari ke hari serta kearifan lokal yang diwarisi masyarakat setempat, mampu menuntun mereka mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Upaya itu, dapat diwujudkan melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus iklas.
Demikian pula aktivitas pariwisata yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas Tanah Bali.
Menurut Jero Ketut Sumadi, hal itu sesuai konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang melandasi kehidupan Desa Adat di Bali.
Dengan demikian penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci, sehingga makna religius tetap terjaga.
Keseharian hidup orang Bali dalam menjaga lingkungan tidak kalah serius dengan apa yang dilakukan oleh para pecinta lingkungan di berbagai negara.
Bahkan, pada suatu hari, saat ritual Tumpek Wariga yang juga dikenal Tumpek Uduh, ritual khusus ditujukan pepohonan dan lingkungan sebuah pohon besar di pinggir jalan atau di ladang dihiasi dengan kain poleng, yakni kain kotak-kotak hitam putih dan diberi sesaji.
Hal itu, sebagai petunjuk agar masyarakat dan berbagai pihak selalu sadar menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta segala isinya.
"Tanah Bali yang subur, makmur, dan indah berlimpah pangan menjadi harapan umat Hindu," ujar Jero Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Memasuki tahun 2017, berawal dari Hari Suci Saraswati, hari lahirnya ilmu pengetahuan diperingati pada Sabtu (21/1), menyusul Hari Somo Ribek (23/1) dan Rabu (25/1) kembali merayakan hari suci Pagerwesi yang bermakna meningkatkan keteguhan iman dan meningkatkan kerukunan umat beragama.
Semua itu dilakoni untuk memohon kepada Ida Sanghyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, agar dunia beserta isinya diberikan keselamatan dan kesejahteraan, terhindar dari bencana dan hal-hal yang tidak diinginkan.
Kegiatan ritual yang digelar di tempat suci rumah tangga (merajan/sanggah) masing-masing menghaturkan sesaji serta rangkaian janur, bunga, dan buah-buahan (banten) yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga.
"Hari suci Pagerwesi merupakan tonggak untuk mengingatkan umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai penguasa alam semesta," tutur Direktur Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi.
Umat lintas agama di Pulau Dewata sejak ratusan tahun silam hidup harmonis, rukun berdampingan satu sama lainnya, tanpa pernah terjadi konflik.
Kesadaran yang kuat dan saling pengertian umat lintas agama, membuat kerukunan antarumat beragama dapat tercipta di daerah tujuan wisata di Pulau Dewata itu.
Semua itu didasari atas rasa cinta damai dari seluruh umat lintas agama. Seluruh umat menjunjung tinggi rasa persatuan dan kesatuan bangsa, sekaligus menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Oleh sebab itu semua pihak dan umat lintas agama hendaknya mengupayakan agar kerukunan lintas agama tetap dapat terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.
Persembahan kepada Tuhan
Model bersahabat dengan alam dan lingkungan, menurut Jero Ketut Sumadi, orang Bali mewarisi berbagai jenis ritual yang dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi, dalam manifestasinya sebagai penguasa alam dan semua makhluk.
Bagi leluhur orang Bali, memelihara kelestarian lingkungan merupakan kewajiban suci sebagai pengamalan nilai ajaran agama yang terbungkus dalam Tattwa (pengetahuan), Susila (perilaku), dan Upacara (kegiatan ritual).
Upaya itu dilakukan dengan cara bakti maupun pengorbanan suci secara tulus ikhlas (yadnya).
Pagerwesi, hari suci terbesar kedua setelah Har Raya Galungan dan Kuningan, kemenangan Dharma (kebaikan) atas Adharma (keburukan) juga dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan bimbingan ke jalan yang benar serta mampu menegakkan kebenaran sesuai ajaran agama dan hati nurani.
Tata cara pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di delapan kabupaten dan satu kota di Bali beragam, sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan (desa, kala patra).
Ritual Pagerwesi juga dilandasi dengan tradisi masing-masing desa adat (pekraman) dalam mengenang kembali terhadap kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).
Kegiatan ritual atau ajaran agama pada hakekatnya mampu menyejukan diri umatnya (pageh) yang menjadi aplikasi dari jati diri dalam memfungsikan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Kehidupan serasi
Jero Mangku Sumadi, pria kelahiran Batuyang, Kabupaten Gianyar, 31 Desember 1962 atau 55 tahun yang silam itu, mengatakan umat manusia dalam kehidupan yang dilakoninya tidak henti-hentinya menghadapi masalah yang menyangkut berbagai aspek kehidupan.
Lewat kegiatan ritual itu, umat manusia selalu mengharapkan dan memohon kepada Yang Maha Kuasa agar dianugerahkan kehidupan lebih baik, mampu mengatasi segala permasalahan, dan mampu mewujudkan kehidupan yang serasi, dengan mematuhi ketentuan norma serta hukum yang berlaku.
Alumnus program doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu, menjelaskan pada ritual Pagerwesi yang dirayakan setiap 210 hari sekali, umat Hindu juga memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai "Paramesti guru".
Dengan demikian, diharapkan kekuatan iman serta bimbingan dan lindungan-Nya, ilmu pengetahuan yang telah diturunkan pada Hari Raya Saraswati, yang dirayakan empat hari sebelumnya (Sabtu, 21/1), penggunaannya dilandasi oleh kesucian, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup umat manusia.
Ketut Sumadi mengharapkan melalui ritual perayaaan Pagerwesi umat Hindu mampu memperkuat "benteng iman" melalui yoga semadi, sekaligus dapat mengambil hikmah untuk mengendalikan musuh dalam diri maupun musuh yang berasal dari luar.
Kegiatan ritual yang digelar masyarakat Pulau Dewata yang tidak pernah henti-hentinya dari hari ke hari serta kearifan lokal yang diwarisi masyarakat setempat, mampu menuntun mereka mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.
Upaya itu, dapat diwujudkan melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus iklas.
Demikian pula aktivitas pariwisata yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas Tanah Bali.
Menurut Jero Ketut Sumadi, hal itu sesuai konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang melandasi kehidupan Desa Adat di Bali.
Dengan demikian penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci, sehingga makna religius tetap terjaga.
Keseharian hidup orang Bali dalam menjaga lingkungan tidak kalah serius dengan apa yang dilakukan oleh para pecinta lingkungan di berbagai negara.
Bahkan, pada suatu hari, saat ritual Tumpek Wariga yang juga dikenal Tumpek Uduh, ritual khusus ditujukan pepohonan dan lingkungan sebuah pohon besar di pinggir jalan atau di ladang dihiasi dengan kain poleng, yakni kain kotak-kotak hitam putih dan diberi sesaji.
Hal itu, sebagai petunjuk agar masyarakat dan berbagai pihak selalu sadar menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta segala isinya.
"Tanah Bali yang subur, makmur, dan indah berlimpah pangan menjadi harapan umat Hindu," ujar Jero Ketut Sumadi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017