Jakarta (Antara Bali) - Pada 23 Januari 2017 ini, Presiden ke-5 Republik Indonesia (2001-2004) Megawati Soekarnoputri berulang tahun ke-70 dan dia menjadi tokoh perempuan satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia yang terlama dalam menjabat ketua umum partai sejak 1993 hingga kini.
Partai yang dipimpin Megawati bahkan merupakan partai berkuasa (the ruling party) berdasarkan hasil Pemilu 2014 yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang mengantarkan duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
Perjuangan Megawati memimpin partai berlambang kepala banteng itu tidak mudah, bahkan cenderung mustahil dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang lahir dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya selalu di lingkungan istana kepresidenan.
Maklum, Megawati merupakan anak kedua dari pasangan ayahnya, Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno dan Ibu Negara saat itu Fatmawati. Dari orang tuanya itu lahir Guntur Soekarnoputra pada 3 November 1944, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri pada 23 Januari 1947, Dyah Pramana Rachmawati Soekarnoputri pada 27 September 1950, Dyah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri pada 28 Oktober 1951, dan Guruh Soekarnoputra pada 13 Januari 1952.
Adis, panggilan kesayangan dari ayahnya kepada dirinya, bahkan melampaui kepiawaian Soekarno dalam lamanya memimpin partai bila dibandingkan dengan kepemimpinannya di partai itu pada masa-masa perjuangan kemerdekaan lalu.
Soekarno tercatat sebagai pendiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di Bandung pada 4 Juli 1927 sekaligus menjadi pemimpin partai itu hingga 1931 dengan menjalani masa sulit melawan kolonial Belanda.
Sementara Megawati memimpin PDI - partai yang dibentuk oleh rezim Orde Baru di Jakarta pada 10 Januari 1973 berdasarkan fusi lima partai politik ketika itu yakni PNI, Partai Katolik, Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia - sejak 1993 sebagai hasil dari Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 2 Desember 1993.
Megawati dengan kesabaran dan keteguhan prinsipnya, menepis kemustahilan itu menjadi keniscayaan bahkan menjadi simbol perjuangan dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Peringatan HUT ke-70 Megawati berlangsung di Taman Ismail Marzuki dalam acara pagelaran teater kebangsaan Tripikala sekaligus peluncuran buku "Megawati Dalam Catatan Wartawan Bukan Media Darling Biasa".
Penulis diundang untuk menorehkan catatan mengenai ketokohan Megawati. Separuh dari masa kerja penulis sebagai wartawan kantor berita resmi negara sejak 1992 hingga kini adalah meliput Megawati sejak 1993 sampai 2004 saat terjadi pergantian kepemimpinan dari putri Presiden I RI Soekarno itu kepada Susilo Bambang Yudhoyono.
Setiap wartawan apalagi yang membidangi liputan politik dalam negeri termasuk wartawan asing yang pernah, sedang, atau akan bertugas di Indonesia tentu ingin mengenal politisi perempuan pertama yang menjadi ketua umum partai dan perempuan pertama yang menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Amerika Serikat, Jepang, bahkan negeri tetangga Malaysia dan Singapura saja belum pernah memiliki kepala negara atau kepala pemerintahan dari kaum hawa.
Meliput perjalanan karir politik Megawati dari awal perjuangannya memimpin hingga menjadi orang nomor 1 di Republik ini sekaligus merupakan kesaksian.
Menginspirasi
Megawati tidak hanya merupakan sosok negarawan, politisi, dan ibu rumah tangga, melainkan juga figur yang menginspirasi dengan sikap-sikapnya yang teguh dan konsisten.
Megawati "dibesarkan" oleh rezim Orde Baru yang menekan dia habis-habisan. Bayangkan bila ketika itu Megawati didukung oleh pemerintah. Karir politik di partainya barangkali sudah tamat. Apalagi PDI merupakan hasil rekayasa pemerintah melalui fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai IPKI dan pimpinan partainya selalu harus mendapat restu pemerintah.
Lihat saja Ketua Umum PDI hasil Kongres I di Jakarta pada Senin-Selasa 12-13 April 1976 terpilih secara aklamasi Mohamad Sanusi Hardjadinata, calon dari pemerintah. Politisi PNI itu sebelumnya menjabat Gubernur Jawa Barat (1951-1956), Mendagri (1957-1959), dan Mendikbud (1967-1968).
Begitu pula Sunawar Sukowati, menjadi Ketua Umum PDI pilihan pemerintah, hasil Kongres II di Jakarta pada Selasa-Sabtu 13-17 Januari 1981 yang dibuka oleh Presiden Soeharto. Sunawar pernah menjabat Menteri Negara Bidang Pengawasan Proyek Pemerintah (1968-1971) dan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat (1973-1978).
Sunawar wafat pada 1986 dan PDI menyelenggarakan Kongres III di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada Selasa-Jumat 15-18 April 1986. Kongres menyerahkan pada pemerintah menunjuk ketua umum melalui Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal LB Moerdani, dan Menmudsekkab Moerdiono. Pemerintah mengangkat Soerjadi.
Soerjadi mengajak Megawati dan Guruh terjun ke politik praktis bersama PDI sehingga mereka terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 1987. Soerjadi tak hanya Ketua Umum DPP PDI tetapi juga Wakil Ketua MPR/DPR dua periode sejak 1987 hingga 1997.
Soerjadi membuat perolehan suara dan kursi Golkar di DPR RI merosot pada Pemilu 1992 menjadi 66.599.331 suara atau 282 kursi, anjlok dari 299 kursi pada Pemilu 1987.
Sebaliknya, perolehan suara dan kursi PDI meningkat. Pada Pemilu 1992, PDI menambah 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi atau 14.565.556 suara. Perolehan suara dan kursi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) juga meningkat yakni meraih 16.624.647 atau 62 suara, meningkat satu kursi dibanding hasil Pemilu 1987.
Upaya menggerus Soerjadi pun terjadi pada Kongres IV di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan pada Rabu-Minggu 21-25 Juli 1993. Pemerintah tak mengakui Soerjadi meskipun terpilih kembali pada kongres berdarah akibat bentrokan itu. Megawati hadir pada kongres itu tetapi dua hari sebelum penutupan dia pulang ke Jakarta karena merasa pilu atas kericuhan dan bentrokan itu.
Penulis menyaksikan saat pemerintah menetapkan 23 anggota caretaker DPP PDI yang dipimpin Ketua PDI Jawa Timur Latief Pudjosakti, di Surabaya pada Jumat 27 Agustus 1993. Mendagri Moh Yogie Suardi Memet, Dirjen Sospol Sutoyo NK, dan Gubernur Jatim Basofi Sudirman, serta utusan dari 27 DPD PDI se-Indonesia hadir. Penetapan itu berlangsung sehari sebelum pelantikan Gubernur Jatim Basofi Sudirman.
Tak mudah
Tak salah menyebut PDI sebagai partai kisruh. Seperti kongres-kongres sebelumnya, Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Kamis hingga Senin, 2-6 Desember 1993 juga akrab dengan kekisruhan. Calon pemerintah, Budi Hardjono, yang bersaing dengan Ismunandar dan Latief Pudjosakti, tak mampu memendung dukungan peserta kongres untuk Megawati.
Megawati menyatakan kesediaannya menjadi calon ketua umum setelah sejak September banyak menerima kedatangan pengurus cabang PDI dari berbagai daerah yang meminta kesediaannya. Megawati pun pada Selasa 23 November 1993 di kediamannya di Jalan Kebagusan IV Nomor 45 Jakarta Selatan, meluncurkan buku "Bendera Sudah Saya Kibarkan".
KLB itu hanya sempat dibuka oleh Mendagri Moh Yogie SM dan tidak pernah ditutup karena caretaker sebagai panitia telah tinggal glanggang colong playu atau lari dari tanggung jawab. Mereka lari ke "ketiak" pemerintah, mencari solusi, untuk menghadang peluang Megawati yang telah dicalonkan oleh sebanyak 261 cabang PDI dalam KLB itu.
Lantaran tak ada kejelasan keberlanjutan pemilihan ketua umum. Beberapa menit menjelang batas akhir waktu izin penyelenggaraan KLB, Megawati menyatakan diri sebagai ketua umum PDI secara "de facto". Setelah waktu penyelenggaraan KLB habis, mereka pun pulang dan polisi membubarkan acara itu.
Itulah awal kemandirian PDI untuk tidak mau terus menerus diintervensi dalam pemilihan ketua umum.
Mendagri yang berada di Surabaya, pada Selasa 7 Desember 1993 mengirimkan pernyataan tertulis kepada wartawan di Depdagri menjelaskan bahwa KLB tidak berhasil menyelesaikan tugas menangani penyempurnaan AD/ART dan pembentukan DPP PDI yang diserahkan kepada komisi organisasi, sedangkan, komisi program dan komisi politik yang dibentuk oleh sidang pleno KLB telah dapat menyelesaikan tugasnya. Mendagri masih mengakui caretaker pimpinan Latief Pudjosakti.
Yogie dipanggil Presiden Soeharto ke Bina Graha pada Kamis 9 Desember 1993 dan memerintahkan penyelesaian kemelut PDI secara musyawarah dan mufakat.
Sejak hari itu, Mendagri selaku Pembina politik dalam negeri secara bergiliran memanggil semua unsur di PDI yakni caretaker DPP PDI, Kelompok Persatuan dan Kesatuan yang sebelumnya disebut Kelompok 17 (Marsoesi, Yusuf Merukh, dan lainnya yang dipecat oleh Soerjadi berdasarkan SK 121/DPP PDI/1987. SK itu dicabut dalam KLB di Surabaya), DPP PDI Peralihan seperti Achmad Subagyo dan Jacob Nuwawea yang mendobrak pagar masuk arena Kongres IV di Medan, serta Megawati.
Pertemuan Yogie dan Megawati pada Senin 13 Desember 1993. Itu pertemuan langsung pertama mereka yang saling berlawanan dalam kepentingan. Megawati dan Yogie berbicara empat mata sekitar satu jam sejak pukul 16.50 WIB di ruang kerja Mendagri. Yogie mengatakan Megawati dapat duduk sebagai ketua umum PDI periode 1993-1998 namun perlu menuntaskan KLB lalu melalui penyelenggaraan musyawarah nasional (munas).
Bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu 22 Desember, Megawati secara "de jure" terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 dalam Munas di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu-Kamis 22-23 Desember 1993. Munas diselenggarakan oleh caretaker DPP PDI. Latief Pudjosakti pada acara itu memohon maaf kepada pemerintah dan seluruh keluarga besar PDI karena tidak mampu menyelenggarakan KLB dengan baik. Munas itu dibuka dan ditutup oleh Sekretaris Jenderal Depdagri Suryatna Subrata.
"Ternyata tidak mudah menjadi ketua umum yang dipilih dari bawah. Meskipun terealisasi ternyata berat jalan untuk menjadi ketua umum PDI yang lahir berdasarkan aspirasi dari bawah. Inilah babak baru kemandirian di PDI," kata Megawati di tengah kerumunan puluhan wartawan ketika itu.
Megawati menyampaikan pidato politik pertama pada Peringatan HUT ke-21 PDI di Sekretariat DPP PDI pada Senin malam 10 Januari 1994. Ia mengeritik mayoritas tunggal yang dipraktikkan pemerintah karena tidak sejalan dengan UUD 1945 dan GBHN 1993. GBHN 1993 mengamanatkan untuk mendukung tatanan politik demokrasi Pancasila, budaya politik yang menjunjung tigngi semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan yang bertanggung jawab perlu terus dikembangkan, didukung dengan moral dan etika politik yang bersumber pada nilai Pancasila. PDI khawatir apabila pemikiran dan semangat mayoritas tunggal terus dikembangkan, bangsa Indonesia dapat terperangkap dalam budaya politik diktator mayoritas dan tirani minoritas.
Puncaknya, Megawati diterima oleh Presiden Soeharto pada Sabtu 5 Februari 1994 di Bina Graha dan kemudian diterima Wapres Try Sutrisno di Istana Wapres. Soeharto meminta Megawati segera melakukan konsolidasi organisasi sedangkan Try Sutrisno berpesan kepada Megawati menjaga stabilitas nasional serta persatuan dan kesatuan. Normatif sekali memang.
Sepanjang tahun 1994-1995, Megawati melakukan konsolidasi ke seluruh daerah sekaligus beraudiensi dengan kepala daerah dan pimpinan TNI/Polri di daerah.
Awal 1996, rezim Orde Baru mengendus bahwa Megawati bakal dicalonkan sebagai Presiden. Pada akhir 1995, beredar formulir di kalangan Fraksi PDI DPR RI untuk mencalonkan Megawati sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Inisiatif mencalonkan Megawati itu datang dari Wakil ketua Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Aberson Marle Sihaloho.
DPP PDI pun terbelah. Sebanyak 16 fungsionaris DPP PDI di bawah komando Fatimah Ahmad dengan dukungan pemerintah, berupaya menggelar kongres sebagaimana diinginkan 19 DPD dan 215 DPC PDI. Sisa fungsionaris lainnya tetap berada dalam barisan Megawati dan menolak kongres.
Pemerintah memakai lagi Soerjadi untuk memimpin PDI setelah terpilih secara aklamasi pada Kongres V PDI di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan 20-22 Juni 1996. Sebulan kemudian Sekretariat DPP PDI yang dikuasai kubu Megawati diambil alih kubu Soerjadi dengan bantuan aparat keamanan hingga meletus kerusuhan Sabtu Kelabu 27 Juli 1996.
Megawati bersikukuh melawan dan tetap memimpin PDI sehingga ada kubu PDI Soerjadi dan PDI Megawati hingga rezim Orde Baru tumbang oleh Gerakan Reformasi seiring dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.
Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama era reformasi, PDI pimpinan Megawati yang telah berubah nama menjadi PDI Perjuangan memenangkan pemilu legislatif. Jalan Megawati menjadi presiden terhambat dalam Sidang Umum MPR 1999 yang hanya menempatkannya sebagai Wakil Presiden dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Sidang Istimewa MPR pada 2001 yang memakzulkan Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, mengantarkan Megawati menjadi Presiden.
Sejarah membuktikan, tokoh yang dizalimi oleh penguasa, berbalik menjadi besar, mendapat dukungan rakyat secara demokratis, bahkan bisa memimpin Republik Indonesia. Itulah Megawati Soekarnoputri, satu satunya perempuan di dunia yang memiliki catatan sejarah paling panjang dalam kepartaian. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017
Partai yang dipimpin Megawati bahkan merupakan partai berkuasa (the ruling party) berdasarkan hasil Pemilu 2014 yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan yang mengantarkan duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2014-2019.
Perjuangan Megawati memimpin partai berlambang kepala banteng itu tidak mudah, bahkan cenderung mustahil dapat dilakukan oleh seorang perempuan yang lahir dan menghabiskan masa kecil hingga remajanya selalu di lingkungan istana kepresidenan.
Maklum, Megawati merupakan anak kedua dari pasangan ayahnya, Presiden ke-1 Republik Indonesia Soekarno dan Ibu Negara saat itu Fatmawati. Dari orang tuanya itu lahir Guntur Soekarnoputra pada 3 November 1944, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri pada 23 Januari 1947, Dyah Pramana Rachmawati Soekarnoputri pada 27 September 1950, Dyah Mutiara Sukmawati Soekarnoputri pada 28 Oktober 1951, dan Guruh Soekarnoputra pada 13 Januari 1952.
Adis, panggilan kesayangan dari ayahnya kepada dirinya, bahkan melampaui kepiawaian Soekarno dalam lamanya memimpin partai bila dibandingkan dengan kepemimpinannya di partai itu pada masa-masa perjuangan kemerdekaan lalu.
Soekarno tercatat sebagai pendiri Partai Nasionalis Indonesia (PNI) di Bandung pada 4 Juli 1927 sekaligus menjadi pemimpin partai itu hingga 1931 dengan menjalani masa sulit melawan kolonial Belanda.
Sementara Megawati memimpin PDI - partai yang dibentuk oleh rezim Orde Baru di Jakarta pada 10 Januari 1973 berdasarkan fusi lima partai politik ketika itu yakni PNI, Partai Katolik, Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan Partai IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia - sejak 1993 sebagai hasil dari Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 2 Desember 1993.
Megawati dengan kesabaran dan keteguhan prinsipnya, menepis kemustahilan itu menjadi keniscayaan bahkan menjadi simbol perjuangan dan perlawanan terhadap rezim Orde Baru.
Peringatan HUT ke-70 Megawati berlangsung di Taman Ismail Marzuki dalam acara pagelaran teater kebangsaan Tripikala sekaligus peluncuran buku "Megawati Dalam Catatan Wartawan Bukan Media Darling Biasa".
Penulis diundang untuk menorehkan catatan mengenai ketokohan Megawati. Separuh dari masa kerja penulis sebagai wartawan kantor berita resmi negara sejak 1992 hingga kini adalah meliput Megawati sejak 1993 sampai 2004 saat terjadi pergantian kepemimpinan dari putri Presiden I RI Soekarno itu kepada Susilo Bambang Yudhoyono.
Setiap wartawan apalagi yang membidangi liputan politik dalam negeri termasuk wartawan asing yang pernah, sedang, atau akan bertugas di Indonesia tentu ingin mengenal politisi perempuan pertama yang menjadi ketua umum partai dan perempuan pertama yang menjadi Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Amerika Serikat, Jepang, bahkan negeri tetangga Malaysia dan Singapura saja belum pernah memiliki kepala negara atau kepala pemerintahan dari kaum hawa.
Meliput perjalanan karir politik Megawati dari awal perjuangannya memimpin hingga menjadi orang nomor 1 di Republik ini sekaligus merupakan kesaksian.
Menginspirasi
Megawati tidak hanya merupakan sosok negarawan, politisi, dan ibu rumah tangga, melainkan juga figur yang menginspirasi dengan sikap-sikapnya yang teguh dan konsisten.
Megawati "dibesarkan" oleh rezim Orde Baru yang menekan dia habis-habisan. Bayangkan bila ketika itu Megawati didukung oleh pemerintah. Karir politik di partainya barangkali sudah tamat. Apalagi PDI merupakan hasil rekayasa pemerintah melalui fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan Partai IPKI dan pimpinan partainya selalu harus mendapat restu pemerintah.
Lihat saja Ketua Umum PDI hasil Kongres I di Jakarta pada Senin-Selasa 12-13 April 1976 terpilih secara aklamasi Mohamad Sanusi Hardjadinata, calon dari pemerintah. Politisi PNI itu sebelumnya menjabat Gubernur Jawa Barat (1951-1956), Mendagri (1957-1959), dan Mendikbud (1967-1968).
Begitu pula Sunawar Sukowati, menjadi Ketua Umum PDI pilihan pemerintah, hasil Kongres II di Jakarta pada Selasa-Sabtu 13-17 Januari 1981 yang dibuka oleh Presiden Soeharto. Sunawar pernah menjabat Menteri Negara Bidang Pengawasan Proyek Pemerintah (1968-1971) dan Menteri Negara Kesejahteraan Rakyat (1973-1978).
Sunawar wafat pada 1986 dan PDI menyelenggarakan Kongres III di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta pada Selasa-Jumat 15-18 April 1986. Kongres menyerahkan pada pemerintah menunjuk ketua umum melalui Mendagri Soepardjo Rustam, Pangab Jenderal LB Moerdani, dan Menmudsekkab Moerdiono. Pemerintah mengangkat Soerjadi.
Soerjadi mengajak Megawati dan Guruh terjun ke politik praktis bersama PDI sehingga mereka terpilih menjadi anggota DPR RI pada Pemilu 1987. Soerjadi tak hanya Ketua Umum DPP PDI tetapi juga Wakil Ketua MPR/DPR dua periode sejak 1987 hingga 1997.
Soerjadi membuat perolehan suara dan kursi Golkar di DPR RI merosot pada Pemilu 1992 menjadi 66.599.331 suara atau 282 kursi, anjlok dari 299 kursi pada Pemilu 1987.
Sebaliknya, perolehan suara dan kursi PDI meningkat. Pada Pemilu 1992, PDI menambah 16 kursi dibandingkan Pemilu 1987, sehingga menjadi 56 kursi atau 14.565.556 suara. Perolehan suara dan kursi PPP (Partai Persatuan Pembangunan) juga meningkat yakni meraih 16.624.647 atau 62 suara, meningkat satu kursi dibanding hasil Pemilu 1987.
Upaya menggerus Soerjadi pun terjadi pada Kongres IV di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan pada Rabu-Minggu 21-25 Juli 1993. Pemerintah tak mengakui Soerjadi meskipun terpilih kembali pada kongres berdarah akibat bentrokan itu. Megawati hadir pada kongres itu tetapi dua hari sebelum penutupan dia pulang ke Jakarta karena merasa pilu atas kericuhan dan bentrokan itu.
Penulis menyaksikan saat pemerintah menetapkan 23 anggota caretaker DPP PDI yang dipimpin Ketua PDI Jawa Timur Latief Pudjosakti, di Surabaya pada Jumat 27 Agustus 1993. Mendagri Moh Yogie Suardi Memet, Dirjen Sospol Sutoyo NK, dan Gubernur Jatim Basofi Sudirman, serta utusan dari 27 DPD PDI se-Indonesia hadir. Penetapan itu berlangsung sehari sebelum pelantikan Gubernur Jatim Basofi Sudirman.
Tak mudah
Tak salah menyebut PDI sebagai partai kisruh. Seperti kongres-kongres sebelumnya, Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada Kamis hingga Senin, 2-6 Desember 1993 juga akrab dengan kekisruhan. Calon pemerintah, Budi Hardjono, yang bersaing dengan Ismunandar dan Latief Pudjosakti, tak mampu memendung dukungan peserta kongres untuk Megawati.
Megawati menyatakan kesediaannya menjadi calon ketua umum setelah sejak September banyak menerima kedatangan pengurus cabang PDI dari berbagai daerah yang meminta kesediaannya. Megawati pun pada Selasa 23 November 1993 di kediamannya di Jalan Kebagusan IV Nomor 45 Jakarta Selatan, meluncurkan buku "Bendera Sudah Saya Kibarkan".
KLB itu hanya sempat dibuka oleh Mendagri Moh Yogie SM dan tidak pernah ditutup karena caretaker sebagai panitia telah tinggal glanggang colong playu atau lari dari tanggung jawab. Mereka lari ke "ketiak" pemerintah, mencari solusi, untuk menghadang peluang Megawati yang telah dicalonkan oleh sebanyak 261 cabang PDI dalam KLB itu.
Lantaran tak ada kejelasan keberlanjutan pemilihan ketua umum. Beberapa menit menjelang batas akhir waktu izin penyelenggaraan KLB, Megawati menyatakan diri sebagai ketua umum PDI secara "de facto". Setelah waktu penyelenggaraan KLB habis, mereka pun pulang dan polisi membubarkan acara itu.
Itulah awal kemandirian PDI untuk tidak mau terus menerus diintervensi dalam pemilihan ketua umum.
Mendagri yang berada di Surabaya, pada Selasa 7 Desember 1993 mengirimkan pernyataan tertulis kepada wartawan di Depdagri menjelaskan bahwa KLB tidak berhasil menyelesaikan tugas menangani penyempurnaan AD/ART dan pembentukan DPP PDI yang diserahkan kepada komisi organisasi, sedangkan, komisi program dan komisi politik yang dibentuk oleh sidang pleno KLB telah dapat menyelesaikan tugasnya. Mendagri masih mengakui caretaker pimpinan Latief Pudjosakti.
Yogie dipanggil Presiden Soeharto ke Bina Graha pada Kamis 9 Desember 1993 dan memerintahkan penyelesaian kemelut PDI secara musyawarah dan mufakat.
Sejak hari itu, Mendagri selaku Pembina politik dalam negeri secara bergiliran memanggil semua unsur di PDI yakni caretaker DPP PDI, Kelompok Persatuan dan Kesatuan yang sebelumnya disebut Kelompok 17 (Marsoesi, Yusuf Merukh, dan lainnya yang dipecat oleh Soerjadi berdasarkan SK 121/DPP PDI/1987. SK itu dicabut dalam KLB di Surabaya), DPP PDI Peralihan seperti Achmad Subagyo dan Jacob Nuwawea yang mendobrak pagar masuk arena Kongres IV di Medan, serta Megawati.
Pertemuan Yogie dan Megawati pada Senin 13 Desember 1993. Itu pertemuan langsung pertama mereka yang saling berlawanan dalam kepentingan. Megawati dan Yogie berbicara empat mata sekitar satu jam sejak pukul 16.50 WIB di ruang kerja Mendagri. Yogie mengatakan Megawati dapat duduk sebagai ketua umum PDI periode 1993-1998 namun perlu menuntaskan KLB lalu melalui penyelenggaraan musyawarah nasional (munas).
Bertepatan dengan Peringatan Hari Ibu 22 Desember, Megawati secara "de jure" terpilih sebagai Ketua Umum DPP PDI periode 1993-1998 dalam Munas di Hotel Kemang, Jakarta Selatan, pada Rabu-Kamis 22-23 Desember 1993. Munas diselenggarakan oleh caretaker DPP PDI. Latief Pudjosakti pada acara itu memohon maaf kepada pemerintah dan seluruh keluarga besar PDI karena tidak mampu menyelenggarakan KLB dengan baik. Munas itu dibuka dan ditutup oleh Sekretaris Jenderal Depdagri Suryatna Subrata.
"Ternyata tidak mudah menjadi ketua umum yang dipilih dari bawah. Meskipun terealisasi ternyata berat jalan untuk menjadi ketua umum PDI yang lahir berdasarkan aspirasi dari bawah. Inilah babak baru kemandirian di PDI," kata Megawati di tengah kerumunan puluhan wartawan ketika itu.
Megawati menyampaikan pidato politik pertama pada Peringatan HUT ke-21 PDI di Sekretariat DPP PDI pada Senin malam 10 Januari 1994. Ia mengeritik mayoritas tunggal yang dipraktikkan pemerintah karena tidak sejalan dengan UUD 1945 dan GBHN 1993. GBHN 1993 mengamanatkan untuk mendukung tatanan politik demokrasi Pancasila, budaya politik yang menjunjung tigngi semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan keterbukaan yang bertanggung jawab perlu terus dikembangkan, didukung dengan moral dan etika politik yang bersumber pada nilai Pancasila. PDI khawatir apabila pemikiran dan semangat mayoritas tunggal terus dikembangkan, bangsa Indonesia dapat terperangkap dalam budaya politik diktator mayoritas dan tirani minoritas.
Puncaknya, Megawati diterima oleh Presiden Soeharto pada Sabtu 5 Februari 1994 di Bina Graha dan kemudian diterima Wapres Try Sutrisno di Istana Wapres. Soeharto meminta Megawati segera melakukan konsolidasi organisasi sedangkan Try Sutrisno berpesan kepada Megawati menjaga stabilitas nasional serta persatuan dan kesatuan. Normatif sekali memang.
Sepanjang tahun 1994-1995, Megawati melakukan konsolidasi ke seluruh daerah sekaligus beraudiensi dengan kepala daerah dan pimpinan TNI/Polri di daerah.
Awal 1996, rezim Orde Baru mengendus bahwa Megawati bakal dicalonkan sebagai Presiden. Pada akhir 1995, beredar formulir di kalangan Fraksi PDI DPR RI untuk mencalonkan Megawati sebagai Presiden untuk Sidang Umum MPR 1998. Inisiatif mencalonkan Megawati itu datang dari Wakil ketua Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Aberson Marle Sihaloho.
DPP PDI pun terbelah. Sebanyak 16 fungsionaris DPP PDI di bawah komando Fatimah Ahmad dengan dukungan pemerintah, berupaya menggelar kongres sebagaimana diinginkan 19 DPD dan 215 DPC PDI. Sisa fungsionaris lainnya tetap berada dalam barisan Megawati dan menolak kongres.
Pemerintah memakai lagi Soerjadi untuk memimpin PDI setelah terpilih secara aklamasi pada Kongres V PDI di Asrama Haji Pangkalan Masyhur Medan 20-22 Juni 1996. Sebulan kemudian Sekretariat DPP PDI yang dikuasai kubu Megawati diambil alih kubu Soerjadi dengan bantuan aparat keamanan hingga meletus kerusuhan Sabtu Kelabu 27 Juli 1996.
Megawati bersikukuh melawan dan tetap memimpin PDI sehingga ada kubu PDI Soerjadi dan PDI Megawati hingga rezim Orde Baru tumbang oleh Gerakan Reformasi seiring dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden BJ Habibie.
Pada Pemilu 1999 yang merupakan pemilu pertama era reformasi, PDI pimpinan Megawati yang telah berubah nama menjadi PDI Perjuangan memenangkan pemilu legislatif. Jalan Megawati menjadi presiden terhambat dalam Sidang Umum MPR 1999 yang hanya menempatkannya sebagai Wakil Presiden dalam pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Sidang Istimewa MPR pada 2001 yang memakzulkan Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, mengantarkan Megawati menjadi Presiden.
Sejarah membuktikan, tokoh yang dizalimi oleh penguasa, berbalik menjadi besar, mendapat dukungan rakyat secara demokratis, bahkan bisa memimpin Republik Indonesia. Itulah Megawati Soekarnoputri, satu satunya perempuan di dunia yang memiliki catatan sejarah paling panjang dalam kepartaian. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2017