Eskalasi ketidakpastian global, BI nilai ekonomi Indonesia masih berdaya tahan

Pewarta : Citro Atmoko

Eskalasi ketidakpastian global, BI nilai ekonomi Indonesia masih berdaya tahan

Kepala Ekonom BCA David Sumual (kiri), Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia ( BI ) Erwin Haryono (tengah), dan Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia Juli Budi Winantya memberikan paparan dalam pelatihan Bank Indonesia di Samosir, Sumatera Utara, Minggu. (ANTARA/Citro Atmoko)

Bank Indonesia (BI) menilai perekonomian Indonesia masih relatif tetap berdaya tahan di tengah meningkatnya eskalasi ketidakpastian global.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia Juli Budi Winantya di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Minggu, mengatakan pertumbuhan ekonomi pada triwulan I dan triwulan II 2024 diperkirakan lebih tinggi dibandingkan triwulan IV 2023.

Hal tersebut didukung oleh permintaan domestik yang tetap kuat dari konsumsi rumah tangga seiring dengan Ramadhan dan Idul Fitri 1445 Hijriah.

"Kita harapkan dorongannya dari permintaan domestik. Konsumsi masih kuat tapi dibandingkan historisnya memang relatif lebih rendah namun sudah mulai ada perbaikan. Sementara itu, investasi bangunan kita memperkirakan akan tumbuh lebih baik sehingga akan mendorong ekonomi ke depan," ujar Juli Budi Winantya.

Investasi bangunan sendiri lebih tinggi dari prakiraan ditopang oleh berlanjutnya Proyek Strategis Nasional (PSN) di sejumlah daerah dan berkembangnya properti swasta sebagai dampak positif dari insentif pemerintah.

Untuk tahun ini, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi nasional berada dalam kisaran 4,7-5,5 persen. BI akan terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah, termasuk melalui stimulus fiskal pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia, guna mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, khususnya dari sisi permintaan domestik.

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada tengah pekan lalu menilai dinamika ekonomi keuangan global berubah cepat dengan risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS dan memburuknya ketegangan geopolitik di Timur Tengah.

Tetap tingginya inflasi dan kuatnya pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) mendorong spekulasi penurunan Fed Funds Rate (FFR) yang lebih kecil dan lebih lama dari prakiraan (high for longer) sejalan pula dengan pernyataan para pejabat Federal Reserve.

Perkembangan tersebut dan besarnya kebutuhan utang AS mengakibatkan terus meningkatnya imbal hasil (yield) US Treasury dan penguatan dolar AS semakin tinggi secara global.

Semakin kuatnya dolar AS juga didorong oleh melemahnya sejumlah mata uang dunia seperti yen Jepang dan yuan China.

Ketidakpastian pasar keuangan global semakin buruk akibat eskalasi ketegangan geopolitik di Timur Tengah. Akibatnya, investor global memindahkan portfolionya ke aset yang lebih aman khususnya mata uang dolar AS dan emas, sehingga menyebabkan pelarian modal keluar dan pelemahan nilai tukar di negara berkembang semakin besar.

Ke depan, bank sentral menilai risiko terkait arah penurunan FFR dan dinamika ketegangan geopolitik global perlu terus dicermati karena dapat mendorong berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global, meningkatnya tekanan inflasi, dan menurunnya prospek pertumbuhan ekonomi dunia.

Kondisi tersebut dinilai memerlukan respons kebijakan yang kuat untuk memitigasi dampak negatif dari rambatan ketidakpastian global tersebut terhadap perekonomian di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia.

Baca juga: Menparekraf: Konferensi Pariwisata PBB di Bali gerakkan ekonomi
Editor:
COPYRIGHT © ANTARA News Bali