Denpasar (Antara Bali) - Pakar lingkungan Dr Made Mangku mengatakan, sejumlah pantai di Bali terutama di kawasan selatan berpotensi mengalami banjir rob antara satu hingga tiga hari pada Juni sampai September.
"Rob bisa saja muncul satu hingga tiga hari setelah bulan mati dan purnama pada empat bulan ke depan yakni dari Juni hingga September," kata Made Mangku, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, rob adalah fenomena alam yang biasa terjadi dari tahun ke tahun dan tidak hanya terjadi di Bali.
Menurut dia, kawasan pantai di wilayah selatan Pulau Bali lebih berpotensi terkena banjir rob saat pasang tertinggi karena berhadapan langsung dengan laut lepas.
Itulah sebabnya di Pantai Kuta, Badung, beberapa hari ini terjadi banjir rob, demikian juga terjadi ombak yang besar dan tinggi di Pantai Sanur, Kota Denpasar.
Selain itu, tambah dia, banjir rob di Pantai Kuta juga bisa dipicu karena sebelumnya ada gempa di daerah lain.
"Saya harapkan masyarakat jangan salah mengartikan rob yang baru muncul sekarang dan mengaitkan dengan rencana reklamasi Teluk Benoa, karena sebenarnya fenomena rob sudah biasa terjadi dan masyarakat Bali mengenalnya dengan nama pasang maling," ujarnya yang juga Koordinator Sekretariat Kerja Penyelamat dan Pelestarian Lingkungan Hidup Bali.
Made Mangku mengatakan, banjir rob pada tahun-tahun sebelumnya tidak terjadi di Pantai Kuta karena saat itu tidak ada gempa di daerah lain pada saat pasang air laut tertinggi.
Demikian juga masyarakat Bali sebelumnya tidak terlalu merasakan dampak dari rob karena bangunan rumahnya memang jauh dari sempadan pantai, sehingga yang terkena banjir rob sampai batas kebun (tegalan).
"Tetapi saat ini rob dirasakan menjadi masalah karena posisi bangunan rumah apalagi hotel-hotel semakin mendekat pantai. Jika saja mematuhi ketentuan batas pembangunan minimal 100 meter dari bibir pantai seperti ketentuan Perda No 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali, tentu tidak akan terkena rob," ucap Made Mangku.
Abrasi pantai yang semakin meluas, lanjut dia, juga menyebabkan banjir rob lebih mudah masuk ke daratan. Apalagi memang pantai di Bali mayoritas masuk dalam karakteristik sekunder atau labil.
"Abrasi tidak hanya disebabkan pengaruh global warming (pemanasan global), tetapi juga karena ulah manusia," katanya. (WDY)