Jakarta (Antara Bali) - Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN)
Djarot Sulistio Wisnubroto mengatakan berbeda dengan uranium
pengembangan thorium untuk dapat digunakan secara komersial pada
Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) membutuhkan waktu hingga 40
tahun.
"Thorium itu tidak bisa langsung dipakai, harus diubah dulu jadi
uranium, dan prosesnya tidak mudah. Kalau dalam istilah teknis disebut
bahan fertil (membiak, tidak bisa membelah diri) harus diubah dulu
dengan direaksikan dengan neutron," kata Djarot di Jakarta, Kamis.
Menurut dia, butuh waktu 40 tahun untuk mengembangkan dari tahap
eksperimen hingga sampai menjadi komersial. "Sebagai contoh belum ada
negara besar yang sudah memanfaatkan thorium secara komersial. Alasannya
butuh waktu untuk merubah thorium menjadi uranium, dan itu juga masih
butuh uranium".
Negara yang saat ini cukup maju melakukan eksperimen thorium adalah
India, yang menurut dia, untuk mendapatkan uranium. "Tapi saat saya
tanya teman-teman dari India, mereka katakan butuh waktu beberapa dekade
untuk bisa sampai pembangkit listrik tenaga thorium dapat beroperasi".
Djarot mengatakan BATAN sebagai organisasi penelitian dan
pengembangan (litbang) tentu juga harus dapat menjelaskan kondisi
sebenarnya dari perkembangan PLTT tersebut di dunia, jangan sampai
Indonesia terjebak dengan terburu-buru membuat keputusan ingin
mengembangkannya dengan tidak memperhatikan prosesnya.
"Kadang ada perusahaan luar yang menawarkan seolah (pembangkit
listrik) thorium itu bisa diimplementasikan dengan cepat, misal hanya
butuh lima tahun langsung bisa jadi. Kami (BATAN) selalu katakan
hati-hati ya, karena jika ini diimplementasikan dan ternyata gagal nanti
program nuklir lainnya bisa terpengaruh," ujar dia.
Meski demikian, ia mengatakan pihaknya sadar banyak yang begitu
antusias dengan teknologi pembangkit listrik dengan menggunakan thorium
ini, termasuk sejumlah menteri di Kabinet Kerja. Namun, banyak tahapan
yang perlu dilakukan terlebih dulu misalnya dimulai dari mengkaji
membuat bahan bakarnya terlebih dulu, lalu mencoba thorium dengan
menggunakan Reaktor Daya Eksperimen (RDE).
Sementara itu, pakar Pembangkit Listrik Tenaga Thorium dari
International Atomic Energy Agency (IAEA) Matthias Krause mengatakan ada
beberapa kelebihan thorium dibanding uranium yakni jumlahnya tiga
hingga empat kali lipat dibandingkan uranium di dunia. Sifat fisiknya
jauh lebih baik dan lebih stabil dibanding uranium, meski membutuhkan
biaya lebih tinggi dan lebih rumit dalam mengolahnya.
Hal positif yang dimiliki pembangkit listrik dengan thorium
dibanding dengan uranium, menurut dia, reaktornya lebih aman meski
sebenarnya keamanan sebuah reaktor bergantung dengan teknologi yang
digunakannya bukan dengan apa yang ditaruh di dalamnya. Thorium dapat
digunakan disemua teknologi sama yang dapat digunakan uranium, dan
limbahnya bisa kurang beracun dibanding limbah uranium setelah 300
tahun.
Alasan belum ada thorium yang dikembangkan secara komersial sejauh
ini di dunia, menurut Krause, karena tidak dapat digunakan secara
langsung, harus dikombinasikan dengan neutron dan prosesnya rumit.
"Biasanya saat negara itu harus menggunakannya saat itu mereka akan
berinvestasi, dan saat ini hanya India yang pada tahap harus
menggunakannya". (WDY)
Butuh 40 Tahun Komersialkan Thorium untuk Pembangkit Listrik
Jumat, 5 Februari 2016 8:55 WIB