Denpasar (Antara Bali) - Anggota DPRD Bali Made Budastra meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali mendata aset-aset daerah, sehingga bisa dimanfaatkan untuk menambah penghasilan untuk dimasukkan ke pendapatan asli daerah.
"Aset daerah milik Pemerintah Provinsi Bali cukup banyak, karena itu jika dikelola secara benar, maka akan mendapatkan penghasilan untuk menambah PAD," katanya pada rapat anggota DPRD dengan Gubernur Bali Made Mangku Pastika beserta SKPD di Denpasar, Kamis.
Ia mengatakan banyak ada aset daerah berupa tanah dan bangunan, namun dari penghasilan belum sesuai dengan kondisi saat ini.
"Misalnya tanah yang disewakan harganya sangat jauh dibawah (murah) dengan keadaan pasar sekarang. Karena itu harus ada aturan yang mengatur besaran sewa tanah tersebut," kata politikus PDIP asal Kabupaten Gianyar itu.
Menurut dia, sewa tanah aset daerah itu harus menyesuaikan dengan keadaan pasar sekarang, karena itu harus ada aturan yang mengatur, sehingga tidak asal sewa saja, tapi hasilnya tidak sebanding.
Oleh karena itu, kata Budastra, pendataan dari biro aset sangat perlu untuk mengetahui luas lahan yang dimiliki dan di daerah mana saja lokasi tersebut.
Sementara itu, Gubernur Bali Made Mangku Pastika menanggapi pertanyaan anggota Dewan, bahwa pendataan aset sedang dilakukan oleh biro aset.
"Pendataan aset milik pemprov saat ini sedang bekerja. Bahkan saya mengusulkan tanah yang luasnya dibawah 500 meter persegi sebaiknya dijual saja. Karena selama ini beberapa di antaranya ada yang ditempati warga. Khawatirnya kalau itu terlalu lama ditempati akan sulit memindahkan warga tersebut," ujarnya.
Namun demikian, kata dia, perlu dipertimbangan wacana tersebut, karena dengan menjual aset itu akan menampah PAD dan bisa digunakan untuk pembangunan fasilitas yang lebih penting.
"Ada beberapa aset pemprov yang luasnya dibawah 500 meter persegi. Menurut saya sebaiknya dijual saja. Misalnya ditempat strategis di Seminyak, Kuta. Investor tidak berani menyewa karena ada kekhawatiran sewa berikutnya pada lima tahun ke depannya. Sebab mereka khawatir lima tahun berikutnya ada pergantian pemimpin maka kebijakan pun akan berubah," katanya. (WDY)