Jakarta (ANTARA) - Ada “nilai lebih” dalam Presidensi G20 Indonesia kali ini, karena dilengkapi dengan Forum R20 yang terdiri dari tokoh-tokoh lintas agama dan lintas negara anggota G20 dengan tujuan mempromosikan perdamaian dunia berbasis nilai-nilai agama. Siapa lagi penggagasnya kalau bukan santri. Dalam hal ini Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya.
Semenjak pra-kemerdekaan hingga kini, santri memainkan peran penting dalam mendukung diplomasi negara di dunia internasional. Tujuannya jelas, mempertahankan keutuhan bangsa sebagai satu kesatuan yang kohesif dan membangun perdamaian dunia.
Pembentukan Komite Hijaz dapat dikatakan sebagai bentuk awal diplomasi resmi ala santri. Pada 1924-1925, kelompok Islam garis keras, Wahabi berhasil menguasai Hijaz (sebutan untuk Mekkah dan Madinah). Sejumlah ulama diancam dan dibunuh. Eksodus ulama dan santri besar-besaran terjadi. Praktik keagamaan mazhab dilarang dengan alasan bid’ah.
Menyikapi hal itu, para ulama di Nusantara merespons dengan menggunakan cara diplomasi. Dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah, kelompok kecil yang dinamakan Komite Hijaz bertugas menemui Raja Arab Saudi Ibnu Saud untuk menyampaikan sejumlah permohonan, di antaranya terkait kebebasan dalam bermazhab dan pengaturan haji yang lebih independen dan terukur. Pada 1926, berdirinya NU, salah satunya bertujuan untuk membentengi akidah ahlussunnah wal jamaah di dalam negeri dari pengaruh kelompok radikal.
Pada 2005-2006, Nahdlatul Ulama dipercaya dalam penyelesaian konflik yang terjadi antara Muslim Melayu di Thailand dengan Pemerintah Thailand. Konflik ini dengan mudah dibaca sebagai konflik antaragama mengingat Pemerintah Thailand mayoritas beragama Budha. Konflik yang berakar panjang itu diekspresikan dalam bentuk pemberontakan.
PBNU tak hanya berjalan sendirian. Ia turut serta mengajak perwakilan umat Buddha Indonesia untuk mempermudah dalam membuka komunikasi antarkedua belah pihak. Pada akhirnya, NU merupakan representasi kelompok yang berhasil berdiri di tengah konflik tersebut dengan membawa perdamaian.
Dalam rentang tahun yang sama, berbagai konflik di sejumlah wilayah, seperti konflik Israel-Palestina, konflik Sunni-Syiah di Suriah, Lebanon dan Iran, serta berbagai aksi teror di dalam negeri berbasis agama menuntut NU membentuk wadah untuk mempromosikan nilai-nilai agama Islam yang rahmatan lil’alamin di kancah internasional (Vatikan, Uni Eropa, Syuriah, Iran, Australia dan PBB). Wadah ini disebut Interfaith Dialogues dalam International Conference of Islamic Scholars. Promosi perdamaian ini rupanya yang melandasi misi diplomasi ala santri.
Sementara itu, di media-media Barat, muncul juga berbagai aktivitas yang merespons aksi-aksi teror sebagai representasi pandangan Barat terhadap umat Islam. Secara beruntun, sejak 2005 hingga 2015 muncul publikasi kartun Nabi Muhammad di Jylland-Posten, Denmark; publikasi film Islam Fitna di Belanda; rencana pembakaran Al Quran oleh sekte Evangelis Dove World Outreach Center di Amerika Serikat; publikasi film The Innocence of Muslims di Youtube; dan publikasi kartun Nabi Muhammad oleh Charlie Hebdo, media mingguan Prancis.
Menanggapi berbagai kejadian itu, para santri tampak lebih terlihat tenang, tidak bersikap reaktif dibandingkan kelompok Islam lainnya. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi Besar (Konbes) NU 2012 terdapat dua rekomendasi yang mencerminkan sikap diplomatik para santri. Pertama, agar lembaga-lembaga internasional, seperti PBB dan OKI, membuat konvensi yang mewajibkan semua orang untuk tidak melakukan tindakan yang melecehkan dan atau menodai simbol-simbol yang dihormati agama. Kedua, kepada umat Islam agar tidak mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan yang tidak terkendali dan destruktif oleh segala bentuk serangan.
Baca juga: R20 dari Bali hadirkan "nilai tambah" G20
Kiprah santri dalam diplomasi sudah cukup lama ini patut menjadi catatan penting sejarah bangsa. Dalam kerangka multi-track diplomacy, santri telah mewakili interaksi dan intervensi tidak resmi dari aktor non-negara. Lima jalur diplomasi digunakan sekaligus, yakni professional conflict resolution (mediator profesional); private citizen (warga perseorangan); research, training and education (kegiatan pendidikan dan riset); peace activism (aktivisme perdamaian); dan religion (agama).
Berbagai keberhasilan diplomasi santri tidak terlepas dari pemahaman dan pengejawantahan nilai-nilai ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Pada prinsipnya, aswaja mengakui pemerintahan yang sah dan mendukung perdamaian sebagai wujud implementasi Islam rahmatan lil’alamin. Nilai-nilai itulah yang terus dipromosikan.
Dalam kerangka yang lebih makro, diplomasi santri telah sukses melaksanakan satu kekuatan dalam instrument of power, yakni diplomasi, informasi, militer dan ekonomi (DIME). Sejarah global selalu didominasi dengan berbagai hal yang berkaitan dengan kekuatan (power), mulai dari pergantian rezim, perebutan kekuasaan, pembentukan pakta, konflik, perdamaian hingga hubungan sehari-hari antarsesama negara, semuanya berkaitan dengan manipulasi (manipulation) dan relasi (relation) dari kekuatan. Kekuatan merupakan bagian penting yang terus diulas pada sepanjang perjalanan sejarah global, baik di masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Dengan diplomasi, para santri telah menjadi instrumen kekuatan untuk mendukung NKRI.
Tantangan
Tantangan ke depan akan semakin berat dalam kerangka mewujudkan diplomasi santri yang berkelanjutan. Setidaknya ada empat tantangan utama yang dapat disampaikan penulis pada kesempatan ini:
Pertama, terjadi kebuntuan diplomasi global dalam perebutan pengaruh China-Rusia dengan Blok Barat. Forum G20 tidak mampu mempertemukan perspektif Rusia-Ukraina dalam perang di Ukraina sebagai momentum pertemuan Blok Barat dan Blok Timur. Santri dituntut untuk mencari solusi atas kebuntuan diplomasi ini.Tapi ini bukan terkait perang yang melibatkan agama. Maka pesan-pesan perdamaian yang ditonjolkan, bukan identitas agamanya.
Kedua, panggung persaingan militer di kawasan Asia-Pasifik semakin intensif. Laut China Selatan telah menjadi panggung pamer senjata oleh aliansi AUKUS versus China. Berbagai koalisi militer di kawasan Asia Tenggara dibangkitkan. Malaysia, Singapura, Australia, Selandia Baru dan Inggris kembali menggelorakan FPDA (Five Power Defence Arrangement). Kiprah negara-negara NATO di kawasan Asia Pasifik menguat. Santri harus siap berdiplomasi mendukung diplomasi militer.
Ketiga, krisis ekonomi global akibat konflik perang di Ukraina. Krisis energi dan krisis pangan telah melanda Eropa dan Afrika. Pasar ekspor impor yang lambat mempengaruhi perdagangan dunia. Harga komoditas akan semakin tinggi. Hal ini berpotensi membangkitkan konflik global pada intensitas yang tidak pernah kita bayangkan. Santri harus mampu menawarkan solusi ketahanan ekonomi ala santri dalam krisis yang dihadapi masyarakat.
Keempat, maraknya serangan siber berupa disinformasi, berita hoaks, dan misinformasi. Menjelang Pemilu 2024, intensitas serangan siber diprediksi akan semakin meningkatkan polarisasi di tengah masyarakat yang tercipta sejak Pilkada DKI 2017. Adalah tugas santri untuk berperan dan meningkatkan kapasitas dalam menangkal ekstremisme dan mempromosikan perdamaian di media dan media baru.
Pada akhirnya, dengan peran diplomasi ini, santri bukan lagi dipersepsikan manusia yang berpenampilan lusuh dan berpikiran kolot. Santri adalah manusia Indonesia yang terdidik dan memegang salah satu kekuatan penting dalam negara, yaitu diplomasi. Diharapkan dengan momentum R20, di bawah komando Gus Yahya, diplomasi santri di masa yang akan datang semakin kuat posisinya untuk menjaga NKRI dan menyongsong Indonesia Emas 2045.
*) Ngasiman Djoyonegoro adalah pengamat intelijen, pertahanan dan keamanan
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: R20 dan pengaruh diplomasi santri
R20 dan diplomasi santri
Oleh Ngasiman Djoyonegoro *) Kamis, 3 November 2022 14:49 WIB