Oleh Ni Luh Rhismawati
Denpasar (Antara Bali) - Pejabat eksekutif dan legislatif bergaya hidup mewah sudah menjadi pemandangan umum bagi masyarakat. Bahkan pegawai di level bawah bermobil mewah saat menjalankan tugas kedinasan juga bukan fenomena aneh.
Belum lagi pejabat pusat berkunjung ke daerah, mulai dari fasilitas penjemputan sudah harus memenuhi standardisasi protokoler tertentu yang tidak bisa dikatakan sederhana. Termasuk pula fasilitas hotel yang harus memenuhi kualifikasi "bintang" sesuai dengan jabatan yang disandang.
Sebagai pejabat atau pemimpin di pusat hingga daerah, memang mereka merupakan simbol negara yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi. Namun yang menjadi pertanyaan, di tengah mayoritas masyarakat Indonesia yang masih hidup dengan serba keterbatasan, tidakkah fasilitas-fasilitas mewah yang berasal dari pajak rakyat itu semakin melukai hati rakyat?
Pada saat pemerintah belum mampu secara maksimal mengangkat derajat kesejahteraan rakyat, seakan menjadi kurang elok jika pemimipin yang menjadi teladan masih bergaya hidup mewah.
Di Bali, persoalan kesejahteraan salah satunya dapat dari adanya 10 ribu rumah tangga miskin tinggal di rumah tidak layak huni.
Ketua Persatuan Sarjana Administrasi Indonesia (Persadi) Bali Dr AA Gede Oka Wisnumurti mendorong pemimpin dan pejabat dapat melakukan gerakan moral memberi contoh penerapan pola hidup sederhana.
"Gerakan moral itu harus dimulai, para pemimpin seharusnya jangan mempertontonkan hal-hal yang bersifat kemewahan kepada rakyat," kata mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Bali itu.
Ia menyampaikan pentingnya seorang figur pemimpin memberikan contoh gerakan moral semacam itu karena mengenai sikap dan perilaku, masyarakat Indonesia masih kental menganut sistem "patron-client". Artinya, masyarakat yang memegang posisi sebagai "client" akan selalu mengikuti sikap pemimpin selaku "patronnya".
"Ketika sekarang kita ingin rakyat hidup sederhana, maka harus dimulai dari yang paling atas, yakni dari pemimpin publik," ucap pengamat sosial, politik dan budaya itu.
Wacana pembatasan subsidi BBM, menjadi momentum yang pas bagi pejabat publik setidaknya membatasi penggunaan mobil mewah dalam tugas kedinasan.
Sementara itu, akademisi dari Universitas Warmadewa, Bali, Dra Diah Rukmawati MSi, juga mendorong para pejabat publik dapat menunjukkan empati kepada masyarakat melalui perilakunya yang mengedepankan pola hidup sederhana.
"Pejabat publik saat ini, sangat jarang yang menampilkan kesederhanaannya. Yang ada malah para pejabat terkesan menunjukkan kemewahan. Padahal fasilitas yang digunakan itu berasal dari pajak rakyat," kata Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Warmadewa itu.
Menurut Diah, hidup sederhana bukan berarti para pejabat tidak boleh kaya, namun akan menjadi lebih baik jika selama melaksanakan tugasnya terkait dengan publik dapat menunjukkan perilaku positif dan berempati pada masyarakat yang mengalami kekurangan.
"Memang menggunakan uang yang dimiliki sesuai dengan keinginan itu menjadi hak mereka, tetapi diharapkan hal itu ditunjukkan di luar konteks kedinasan," ucapnya.
Terlebih lagi, lanjut Diah, dengan melihat kondisi mayoritas masyarakat Indonesia yang hidup serba keterbatasan, pemimpin yang mempertontonkan kemewahan menjadi tidak patut diteladani oleh masyarakat. Jika seorang pemimpin ingin menjadi contoh, maka mulailah dari diri sendiri.
Perlukah Regulasi?
Terkait wacana perlu tidaknya aturan pola hidup sederhana dibuatkan regulasi, menurut Wisunumurti, dari sisi kemauan politik rencana membuat aturan tertulis itu cukup bagus.
"Mudah-mudahan dengan keluarnya regulasi tersebut, yang menjadi salah satu bentuk kemauan politik bisa menjadi pedoman sikap dan perilaku bagi para pejabat yang terkena dalam aturan," ujarnya.
Kalau pun ada aturan tertulis, tampaknya menjadi tidak efektif apabila standardisasi yang dimaksud dengan pola hidup sederhana tidak jelas.
"Sikap dan perilaku sederhana itu sangat kualitatif, apa sebenarnya yang dimaksud sederhana cukup sulit dibuatkan ukuran. Oleh karenanya, Kepres atau apapun nama bentuk aturan itu, saya harap tidak sekadar imbauan. Yang terpenting dapat bersifat aplikatif dan sebagai aturan tentu harus ada sanksi bagi mereka yang tidak taat asas," katanya.
Wisnumurti menegaskan, sesungguhnya gerakan moral dari para pemimpin yang harus dilakukan sebelum menuangkan dalam aturan tertulis.
"Kalau pada titik tertentu membangun kesadaran tidak cukup melalui gerakan moral, maka barulah perlu dibuatkan aturan formal. Intinya ketika Kepres dikeluarkan, berarti gerakan moral saja tidak cukup untuk memberikan aspek jera pada pejabat," ucapnya.
Andaikata mau konsisten dengan kode etik saja, ujar Wisnumurti, sebenarnya sudah cukup mengatur perilaku pemimpin.
Sedangkan Diah Rukmawati berpandangan, keputusan presiden ataupun produk regulasi lainnya yang akan mengatur pola hidup sederhana bagi para pejabat publik baginya itu suatu langkah yang positif.
"Kalau ada aturan yang khusus mengatur hal itu, tentu menjadi upaya sistemik membiasakan pola hidup sederhana, di tengah sedikit sekali pejabat yang dapat menampilkan perilaku tersebut," katanya.
Sudah saatnya, kata dia, pejabat publik harus mulai sensitif terhadap hal-hal yang dapat melukai hati rakyatnya. Seringkali pejabat meminta masyarakat untuk berhemat, namun dirinya sendiri menggunakan mobil mewah ketika bertugas. Realita yang demikian tentu menjadi kontradiktif.
Sejak Dini
Psikolog dari Universitas Udayana Drs Supriyadi MS menilai bahwa kecenderungan masyarakat Indonesia saat ini mengutamakan hasrat pengakuan atas kekayaannya dari lingkungan sekitar.
"Kebanggaan psikologis masyarakat telah bergeser, harta kekayaan bukan untuk mencari kenyamanan, tetapi lebih pada aspek agar mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar," ucap Suriyadi yang juga Ketua Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Bali itu.
Menurut dia, jangankan pada kalangan pejabat, pada masyarakat umum saja fenomena untuk menampilkan dirinya kaya itu pun sudah menggejala sejak lama.
Ditinjau dari sisi psikologi, karena adanya hasrat untuk diakui kaya sehingga yang menonjol wujud ekspresi menunjukkan sesuatu yang berlebihan meskipun sebenarnya barang-barang yang dibeli dan digunakan sesungguhnya tidak dibutuhkan.
Supriyadi menganggap sulit mengubah pola hidup pejabat karena sifat-sifat kesederhanaan itu sesungguhnya sudah terbentuk sejak usia dini.
"Kesederhanaan jika dibuatkan dalam aturan tertulis, juga akan sulit untuk didefinisikan dan dicari patokan ukurannya. Meskipun pada dasarnya, sederhana mengandung tiga aspek utama yakni kenyamanan, kenikmatan, dan standar normal sosial setempat," katanya.
Ia menambahkan, ukuran standar normal atau kewajaran antara daerah satu dengan yang lainnya juga tidak bisa disamakan. Ukuran sederhana di Jakarta, jika dipakai ukuran perbandingan pada daerah lain di wilayah Indonesia timur bisa tergolong mewah.
"Kendala mewujudkan perilaku hidup sederhana di kalangan pejabat juga disebabkan karena terpaku pada aturan protokoler," ujarnya.
Terlebih, kata dia, bagi para pejabat publik yang memang kaya sejak kecil dan terbiasa dengan gaya hidup mewah, akan menjadi sulit mengubah pola hidupnya menjadi sederhana.
Sedangkan Wisnumurti mengatakan, pola hidup sederhana sudah seharusnya menjadi bagian dari pola hidup masyarakat, tidak hanya semata bagi para pejabat. Perasaan peduli pada sesama dan solidaritas harus terus dibangun.
Ia pun tidak memungkiri, tantangan terbesar dalam membiasakan hidup sederhana karena pola hidup konsumerisme dan hedonisme di kalangan masyarakat Indonesia sudah menggejala dari berbagai komponen usia.(LHS/IGT)