Jakarta (Antara Bali) - Pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto mempertanyakan istilah pencabutan subsidi listrik yang berarti tetap sama dengan fakta kenaikan tarif listrik dari PLN.
"Per tanggal 1 Maret lalu telah terjadi kenaikan tarif listrik dari PLN yang terus dinaikkan setiap tiga bulan sejak awal tahun. Kenaikan tarif listrik ini oleh Menteri ESDM dianggap bukan sebagai kenaikan namun disebut penyesuaian," kata Suroto yang juga Ketua Akses di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, pernyataan pemerintah terkait penyesuaian tarif listrik terkesan kamuflatif karena prinsipnya kenaikan tarif riil memang terjadi dan memberatkan masyarakat.
Suroto juga mempertanyakan tujuan kenaikan tarif listrik terkait pengalihan subsidi untuk infrastruktur ataukah untuk tujuan jangka pendek memperbaiki kinerja PLN.
"Struktur utang PLN ini juga sudah pada tahap yang mengkawatirkan dan bisa terancam bangkrut karena rasio struktur modalnya sudah 300 persen berasal dari hutang," katanya.
Suroto mencatat perolehan keuntungan PLN sebelum pajak dan pembayaran bunga serta penyusutan dan amortisasi sebesar Rp57,99 triliun pada 2016. Sementara keuntungan bersihnya hanya sebesar Rp10,5 triliun.
"Ini jelas sesuatu yang merugikan pelanggannya secara nyata. Masyarakat disuruh membayar semakin mahal untuk para kreditur," katanya.
Menurut Suroto, penggunaan istilah mencabut subsidi kepada para pelanggan 900 VA juga tidak tepat.
"Ini menjadi tidak adil untuk pelanggan ketika kinerja BUMN menurun tapi dibebankan secara tidak langsung dampaknya kepada masyarakat," katanya. (WDY)