Jakarta (Antara Bali) - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan masih terbuka kemungkinan saksi lain yang belum pernah diperiksa dalam perkara KTP Elektronik dihadirkan dalam persidangan.
"Hal tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) atau hakim yang memerintahkan," kata Febri di Jakarta, Jumat.
Oleh karena itu, kata dia, jika persidangan nanti membutuhkan dan memandang relevan dengan perkara ini, maka pihak-pihak yang belum diperiksa dalam proses penyidikan bisa dihadirkan pada persidangan.
Febri juga menyatakan KPK tidak memasalahkan rangkaian bantahan dari orang-orang yang disebut KPK telah menerima aliran dana e-KTP.
"Membantah silakan saja, sudah begitu banyak orang yang membantah di kasus lain. Silakan saja. KPK tidak bergantung kepada bantahan tersebut karena penyidik dan penuntut umum tentunya punya kewenangan-kewenangan untuk menemukan bukti dan mencari bukti," tandas Febri.
KPK akan menghadirkan delapan saksi dalam sidang kedua kasus ini korupsi pengadaan paket e-KTP tahun anggaran 2011-2012.
"Karena tidak ada eksepsi dari pihak terdakwa kami berencana akan menghadirkan delapan saksi dalam persidangan kedua. Belum kami bisa sebutkan namanya," kata Febri seraya menyebutkan saksi-saksi akan diperiksa dalam 90 hari kerja ke depan.
"Kami akan hadirkan total 133 saksi pada persidangan," jelas Febri.
Dalam persidangan pertama terungkap puluhan anggota DPR periode 2009-2014, pejabat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), staf Kemendagri, auditor BPK, swasta hingga korporasi yang menikmati aliran dana proyek ini.
Pemeriksaan saksi nantinya juga untuk membuktikan imbalan yang diperoleh anggota DPR dan pihak lain karena menyetujui anggaran KTP-E pada 2010 dengan total nilai Rp5,9 triliun. Adapun kesepakatan pembagian anggarannya adalah:
1. 51 persen atau sejumlah Rp2,662 triliun dipergunakan untuk belanja modal atau riil pembiayaan proyek
2. Rp2,558 triliun akan dibagi-bagikan kepada:
a. Beberapa pejabat Kemendagri termasuk Irman dan Sugiharto sebesar 7 persen atau Rp365,4 miliar
b. Anggota Komisi II DPR sebesar 5 persen atau sejumlah Rp261 miliar
c. Setya Novanto dan Andi Agustinus sebesar 11 persen atau sejumlah Rp574,2 miliar
d. Anas Urbaningrum dan M Nazarudin sebesar 11 persen sejumlah Rp574,2 miliar
e. Keuntungan pelaksana pekerjaan atau rekanan sebesar 15 persen sejumlah Rp783 miliar
Terdakwa dalam kasus ini adalah Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto.
Atas perbuatannya, Irman dan Sugiharto terancam dipenjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (WDY)