Surabaya (Antara Bali) - Indonesia, sebagai negara kepulauan yang sebagian wilayahnya merupakan perairan, ternyata masih belum memiliki keinginan kuat menjadikan poros maritim yang didengungkan Presiden Joko Widodo sebagai visi, kata seorang ilmuwan kelautan.
"Lulusan teknologi kemaritiman di Indonesia harus berani mengambil risiko itu dengan bekerja di Indonesia bagian timur," ucap Dekan FTK ITS Prof Daniel M Rosyid PhD MRINA dalam Seminar on Marine Technology Innovation (SENTA) di Surabaya, Kamis (15/12), mengacu pada visi Presiden `melihat ke laut` dalam poros maritim.
Guru Besar Teknik Kelautan ITS itu menilai Indonesia saat ini hanya gencar melakukan pembangunan maritim di kota besar, sedangkan daerah pesisir masih diabaikan.
"Kesalahan pola pikir yang terbentuk di masyarakat ialah memusatkan produksi hanya pada daerah barat. Sedangkan, daerah timur yang kaya akan sumber daya alam justru ditinggalkan. Hal itu harus diubah," ujarnya.
Mengutip ucapan Jokowi, Daniel yang juga dikenal sebagai pengamat pendidikan itu mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia mempunyai rencana besar membangun industi maritim dari daerah pinggiran, terutama pesisir.
"Solusinya, para mahasiswa lulusan universitas yang berkaitan dengan jurusan maritim harus berani melirik daerah Indonesia timur dengan mengembangkan infrastruktur maritim di daerah timur. Inilah yang akan menekan kesenjangan pembangunan di Indonesia," kilahnya.
Apalagi, kata doktor dari Newcastle University, Inggris itu, persaingan di dunia maritim internasional juga berat, diantaranya datang dari Negara China yang giat menggencarkan program jalur sutra maritim dan juga negara lainnya.
Pada tahun 2015, China telah mengalokasikan 0,2 triliun dolar AS yang merupakan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk ketahanan di sektor maritim, bahkan Amerika mengalokasikan 0,6 triliun dolar AS dari 1,6 persen untuk sektor maritim.
"Indonesia sendiri sudah berani mengalokasikan 0,9 persen dari PDB senilai 0,01 triliun dolar AS. Perbedaan yang kontras ini menyimpulkan siapa negara yang paling berambisi memimpin poros maritim di dunia," pungkasnya.
Pandangan Prof Daniel Rosyid itu menantang pemerintah untuk lebih serius dalam membangun kemaritiman, namun masyarakat perguruan tinggi juga ditantang untuk melirik kawasan timur dari "Tanah Air Beta" yang memiliki wilayah perairan sangat luas itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Lulusan teknologi kemaritiman di Indonesia harus berani mengambil risiko itu dengan bekerja di Indonesia bagian timur," ucap Dekan FTK ITS Prof Daniel M Rosyid PhD MRINA dalam Seminar on Marine Technology Innovation (SENTA) di Surabaya, Kamis (15/12), mengacu pada visi Presiden `melihat ke laut` dalam poros maritim.
Guru Besar Teknik Kelautan ITS itu menilai Indonesia saat ini hanya gencar melakukan pembangunan maritim di kota besar, sedangkan daerah pesisir masih diabaikan.
"Kesalahan pola pikir yang terbentuk di masyarakat ialah memusatkan produksi hanya pada daerah barat. Sedangkan, daerah timur yang kaya akan sumber daya alam justru ditinggalkan. Hal itu harus diubah," ujarnya.
Mengutip ucapan Jokowi, Daniel yang juga dikenal sebagai pengamat pendidikan itu mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia mempunyai rencana besar membangun industi maritim dari daerah pinggiran, terutama pesisir.
"Solusinya, para mahasiswa lulusan universitas yang berkaitan dengan jurusan maritim harus berani melirik daerah Indonesia timur dengan mengembangkan infrastruktur maritim di daerah timur. Inilah yang akan menekan kesenjangan pembangunan di Indonesia," kilahnya.
Apalagi, kata doktor dari Newcastle University, Inggris itu, persaingan di dunia maritim internasional juga berat, diantaranya datang dari Negara China yang giat menggencarkan program jalur sutra maritim dan juga negara lainnya.
Pada tahun 2015, China telah mengalokasikan 0,2 triliun dolar AS yang merupakan 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) untuk ketahanan di sektor maritim, bahkan Amerika mengalokasikan 0,6 triliun dolar AS dari 1,6 persen untuk sektor maritim.
"Indonesia sendiri sudah berani mengalokasikan 0,9 persen dari PDB senilai 0,01 triliun dolar AS. Perbedaan yang kontras ini menyimpulkan siapa negara yang paling berambisi memimpin poros maritim di dunia," pungkasnya.
Pandangan Prof Daniel Rosyid itu menantang pemerintah untuk lebih serius dalam membangun kemaritiman, namun masyarakat perguruan tinggi juga ditantang untuk melirik kawasan timur dari "Tanah Air Beta" yang memiliki wilayah perairan sangat luas itu. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016