Jakarta (Antara Bali) - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016
tentang Perubahan Atas PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Ekosistem Gambut memberlakukan moratorium pembukaan baru
atau land clearing pada lahan gambut.
"Moratorium gambut jelas tidak boleh buka lahan baru dengan demikian tidak boleh ada izin baru. Apalagi jika itu gambut dalam," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ir. Bambang Hendroyono, MM di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, tidak adanya pemberian izin baru pembukaan hutan dan lahan di area gambut tercantum dalam pasal baru pada PP yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 1 Desember 2016.
"Akan ada kebijakan lebih lanjut setelah lahan tersebut dibedah, diverifikasi, dan di overlay dengan peta Kesatuan Hidrologi Gambut yang akan dikeluarkan nanti. Meski demikian jika ternyata lahan tersebut ada di kawasan fungsi lindung ya sudah tidak boleh dibuka lagi," ujar Hendroyono.
Pasal baru tersebut, lanjutnya, juga menegaskan larangan membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering, membakar dan atau mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut.
"Untuk masyarakat adat tidak dikecualikan dalam PP ini, tidak boleh membakar khusus di lahan gambut. Kita ingin mensosialisasikan ini dengan baik ke seluruhnya, kalau di lahan mineral dengan pengawasan dan ada sekat bakar masih memungkingkan, tapi di gambut tidak boleh," ujar dia.
Sedangkan terkait pengambilalihan areal gambut yang terbakar milik pemegang konsesi, ia mengatakan sudah dilakukan pascakebakaran hutan dan lahan 2015, aturannya ada melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) dan PP 57/2016 menguatkan itu.
"Yang mana jika terjadi kebakaran di lahan konsesi akan terkena sanksi administrasi, di area tersebut tidak boleh diapa-apakan akan langsung diambil alih sementara agar Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan bisa melakukan verifikasi, hasilnya dilaporkan ke Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujar Hendroyono.
Peraturan Pemerintah ini telah ditandatangani Presiden dan segera berlaku setelah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. "Segera berlaku, saat ini dalam proses diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM," lanjutnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah mengatakan berkaitan dengan pemulihan fungsi ekosistem gambut dapat dilakukan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi dan atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan iptek.
Terkait pengambilalihan lahan, menurut dia, dilakukan sementara untuk dilakukan verifikasi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hasilnya dapat berupa pengelolaan lebih lanjut oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan. Dan bisa pula terjadi pengurangan areal perijinan usaha dan atau kegiatannya.
Pengambilalihan sementara untuk proses pengecekan lapangan dan verifikasi bisa sampai dua hingga empat bulan. "Belajar dari pengalaman pascakebakaran 2015 butuh rata-rata waktu hingga empat bulan untuk verifikasi lapangan," ujar dia.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Moratorium gambut jelas tidak boleh buka lahan baru dengan demikian tidak boleh ada izin baru. Apalagi jika itu gambut dalam," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Ir. Bambang Hendroyono, MM di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, tidak adanya pemberian izin baru pembukaan hutan dan lahan di area gambut tercantum dalam pasal baru pada PP yang baru ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 1 Desember 2016.
"Akan ada kebijakan lebih lanjut setelah lahan tersebut dibedah, diverifikasi, dan di overlay dengan peta Kesatuan Hidrologi Gambut yang akan dikeluarkan nanti. Meski demikian jika ternyata lahan tersebut ada di kawasan fungsi lindung ya sudah tidak boleh dibuka lagi," ujar Hendroyono.
Pasal baru tersebut, lanjutnya, juga menegaskan larangan membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering, membakar dan atau mengakibatkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut.
"Untuk masyarakat adat tidak dikecualikan dalam PP ini, tidak boleh membakar khusus di lahan gambut. Kita ingin mensosialisasikan ini dengan baik ke seluruhnya, kalau di lahan mineral dengan pengawasan dan ada sekat bakar masih memungkingkan, tapi di gambut tidak boleh," ujar dia.
Sedangkan terkait pengambilalihan areal gambut yang terbakar milik pemegang konsesi, ia mengatakan sudah dilakukan pascakebakaran hutan dan lahan 2015, aturannya ada melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) dan PP 57/2016 menguatkan itu.
"Yang mana jika terjadi kebakaran di lahan konsesi akan terkena sanksi administrasi, di area tersebut tidak boleh diapa-apakan akan langsung diambil alih sementara agar Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan bisa melakukan verifikasi, hasilnya dilaporkan ke Ditjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan," ujar Hendroyono.
Peraturan Pemerintah ini telah ditandatangani Presiden dan segera berlaku setelah diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM. "Segera berlaku, saat ini dalam proses diundangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM," lanjutnya.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Karliansyah mengatakan berkaitan dengan pemulihan fungsi ekosistem gambut dapat dilakukan dengan cara suksesi alami, rehabilitasi, restorasi dan atau cara lain yang sesuai dengan perkembangan iptek.
Terkait pengambilalihan lahan, menurut dia, dilakukan sementara untuk dilakukan verifikasi oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang hasilnya dapat berupa pengelolaan lebih lanjut oleh penanggungjawab usaha dan atau kegiatan. Dan bisa pula terjadi pengurangan areal perijinan usaha dan atau kegiatannya.
Pengambilalihan sementara untuk proses pengecekan lapangan dan verifikasi bisa sampai dua hingga empat bulan. "Belajar dari pengalaman pascakebakaran 2015 butuh rata-rata waktu hingga empat bulan untuk verifikasi lapangan," ujar dia.(WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016