Jakarta (Antara Bali) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) Siti Nurbaya mengatakan program perhutanan sosial yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 21 September 2016 bertujuan membangun pelosok desa agar masyarakat produktif serta membangkitkan keunggulan domestik.
"Bapak Presiden Joko Widodo mengamanatkan, saatnya hutan benar-benar harus mensejahterakan rakyat," ujar Siti Nurbaya di Jakarta, Kamis.
Konsep perhutanan sosial, sebagai wujud nyata program kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung program Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla.
Menteri Siti menjelaskan rakyat harus diberi kesempatan untuk mengelola hutan dan lahan, melalui skema perhutanan sosial. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi terkait Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Selain itu juga mewujudkan Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik berbasis rakyat.
Perhutanan sosial juga diyakini mampu mengembangkan "agroforestry", mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, serta menyelesaikan konflik sosial sebagai akibat perambahan.
Selain itu diharapkan bisa menurunkan kekuatan jaringan "pengijjon" dan "middle-man" di dalam ekonomi rakyat yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan.
"Saat ini telah teridentifikasi calon areal perhutanan sosial seluas 13,5 juta ha," ungkap Menteri Siti.
Hal itu menjadi target alokasi areal perhutanan sosial yang nantinya akan dikelola masyarakat.
Adapun arahan perhutanan sosial yang dipetakan, meliputi; perhutanan sosial pada areal yang belum dibebani izin yang berada di hutan produksi, perhutanan sosial pada areal yang belum dibebani izin yang berada di hutan lindung, dan perhutanan sosial pada areal gambut.
Sementara yang tidak dipetakan, berasal dari potensi usaha kemitraan pada lokasi 20 persen di wilayah pemegang IUPHHK-HT, inisiatif hutan adat dan areal indikatif akses masyarakat di hutan konservasi.
Menteri Siti sendiri sudah melakukan kunjungan kerja ke banyak Provinsi di Indonesia. Ia blusukan ke banyak komunitas masyarakat, dan melihat langsung pengelolaan hutan untuk kesejahteraan rakyat.
Hutan menghasilkan rantai bisnis ekowisata. Hutan juga terbukti menjadi rantai bisnis agro-forestry, "agro silvo-pasture" atau fishery, biomass atau bioenergy, bisnis industri kayu dan rantai bisnis hasil hutan bukan kayu (madu hutan, rotan, dan lainnya).
Konsep perhutanan sosial juga membantu penyelesaian konflik lebih cepat ditangani. Hal ini dalam kaitannya dengan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat dan Hutan Rakyat (HR) dan kemitraan. Terdata sebanyak 1,15 juta hektare lahan bebas konflik dan 39 kasus terselesaikan.
Untuk mempercepat capaian 12,7 juta hektare perhutanan sosial, KLHK melakukan beberapa upaya. Seperti pembentukan pokja percepatan perhutanan sosial, peta indikatif areal perhutanan sosial, membuka akses informasi berbasis online AKPS di http://pskl.menlhk.go.id/akps/, pemetaan mitra perhutanan sosial, dan membuat regulasi perhutanan sosial.
"Bapak Presiden Jokowi juga mengamanatkan, agar akses ke pasar untuk hasil perhutanan sosial harus lebih baik. Masyarakat harus diberikan pengetahuan dan kemampuan tekhnis, untuk memperkuat mereka menjalankan usaha dan penghidupannya," jelas Menteri Siti.
Saat ini sudah terbentuk 1.737 kelompok usaha perhutanan sosial. Hasil produksi mereka juga telah dipasarkan secara regional, nasional bahkan internasional, melalui media daring atau online.
"Perhutanan sosial ini mengedepankan peran masyarakat termasuk masyarakat adat, yang menjadi bagian sangat penting dan utama," tukas dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Bapak Presiden Joko Widodo mengamanatkan, saatnya hutan benar-benar harus mensejahterakan rakyat," ujar Siti Nurbaya di Jakarta, Kamis.
Konsep perhutanan sosial, sebagai wujud nyata program kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mendukung program Nawacita pemerintahan Joko Widodo-Wapres Jusuf Kalla.
Menteri Siti menjelaskan rakyat harus diberi kesempatan untuk mengelola hutan dan lahan, melalui skema perhutanan sosial. Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi terkait Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA).
Selain itu juga mewujudkan Kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik berbasis rakyat.
Perhutanan sosial juga diyakini mampu mengembangkan "agroforestry", mengurangi ketimpangan penguasaan lahan, serta menyelesaikan konflik sosial sebagai akibat perambahan.
Selain itu diharapkan bisa menurunkan kekuatan jaringan "pengijjon" dan "middle-man" di dalam ekonomi rakyat yang berpotensi meningkatkan kesejahteraan.
"Saat ini telah teridentifikasi calon areal perhutanan sosial seluas 13,5 juta ha," ungkap Menteri Siti.
Hal itu menjadi target alokasi areal perhutanan sosial yang nantinya akan dikelola masyarakat.
Adapun arahan perhutanan sosial yang dipetakan, meliputi; perhutanan sosial pada areal yang belum dibebani izin yang berada di hutan produksi, perhutanan sosial pada areal yang belum dibebani izin yang berada di hutan lindung, dan perhutanan sosial pada areal gambut.
Sementara yang tidak dipetakan, berasal dari potensi usaha kemitraan pada lokasi 20 persen di wilayah pemegang IUPHHK-HT, inisiatif hutan adat dan areal indikatif akses masyarakat di hutan konservasi.
Menteri Siti sendiri sudah melakukan kunjungan kerja ke banyak Provinsi di Indonesia. Ia blusukan ke banyak komunitas masyarakat, dan melihat langsung pengelolaan hutan untuk kesejahteraan rakyat.
Hutan menghasilkan rantai bisnis ekowisata. Hutan juga terbukti menjadi rantai bisnis agro-forestry, "agro silvo-pasture" atau fishery, biomass atau bioenergy, bisnis industri kayu dan rantai bisnis hasil hutan bukan kayu (madu hutan, rotan, dan lainnya).
Konsep perhutanan sosial juga membantu penyelesaian konflik lebih cepat ditangani. Hal ini dalam kaitannya dengan pengelolaan Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Adat dan Hutan Rakyat (HR) dan kemitraan. Terdata sebanyak 1,15 juta hektare lahan bebas konflik dan 39 kasus terselesaikan.
Untuk mempercepat capaian 12,7 juta hektare perhutanan sosial, KLHK melakukan beberapa upaya. Seperti pembentukan pokja percepatan perhutanan sosial, peta indikatif areal perhutanan sosial, membuka akses informasi berbasis online AKPS di http://pskl.menlhk.go.id/akps/, pemetaan mitra perhutanan sosial, dan membuat regulasi perhutanan sosial.
"Bapak Presiden Jokowi juga mengamanatkan, agar akses ke pasar untuk hasil perhutanan sosial harus lebih baik. Masyarakat harus diberikan pengetahuan dan kemampuan tekhnis, untuk memperkuat mereka menjalankan usaha dan penghidupannya," jelas Menteri Siti.
Saat ini sudah terbentuk 1.737 kelompok usaha perhutanan sosial. Hasil produksi mereka juga telah dipasarkan secara regional, nasional bahkan internasional, melalui media daring atau online.
"Perhutanan sosial ini mengedepankan peran masyarakat termasuk masyarakat adat, yang menjadi bagian sangat penting dan utama," tukas dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016