Denpasar (Antara Bali) - Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali mendorong berbagai lembaga pelatihan kerja (LPK) di daerah itu lolos akreditasi untuk memberikan jaminan LPK telah memenuhi standar yang ditentukan.

"Semua LPK harus mengejar akreditasi, tidak boleh santai-santai, apalagi dalam era MEA ini. Jangan berpikiran toh mahasiswa sudah banyak. Akreditasi adalah pengakuan negara terhadap kualifikasi lembaga, apakah layak untuk melaksanakan pendidikan atau tidak," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Bali I Ketut Wija di Denpasar, Senin.

Wija mengemukakan, dari 235 LPK di sembilan kabupaten/kota di Bali, yang sudah terakreditasi baru 90 LPK. Sebaran LPK yang sudah terakreditasi yakni di Kota Denpasar (35), Kabupaten Badung (17), Gianyar (7), Bangli (3), Klungkung (1), Karangasem (4), Tabanan (5), Jembrana (7) dan Buleleng (11 LPK).

"LPK sudah seharusnya bisa mendidik generasi muda menjadi berkompeten dengan pekerjaannya. Tidak bisa lagi seperti pendidikan formal yang penting menamatkan. LPK harus mampu melatih, setelah itu menempatkan, hingga memantau penempatan kerjanya," ujar mantan Asisten II Pemprov Bali itu.

Wija sangat mengharapkan LPK mampu memberikan sumber daya manusia dengan kompetensi yang benar-benar diperlukan di dunia kerja. "Jangan sampai malah menambah deretan pengangguran yang terdidik," katanya.

"Jika banyak LPK yang menghasilkan lulusan yang tidak terserap, berarti LPK seharusnya malu karena tidak mampu menyelesaikan urusan ketenagakerjaan. LPK adalah solusi dan bukan penyebab bertambahnya pengangguran," katanya.

Dia mengemukakan secara umum ada tiga jenis tenaga kerja yang menyebabkan terjadinya pengangguran yakni mereka yang tidak memiliki kompetensi (uncompetent), tenaga kerja yang kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan pasar (mismatch) dan mereka yang mempunyai sikap mental memang tidak mau bekerja.

"Tenaga kerja yang mismatch di antaranya dapat dilihat ketika ada bursa lowongan kerja, tetapi banyak yang tidak terserap karena kompetensi yang dimiliki tidak nyambung. Hal ini karena di sekolah hanya mencetak tenaga kerja, tetapi tidak melihat potensi pasar," ucapnya.

Wija mengharapkan LPK dapat menjadi solusi atas persoalan tenaga kerja "mismatch" tersebut, dan bukan malah menjadi penyebabnya. Caranya dengan LPK mulai menyusun kurikulum sesuai dengan kebutuhan pasar atau membuat kurikulum berbasis kompetensi. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016