Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Terpilihnya rumah Sri Darma sebagai tempat nongkrong, merupakan sesuatu yang sulit dihindari. Itu karena sang ayah, Sambereg termasuk orang yang overprotective. Ia tidak ingin melihat anaknya keluyuran tidak jelas di luar rumah, apalagi pada malam hari. Alasannya sangat masuk akal, takut kalau Sri Darma salah pergaulan.

"Kalau ingin bermain, ya suruh kawan-kawannya ke rumah. Kalau perlu ajak saja mereka menginap di rumah," kata sang ayah.

Jika sangat ingin bermain di luar rumah. Ia terikat pada batas waktu, pukul 22.00. Tidak bisa lebih dari itu. Dari sudut pandang Sri Darma perlakuan seperti itu dinilainya agak berlebihan, sebab saat itu dia sudah dewasa. Namun lain halnya dengan Sambereg, sebagai bagian dari rencana besar yang dipersiapkan untuk anaknya, keputusan itu sudah sangat tepat. Sri Darma sepertinya mengerti program yang dirancang oleh ayahnya, sehingga dia tak pernah mempersoalkannya.

Tak pernah sampai muncul rasa kecil hati pada diri Sri Darma atas perlakuan ayahnya. Dia yakin semua itu dilakukan sang ayah semata-mata demi kebaikannya. Sekalipun tak sedikit temannya yang nyinyir atas perlakuan sebagai "anak kecil" yang diterimanya dari sang ayah. Namun itu tak sampai membuatnya minder bergaul dengan sesama teman laki-laki. Namun berbeda halnya jika sedang berhadapan dengan para gadis, apalagi terhadap gadis yang menjadi idamannya.

Ada sedikit rasa takut saat melangkah lebih jauh ketika berhadapan dengan sang gadis idaman. Itulah sebabnya semasa SMA, Sri Darma hanya baru sampai pada tahap cinta monyet. Tak pernah sekalipun berani mengatakan I Love You, padahal mungkin saja ada dari barisan gadis yang sedang menunggu luncuran kata indah itu langsung dari mulut Sri Darma. Satu hal yang bisa dilakukan Sri Darma hanyalah memendam perasaan suka jauh di dalam lubuk hati, Itu karena dia merasa tidak memiliki kelebihan yang bisa dibanggakan di depan gadis idaman.

"Saya tidak berani merayu cewek. Saya minder, karena uang yang saya miliki sangat terbatas. Jadi saya tidak bisa ngajak cewek itu makan. Ini yang bikin saya malu," ujar Sri Darma.

Saat itu keuangan Sri Darma memang masih berada dalam pengawasan ayahnya. Padahal sejatinya, seiring dengan semakin berkembangnya bisnis dan sekolah yang didirikan ayahnya dan Gorda seperti sudah diceritakan pada bagian lain, dalam masalah keuangan keluarga Sri Darma sudah relatif mantap. Boleh dikatakan sudah berkecukupan secara materi. Namun terkait dengan kepentingan anak-anaknya, sang ayah ternyata masih suka perhitungan, dengan suatu alasan supaya mereka tidak terjerumus oleh uang.

Sebulannya, Sri Darma hanya diberikan uang saku sebesar 33 ribu rupiah. Uang itu tidak keluar langsung dari dompet Sambereg, melainkan bunga uang deposito atas nama Sri Darma. Jumlahnya 10 juta rupiah. Ini diberlakukan juga bagi anaknya yang lain. Setiap bulannya, Sri Darma dan saudara-saudaranya pergi ke bank mengambil bunga deposito untuk dipakai sebagai uang saku. Jumlahnya tidak pernah bertambah, hingga dia lulus dari bangku SMA tahun 1988.

Menginjak Bangku Kuliah

Lulus dari ketatnya persaingan di SMA Negeri 1 Denpasar sangat melegakan hati Sri Darma. Lega karena bisa keluar dari kondisi yang membuatnya tertekan dalam ketakberdayaan akibat kurang mampu bersaing secara akademis, olahraga, dan bahkan kesenian. Namun tidak cukup hanya sekedar lega, Sri Darma harus segera mengambil keputusan kemana dan dimana dia akan kuliah. Karena kebanyakan temannya mengambil fakultas teknik, seperti teknik mesin, nuklir, ataupun informatika, supaya tidak kalah gengsi, maka Sri Darma juga memilih Fakultas Teknik, Jurusan Elektro. Institut Teknologi Bandung menjadi pilihan pertamanya dan Universitas Udayana yang kedua. Justru dipilihan kedua dia dinyatakan lulus.

"Karena saya hobi dengan Fisika, makanya saya lebih memilih Teknik Elektro yang mempelajari tentang merancang sebuah analisis sistem elektronika. Kebetulan elektro juga berbau-bau komputer, jadi lengkap sudah hobi saya kumpul jadi satu di elektro."

Sri Darma sebenarnya masih punya pilihan lain, Undiknas. Namun dia sengaja tidak memilihnya karena gengsi dengan teman-temannya yang kebanyakan memilih perguruan tinggi ternama di Jawa. Padahal Jurusan Teknik Elektro di Undiknas juga tak kalah berkualitas dengan perguruan tinggi lainnya. Para dosen pengajarnya adalah orang-orang dari Perusahaan listrik Negara (PLN).

Keputusan Sri Darma tidak memilih Undiknas didukung penuh oleh ayahnya. Katanya, "Keputusan Dek -sapaan sang ayah pada Sri Darma-tidak masuk ke Undiknas itu benar. Kalau Dek sampai kuliah di Undiknas, pasti tidak ada dosen yang berani memberi nilai C. Semuanya akan memberikan A. Sebodoh-bodohnya Dek pasti akan diberi A. Tidak akan kelihatan kepintaran Dek. Jadi lebih bagus Dek kuliah di perguruan tinggi lain."

Dukungan sang ayah semakin memantapkan Sri Darma menyandang status sebagai mahasiswa Universitas Udayana. Dia berharap bisa bersaing dengan mahasiswa lainnya dan bertekad akan mengembalikan prestasi akademiknya seperti ketika masih di SMP Swastiastu. Benar saja, Sri Darma mampu mewujudkan harapan itu menjadi sebuah realita. Dia kembali berhasil meraih "popularitas" dalam bidang pendidikan. Terbukti dari beberapa prestasi yang berhasil diraihnya; lulusan tercepat, lulusan termuda, serta lulusan dengan IPK tertinggi.

Lebih membanggakan lagi, segala prestasi itu diperolehnya karena kerja keras sendiri, tanpa meminta belas kasihan pihak lain, misalnya merengek-rengek kepada dosen atau ketua jurusan untuk diluluskan, karena alasan demi orang tua misalnya. Bukannya ingin membanggakan diri, tapi begitulah kondisi riil yang dirasakan Sri Darma selama kuliah di Universitas Udayana. Kesuksesannya diawali dari metode belajarnya yang benar mulai sejak memasuki semester IV. Sejak itu waktu kuliahnya lebih banyak diisi dengan meringkas bab demi bab mata kuliah, sekalipun tanpa adanya penjelasan lebih detail dari dosen.

Minimnya penjelasan dosen bisa dimengerti, mengingat jumlahnya yang masih terbatas dan yang sudah bergelar doktor bisa dihitung dengan jari. Proses belajar-mengajar pun jadi kurang maksimal dan bahkan sama sekali tidak menunjukkan irama perkuliahan yang ideal. Kondisi ini sempat menjadikan Sri Darma ingin pindah ke perguruan tinggi lain, yang lebih berkualitas. Pilihannya jatuh pada Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), sebab kebetulan ketika itu sedang terjalin kerja sama antara Universitas Udayana dengan institut tersebut. Namun keinginan itu tidak mendapatkan dukungan dari sejumlah dosen di kampusnya. Mereka berkilah serta meyakinkan Sri Darma bahwa tidak lama lagi, setelah datangnya bantuan laboratorium dari Perancis, Jurusan Teknik Elektro Universitas Udayana akan berbenah diri.

Semangat dan janji yang disampaikan oleh para dosennya itu akhirnya mampu meluluhkan hati Sri Darma untuk tidak jadi pindah ke ITS. Apalagi kemudian memang terbukti, Teknik Elektro Universitas Udayana menerima bantuan laboratorium dari Perancis. Seyogyanya bantuan ini bisa digunakan secara maksimal oleh para dosen dalam membantu menyempurnakan dan meningkatkan semaksimal mungkin kualitas belajar-mengajar. Namun yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Tidak ada satupun dosen yang mampu mengoperasikan peralatan canggih yang tersedia dalam laboratorium tersebut. Itu sama artinya dengan tidak ada gunanya memperoleh bantuan laboratorium dari Perancis.

Melihat tantangan seperti itu, Sri Darma lantas berdiskusi dengan teman-temannya. Mereka sepakat, tidak ingin melihat bantuan itu terbuang percuma dan hanya menjadi seonggok benda mati. Mereka pun sepakat belajar secara otodidak tentang bagaimana cara mengoperasikan alat-alat di laboratorium. Usaha mereka berhasil. Seperti terlihat dari penunjukan Sri Darma sebagai Kepala Laboratorium Komputer. Sri Darma bahkan terpilih sebagai Sekretaris Senat Fakultas Teknik dan Ketua UKM. Ia juga aktif dalam latihan bela diri.
 
Keberhasilan itu menumbuhkan semangat Sri Darma untuk mencari terobosan lain. Akhirnya ditemukan, dia akan belajar secara mandiri untuk semua mata kuliah.

"Saya bersyukur punya kemandirian dalam hal belajar. Barangkali ini adalah buah dari didikan ayah saya yang begitu disiplin dan menginginkan saya jadi yang terbaik. Karena banyak juga teman saya yang tidak tamat, gara-gara tidak punya inisiatif belajar sendiri. Mereka hanya mengandalkan dosen. Dari tiga puluh dua mahasiswa Teknik Elektro yang satu angkatan dengan saya, ada lima belas orang yang tidak tamat." (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016