Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Pada awalnya Sri Darma memang yakin dengan modal kepintaran yang dimiliki. Namun ternyata meleset dari yang diperkirakan, sebab modalnya masih kalah dari kawan-kawannya sesama lulusan murni.Sri Darma memang ditempatkan di kelas 1-5, jadi masih tergolong dalam lingkup siswa-siswa pintar. Namun dia kerap kali merasa minder berada di tengah--tengah kawannya yang ternyata jauh di atasnya.

Seringkali Sri Darma dibuat takjub oleh kemampuan teman-temannya. Dia tidak habis pikir, bagaimana caranya sampai mereka begitu cepat menangkap pelajaran di kelas. Baru sebentar dijelaskan, mereka sudah langsung mengerti substansi yang terkandung di dalamnya. Berbeda sekali dengan dirinya yang masih memerlukan waktu relatif lama untuk mencernanya. Adanya selisih kemampuan itulah yang membuat Sri Darma sulit "mengalahkan" teman-temannya. Tak usah jauh-jauh, ambil saja yang sebangku dengannya, namanya Ketut Lama.

Ketut Lama memang sangat pintar, terutama dalam pelajaran Matematika. Dia bahkan sudah mampu menurunkan beberapa rumus turunan dari rumus dasarnya. Tak perlu lagi susah payah menghafalkannya. Selain jumlahnya banyak, rumus Matematika memang relatif susah dihafalkan. Jadi tak mengherankan kalau dia berhasil menyabet rangking dua di kelas 1-5. Belum lagi pelajaran yang lain, Fisika misalnya, ada pula jagoannya yang sulit dikalahkan.

Sri Darma sering dibuat terkagum-kagum sekaligus bingung dengan jenis pertanyaan yang dikeluarkan oleh Guru Fisika. Kesulitannya bukan lagi setingkat anak SMA, melainkan sudah di atasnya, mahasiswa. Katanya, sang guru sengaja melakukan itu demi memacu prestasi belajar para siswa. Cara pembelajaran seperti itu belum pernah dialami oleh Sri Darma semasih bersekolah di Swastiastu. Jadinya perlu effort, usaha lebih keras untuk bisa eksis di tengah-tengah lingkungan yang serba pintar itu.Satu-satunya cara adalah dengan semakin giat belajar agar tidak ketinggalan "kereta."

"Saya bersaing dengan orang-orang pintar. Itu membuat semangat belajar saya jadi semakin menggila. Jadi persaingan yang begitu ketat di SMA 1 Denpasar, membuat saya harus bangun jam 4 pagi untuk belajar. Mau itu ada ulangan ataupun tidak, saya tetap belajar. Ini saya lakukan supaya tidak memalukan di kelas karena tidak bisa ngapa-ngapain.Kalau dulu di Swastiastu dengan mudahnya saya dapat rangking kelas, tapi tidak begitu saat di SMA. Paling bagus saya dapat rangking 15 atau 18. Susah sekali menembus sepuluh besar, apalagi lima besar. Lebih-lebih lagi juara kelas."

Jadi benar-benar tidak mudah bersekolah di SMAN 1 Denpasar. Persaingannya terlalu ketat. Sebab sekalipun sudah sekuat tenaga belajar, tetap saja Sri Darma masih merasa kurang.Sampai-sampai "bayangannya" tidak "terlihat" di antara ratusan siswa SMAN 1 Denpasar. Ada keinginannya untuk segera mengubah lingkungan, supaya namanya bisa diperhitungkan pada barisan orang-orang pintar di sekolah tersebut. Namun sia-sia. Tidak banyak yang bisa dia kerjakan untuk mengubah lingkungan yang sudah mapan itu.

Kondisi lingkungan sekitarnya bahkan semakin parah setelah dengan gagah beraninya Sri Darma memilih jurusan Fisika atau istilahnya A1 saat menginjak kelas dua. Padahal pihak sekolah menawarkan banyak jenis jurusan yang bisa menampung beragam hobi dan kemampuan siswa. Ada A2 untuk jurusan biologi, A3 untuk jurusan sosial, A4 untuk jurusan bahasa, dan terakhir A5 untuk jurusan agama.

Sri Darma nekat masuk ke kelas A1 demi sebuah pertarungan gengsi. Sekalipun sadar dirinya pasti akan sulit bersaing dengan teman-teman lain yang kemampuannya di atas rata-rata, tapi dia tetap bersikeras. Pasalnya, selain demi pertarungan gengsi, dia memang menyukai pelajaran yang berhubungan dengan ilmu tentang zat dan energi tersebut. Kandungan unsur kesenangan itulah yang membuat kakinya sedikit terasa ringan melangkah setiap kali pergi ke sekolah.

Sebenarnya mudah saja membuat kaki terasa ringan melangkah ke sekolah, kalau saja Sri Darma memilih masuk jurusan sosial. Persaingan di jurusan sosial akan lebih mudah dijawab dengan cara menyodorkan sebuah prestasi. Mengingat saat SMP dia amat menyukai pelajaran sosial, terutamanya Geografi dan Sejarah. Namun pilihan itu urung dilakukan. Baginya ilmu sosial hanya sekedar hobi yang tak perlu didalami.Berbeda dengan Fisika yang amat disukainya. Tentunya sangat ingin diseriusi, sekalipun harus dibayar tanpa sebuah prestasi yang menggembirakan. Paling banter hanya menduduki rangking delapan, itupun ketika sudah berada di kelas tiga.

Kegagalan berprestasi selama mengenyam pendidikan di SMAN 1 Denpasar membuat Sri Darma merefleksikan kembali kenangan ketika masih di Swastiastu. Ada perbedaan yang mencolok antara lingkungan di Swastiastu yang merupakan sekolah swasta dengan SMAN 1 Denpasar, sebuah sekolah negeri terpandang di Denpasar.

"Bolos mata pelajaran yang tidak pernah terpikirkan apalagi dilakukannya saat di Swastiastu, justru untuk pertama kalinya saya lakukan ketika di SMAN 1 Denpasar. Saat itu ada ancaman dari ketua kelas. Bagi siapa yang tidak ikut membolos akan ada sangsinya. Selain membolos, pergaulan di SMAN 1 Denpasar mulai terbiasa memakai bahasa Bali kasar untuk mencaci teman. Ini tidak pernah saya alami selama bersekolah di Swastiastu, entah saat SD maupun SMP. Itu yang buat saya geleng-geleng kepala."

Demikianlah, Sri Darma menyadari dirinya kurang menonjol di bidang akademis, dia pun lalu mencoba melirik bidang olahraga. Barangkali ini akan jauh lebih baik. Setidaknya dia sudah punya keahlian dalam olahraga basket.Setelah dijalani, kemampuan di bidang olahraga basket juga tidak bisa banyak membantu. Karena ada yang lebih, lebih, dan lebih jago bermain basket ketimbang dia. Otomatis dia menjadi penghuni tetap bangku cadangan.
Sri Darma lantas mencoba melirik olahraga lainnya, bulu tangkis.Senasibnya dengan basket, dia pun hanya dijadikan sebagai pemain cadangan.Lebih tepatnya pemain lapis tiga. Tak ingin putus asa, Sri Darma mencoba peluang bidang kesenian dengan cara mengikuti ekstrakurikuler memainkan gamelan, magamel. Setali tiga uang, sama juga jalan ceritanya dengan yang sebelumnya. Dia merasa tidak bisa berkembang. Posisi sebagai pemegang gangsa, instrumen melodis dalam gamelan, yang sangat diingininya malah jatuh ke siswa lain. Dia hanya kebagian memainkan ceng-ceng yang fungsinya untuk mengikuti irama kendang dan mengatur dinamika lagu.Posisi ini umumnya dinilai terendah dalam perkumpulan pemain gamelan.

Kalah dalam berbagai bidang membuat Sri Darma minder. Dia pun hanya mampu menjadi anak biasa-biasa saja. Hanya bisa mengikuti arus yang ada. Itu merupakan sesuatu yang berada diluar perkiraannya, sebab semasih di Swastiastu dengan perasaan dan langkah mantap dia bertekad harus masuk ke sekolah negeri. Namun tidak pernah ada penyesalan atas pilihannya ini. Sebab bagaimana pun juga, bisa menjadi siswa SMAN 1 Denpasar adalah suatu prestasi luar biasa. Lagi pula dengan menjadi siswa di sekolah tersebut, Sri Darma bisa berkawan dengan orang-orang pintar dari seluruh Bali, bahkan dari daerah lainnya pula di Indonesia.

Sri Darma pun masih mengingat nama kawan-kawannya yang berada di dalam barisan orang pintar, antara lain Ida Bagus Santi Utama, Nyoman Nuradiyasa, dan Ketut Lama, yang namanya sudah disebut di atas. Kebetulan ketiganya merupakan kawan akrab Sri Darma. Mereka menamakan diri sebagai Geng Bakso. Nama ini diambil dari hobi mereka yang suka nongkrong dan makan bakso di dekat sekolah. Bukan di rumah makan atau warung, melainkan cukup yang di gerobak dorong dan sering mangkal di seberang got. Itu bukan berarti tidak ada niatan mereka masuk rumah makan atau warung bakso, seperti yang dilakukan oleh teman-teman lainnya. Hanya saja karena jatah uang jajan tidak mencukupi, maka cukuplah membeli di gerobak dorong dan itu pun hanya cukup untuk semangkok bakso dan segelas es sirup.

Selain nongkrong sambil makan bakso, empat sekawan itu, tak pernah melibatkan diri dalam pergaulan modern ala anak Kota Denpasar pada umumnya, seperti merokok atau bahkan menenggak minuman keras. Suatu hal yang penting pula, mereka tak pernah kelayapan di diskotik. Padahal zaman itu diskotik adalah salah satu tempat pergaulan anak-anak SMA di Denpasar. Akan terasa kampungan kalau sampai tak pernah menginjakkan kaki di lantai disko.Namun anggapan itu tidak dirasa penting oleh Sri Darma dan ketiga kawannya. Mereka justru lebih nyaman memakai rumah sebagai tempat nongkrong, terutamanya di rumah Sri Darma. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016