Jakarta (Antara Bali) - Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam perlindungan terhadap anak akan mengadakan Konferensi Nasional Perlindungan Anak, di Jakarta, guna mengevaluasi 25 tahun pelaksanaan ratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA).
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian di Jakarta, Minggu, mengatakan bahwa situasi perlindungan anak di Indonesia masih harus terus dikuatkan.
Lemahnya sistem penegakan hukum yang tidak didukung dengan peraturan yang memadai, serta tantangan melindungi anak di era teknologi internet saat ini masih menjadi pekerjaan berat.
"Kasus-kasus kekerasan seksual serta eksploitasi seksual anak masih terus menerus terungkap, harapan kita kasus ini bisa berhenti dan kita akan mendengar lebih banyak berita baik di media masa tentang anak-anak Indonesiayang menatap masa depan dengan baik," ujar dia.
Direktur Eksekutif PKPA Misran Lubis mengatakan sudah seperempat abad Indonesia berkomitmen terhadap dunia untuk memastikan anak-anak di Indonesia terpenuhi hak-haknya berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum didalam KHA. Selama 25 tahun telah melewati banyak fase, mulai dari perubahan sistem politik nasional dan perubahan regulasi hukum.
Namun faktanya situasi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak masih berada dalam status "darurat perlindungan anak", katanya.
"Refleksi setelah 25 tahun ratifikasi KHA di Indonesia, bukan sebagai upaya untuk pembuatan laporan alternatif, tetapi lebih pada upaya untuk melihat ke dalam, melihat secara kongkrit, apa yang telah kita lakukan, apa yang telah dicapai oleh Indonesia, baik pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga penggiat perlindungan anak dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi," ujar dia.
Misran juga mengatakan pihaknya tidak ingin Indonesia hanya sekedar berhasil melahirkan norma hukum, tetapi gagal membangun struktur dan prosedur. Dari refleksi ini harapannya akan muncul praktik-pratik baik untuk membangun sistem perlindungan anak, yang nantinya dapat direalisasikan secara masif di seluruh Indonesia.
Pada 2016, beberapa kasus kekerasan anak di Indonesia mencuat ke permukaan, hal ini menjadi keprihatinan bagi semua.
Sementara itu, Direktur LSM Jarak Ahmad Marzuki mengatakan semua pihak meski berperan dalam memastikan semua anak terpenuhi hak-haknya secara optimal. Dirinya mendorong langkah-langkah lebih strategis, diantaranya adanya penguataan bagi sektor swasta untuk memiliki kebijakan dan tindakan yang terikat pada prinsip hak anak dan hak azasi manusia.
Selain juga berupaya mengefektifkan sistem pengaduan, pemantauan, pengawasan dan perlindungan hukum bagi anak. Cakupan dan jangkauan layanan pada anak baik bidang pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan perlindungan anak, tindakan cepat dan efektif bagi anak yang mengalami kekerasan dan eksploitasi perlu dijalankan dalam sistem terpadu baik di perkotaan, perdesaan, dan daerah terpencil, katanya.
Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2016 yang rencananya berlangsung pada 21-22 November 2016, menurut dia, merupakan pertemuan nasional pertama yang melakukan evaluasi atas sistem perlindungan anak dari penegakan hukum di Indonesia.
Pertemuan ini, lanjutnya, menjadi ruang kolaborasi ide demi terbentuknya system koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan yang ada. Selain itu, Konferensi ini bertujuan untuk menemukan fomula baru dalam mekanisme perlindungan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi serta membangun system koordinasi dan pelayanan perlindungan saksi dan korban dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak (ESKA).
Karena meskipun sudah terdapat undang-undang yang terkait dengan perlindungan anak, masih ditemukan banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perdagangan dan ekspolitasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Koordinator Nasional ECPAT Indonesia Ahmad Sofian di Jakarta, Minggu, mengatakan bahwa situasi perlindungan anak di Indonesia masih harus terus dikuatkan.
Lemahnya sistem penegakan hukum yang tidak didukung dengan peraturan yang memadai, serta tantangan melindungi anak di era teknologi internet saat ini masih menjadi pekerjaan berat.
"Kasus-kasus kekerasan seksual serta eksploitasi seksual anak masih terus menerus terungkap, harapan kita kasus ini bisa berhenti dan kita akan mendengar lebih banyak berita baik di media masa tentang anak-anak Indonesiayang menatap masa depan dengan baik," ujar dia.
Direktur Eksekutif PKPA Misran Lubis mengatakan sudah seperempat abad Indonesia berkomitmen terhadap dunia untuk memastikan anak-anak di Indonesia terpenuhi hak-haknya berdasarkan prinsip-prinsip yang tercantum didalam KHA. Selama 25 tahun telah melewati banyak fase, mulai dari perubahan sistem politik nasional dan perubahan regulasi hukum.
Namun faktanya situasi pemenuhan hak anak dan perlindungan anak masih berada dalam status "darurat perlindungan anak", katanya.
"Refleksi setelah 25 tahun ratifikasi KHA di Indonesia, bukan sebagai upaya untuk pembuatan laporan alternatif, tetapi lebih pada upaya untuk melihat ke dalam, melihat secara kongkrit, apa yang telah kita lakukan, apa yang telah dicapai oleh Indonesia, baik pemerintah, masyarakat dan lembaga-lembaga penggiat perlindungan anak dalam melindungi anak-anak dari kekerasan dan eksploitasi," ujar dia.
Misran juga mengatakan pihaknya tidak ingin Indonesia hanya sekedar berhasil melahirkan norma hukum, tetapi gagal membangun struktur dan prosedur. Dari refleksi ini harapannya akan muncul praktik-pratik baik untuk membangun sistem perlindungan anak, yang nantinya dapat direalisasikan secara masif di seluruh Indonesia.
Pada 2016, beberapa kasus kekerasan anak di Indonesia mencuat ke permukaan, hal ini menjadi keprihatinan bagi semua.
Sementara itu, Direktur LSM Jarak Ahmad Marzuki mengatakan semua pihak meski berperan dalam memastikan semua anak terpenuhi hak-haknya secara optimal. Dirinya mendorong langkah-langkah lebih strategis, diantaranya adanya penguataan bagi sektor swasta untuk memiliki kebijakan dan tindakan yang terikat pada prinsip hak anak dan hak azasi manusia.
Selain juga berupaya mengefektifkan sistem pengaduan, pemantauan, pengawasan dan perlindungan hukum bagi anak. Cakupan dan jangkauan layanan pada anak baik bidang pendidikan, kesehatan, jaminan sosial dan perlindungan anak, tindakan cepat dan efektif bagi anak yang mengalami kekerasan dan eksploitasi perlu dijalankan dalam sistem terpadu baik di perkotaan, perdesaan, dan daerah terpencil, katanya.
Konferensi Nasional Perlindungan Anak 2016 yang rencananya berlangsung pada 21-22 November 2016, menurut dia, merupakan pertemuan nasional pertama yang melakukan evaluasi atas sistem perlindungan anak dari penegakan hukum di Indonesia.
Pertemuan ini, lanjutnya, menjadi ruang kolaborasi ide demi terbentuknya system koordinasi antar berbagai pemangku kepentingan yang ada. Selain itu, Konferensi ini bertujuan untuk menemukan fomula baru dalam mekanisme perlindungan anak-anak yang menjadi korban kekerasan dan eksploitasi serta membangun system koordinasi dan pelayanan perlindungan saksi dan korban dalam kasus eksploitasi seksual komersial anak (ESKA).
Karena meskipun sudah terdapat undang-undang yang terkait dengan perlindungan anak, masih ditemukan banyaknya anak-anak yang menjadi korban kekerasan, perdagangan dan ekspolitasi. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016