Kuta (Antara Bali) - Lembaga penelitian kehutanan, Center for International Forestry Research (CIFOR) mendorong pemangku kebijakan dalam menerapkan pendekatan bentang alam yang terintegrasi dengan keterlibatan partisipatif masyarakat untuk menghadapi masalah global seperti kemiskinan, ketahanan pangan dan sosial budaya.

"Pemangku kebijakan berperan untuk menciptakan kebijakan lingkungan yang memberikan ruang kepada pendekatan bentang alam dengan solusi yang terintegrasi," kata Peneliti Pendekatan Bentang Alam atau "Landscape approach" dari CIFOR, Josh van Vianen dalam lokakarya jurnalis di Kuta, Bali, Selasa.

Menurut dia, pendekatan bentang alam merupakan kerangka untuk mengintegrasikan kebijakan dan penggunaan lahan dengan sistem manajemen yang terintegrasi dan mengajak semua pihak untuk bernegosiasi membuat perencanaan bersama dalam meminimalkan dampak negatif.

Peneliti dari Selandia Baru itu menjelaskan bahwa faktor yang mendukung suksesnya pendekatan bentang alam itu di antaranya manajemen komunitas, dukungan institusi termasuk pemerintah, tata kelola dan pemberdayaan masyarakat dan manajemen yang adaptif.

Namun meski teori pendekatan landskap itu dinilai positif, pada kenyataannya masih kurang diimplementasikan di lapangan.

Josh menjelaskan bahwa masih terdapat kendala dalam implemenasi konsep tersebut di antaranya masih belum adanya satu kesatuan dari institusi terkait seperti dalam penyebutan istilah meskipun intinya sama.

Selain itu masih belum adanya kesatuan pemikiran yang masih terkotak-kotak serta hambatan dalam mengajak pemangku kepentingan lain dan sedikitnya instrumen untuk memonitor.

"Teori pendekatan lanskap itu sangat bagus tetapi implementasi masih kurang. Ini bukan hanya sekedar proyek tetapi menitikberatkan kepada proses," imbuhnya.

Sementata itu peneliti CIFOR lain, Linda Yuliani yang juga menjadi pembicara dalam lokakarya itu menambahkan bahwa partisipasi aktif masyarakat mulai menyuarakan ide dan gagasan hingga proses negosiasi.

"Kenapa harus pendekatan bentang alam ini? karena meliputi beragam fungsi penggunaan, kepentingan hingga cara pengelolaan," ucapnya.

Dia menjelaskan bahwa pendekatan lanskap itu tidak hanya melihat satu sisi seperti pengelolaan hutan semata tetapi mempertimbangkan sisi ekonomi, konservasi, budaya, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat di dalamnya.

"Landscape approach" merupakan strategi untuk merekonsiliasi lingkungan dan sosioekonomi yang bersaing dalam pembangunan bentang alam tropis.

Konsep pendekatan bentang alam telah lama dikenal di dunia yang dimulai tahun 1980 dari pendekatan berbasis ekosistem kemudian beralih menjadi pendekatan pembangunan rural hingga tahun 1992 untuk pertama kalinya mencuat "landscap approach" dan tahun 2010 hingga saat ini mulai mengarah untuk pendekatan bentang alam yang lebih terintegrasi. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : Dewa Sudiarta Wiguna


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016