Denpasar (Antara Bali) - Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) memutuskan untuk kembali melaut mulai 8 November 2016 pascamogok menangkap tuna sebagai bentuk protes terkait larangan bongkar muat di tengah laut atau "transhipment".
"Kami lepas (melaut) kembali karena terkait masalah sosial pekerja, ABK kami," kata Sekretaris Jenderal ATLI Dwi Agus Siswa Putra ditemui saat diskusi publik bertajuk "Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk Siapa?" di Sanur, Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, pihaknya akan tetap melakukan sistem "transhipment" bagi 401 kapal longline meskipun pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 tahun 2014 tentang pengetatan usaha perikanan tangkap di Perairan Indonesia melarang praktik itu.
"Selama belum ada (solusi) ya `transhipment` saja sesama kapal tangkap, kalau ditangkap kasi saja kapalnya," ucapnya.
Dia menjelaskan, keputusan mogok ataupun kembali melaut bukan merupakan keputusan ATLI namun sepenuhnya permintaan anggota yang disampaikan melalui rapat evaluasi terakhir pada Jumat (28/10).
Sejak mogok melaut awal Oktober 2016, Dwi menjelaskan pihaknya tidak mendapatkan pendapatan alias nol pemasukan padahal per bulan pihaknya mampu menangkap tuna sekitar 1.200 ton.
"Transhipment", kata dia, merupakan metode yang efisien dilakukan mengingat pihaknya mengekspor tuna segar bukan tuna beku dalam waktu 17 hari sudah harus tiba di negara tujuan, sedangkan kapal penangkap tuna menangkap hingga kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di atas 60 mil sekitar tiga hingga enam bulan.
Jauhnya areal penangkapan ikan tuna itu, lanjut dia, tidak memungkinkan melakukan "ilegal fishing" saat bongkar muat di tengah laut seperti yang dikhawatirkan Kementerian Kelautan Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 57 tahun 2014 tentang pengetatan usaha perikanan tangkap di Perairan Indonesia salah satunya menyangkut "transhipment".
KKP menilai "transhipment" menjadi salah satunya modus ikan Indonesia dijarah dan dibawa ke luar negeri secara ilegal sehingga tidak ada pencatatan jelas maka dari itu diterbitkan peraturan menteri tersebut untuk mengatur bongkar muat di tengah laut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Kami lepas (melaut) kembali karena terkait masalah sosial pekerja, ABK kami," kata Sekretaris Jenderal ATLI Dwi Agus Siswa Putra ditemui saat diskusi publik bertajuk "Kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk Siapa?" di Sanur, Denpasar, Sabtu.
Menurut dia, pihaknya akan tetap melakukan sistem "transhipment" bagi 401 kapal longline meskipun pemerintah melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57 tahun 2014 tentang pengetatan usaha perikanan tangkap di Perairan Indonesia melarang praktik itu.
"Selama belum ada (solusi) ya `transhipment` saja sesama kapal tangkap, kalau ditangkap kasi saja kapalnya," ucapnya.
Dia menjelaskan, keputusan mogok ataupun kembali melaut bukan merupakan keputusan ATLI namun sepenuhnya permintaan anggota yang disampaikan melalui rapat evaluasi terakhir pada Jumat (28/10).
Sejak mogok melaut awal Oktober 2016, Dwi menjelaskan pihaknya tidak mendapatkan pendapatan alias nol pemasukan padahal per bulan pihaknya mampu menangkap tuna sekitar 1.200 ton.
"Transhipment", kata dia, merupakan metode yang efisien dilakukan mengingat pihaknya mengekspor tuna segar bukan tuna beku dalam waktu 17 hari sudah harus tiba di negara tujuan, sedangkan kapal penangkap tuna menangkap hingga kawasan zona ekonomi eksklusif (ZEE) di atas 60 mil sekitar tiga hingga enam bulan.
Jauhnya areal penangkapan ikan tuna itu, lanjut dia, tidak memungkinkan melakukan "ilegal fishing" saat bongkar muat di tengah laut seperti yang dikhawatirkan Kementerian Kelautan Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 57 tahun 2014 tentang pengetatan usaha perikanan tangkap di Perairan Indonesia salah satunya menyangkut "transhipment".
KKP menilai "transhipment" menjadi salah satunya modus ikan Indonesia dijarah dan dibawa ke luar negeri secara ilegal sehingga tidak ada pencatatan jelas maka dari itu diterbitkan peraturan menteri tersebut untuk mengatur bongkar muat di tengah laut.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016