Denpasar (Antara Bali) - Asosiasi Tuna Longline Indonesia (ATLI) akan mengevaluasi aksi mogok sementara operasional penangkapan ikan tuna yang dilakukan sejak awal Oktober 2016 sebagai bentuk protes terkait larangan bongkar muat di tengah laut atau "transhipment".

"Ini (mogok) mau diteruskan atau apa dibubarkan `longline` dalam artian, dirubah menjadi alat tangkap jaring atau `handline`," kata Sekretaris Jenderal ATLI Dwi Agus Siswa Putra kepada Antara di Denpasar, Kamis.

Menurut dia, pihaknya akan mengumpulkan para anggota dalam rapat untuk menampung masukan yang rencananya digelar pada Jumat (28/10) guna menentukan kelanjutan aksi ikat kapal longline di pelabuhan Benoa alias tidak melaut yang sudah berjalan selama 25 hari.

Dalam evaluasi itu, kata Dwi, juga akan dibahas terkait Peraturan Dirjen 01 tahun 2015 Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menurut dia memuat beberapa poin yang dinilai membingungkan dan peraturan itu berada di bawah peraturan menteri yang lebih tinggi.

Peraturan itu menyebutkan di antaranya penggunaan kapal penyangga dan operasional kapal yang harus kembali ke darat dalam waktu tiga bulan.

"Sedangkan longline itu melaut di atas 60 mil atau laut lepas, di wilayah ZEE (zona ekonomi ekslusif) dengan waktu melaut enam sampai tujuh bulan," ujarnya.

Selain itu, Dwi menyebutkan bahwa pengusaha wajib menandatangani pakta integritas dengan aparat TNI dan Polri.

Akibat dari aksi mogok itu, lanjut Dwi, mengakibatkan 401 kapal longline tertambat di Pelabuhan Benoa, Denpasar, padahal sejak tahun 2000 ekspor ikan tuna segar Indonesia sebanyak 87 persen di antaranya dari Bali yang diekspor ke Jepang dan Amerika Serikat.

Sementara itu Ketua II ATLI, Tahir Gusti menambahkan bahwa "transhipment" dilakukan untuk menjaga kesegaran ikan tuna karena pihaknya mengekspor tuna yang masih segar bukan ikan tuna yang dibekukan.

Sedangkan kesegaran tuna, lanjut dia, bertahan hingga delapan hari sehingga pihaknya memerlukan bongkar buat di tengah laut dengan sesama manajemen.

Sementara jarak melaut dilakukan hingga ke lautan lepas yang membutuhkan waktu lebih lama untuk kembali berlabuh.

"Tidak mungkin kami melakukan tindakan ilegal karena dari letak geografis, mau dibawa kemana?," katanya seraya menambahkan aksi mogok bukan arahan dari ATLI melainkan suara dari anggota.

ATLI sendiri menaungi 19 perusahaan dan 150 perorangan yang mempekerjakan sekitar 6.000 orang.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti sebelumnya mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 57 tahun 2014 tentang pengetatan usaha perikanan tangkap di Perairan Indonesia salah satunya menyangkut "transhipment".

KKP menilai "transhipment" menjadi salah satunya modus ikan Indonesia dijarah dan dibawa ke luar negeri secara ilegal sehingga diterbitkan peraturan menteri itu untuk mengatur bongkar muat di tengah laut. (Adt)

Pewarta: Pewarta: Dewa Wiguna

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016