Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Perhatian yang tercurah dari para guru sekolah Swastiastu memang mampu meninggalkan jejak kenangan manis pada diri Sri Darma. Tak heran jadinya kalau dia mengaku semua guru wali kelas selama di SD begitu membekas dibenaknya. Mulai dari Ibu Martini sebagai wali kelas satu. Wali kelas dua bernama Ibu Lusi. Wali kelas empat bernama Pak Suteja. Pak Robert sebagai wali kelas lima. Pak Gatra sebagai wali kelas enam. Dari kesemua wali kelas itu, Pak Suteja dan Pak Gatra yang paling berkesan di hati Sri Darma.

Guru Suteja banyak mengajarinya tentang kedisiplinan, sekalipun terkadang dengan cara yang terkesan keras. Namun Sri Darma merasa Guru Gatra yang lebih keras mendidiknya. Didikan dari guru ini yang menjadikan Sri Darma lebih pintar. Maksudnya? Sebagai wali kelas enam, jelas Guru Gatra memikul tanggung jawab yang besar untuk memotivasi para siswa agar sukses menghadapi ujian kelulusan, EBTANAS. Dia kerap menakut-nakuti siswa. Mengatakan kalau EBTANAS tidaklah gampang. Karena itu perlu giat belajar demi memperoleh nilai yang tinggi.

Mendidik dengan cara menakut-nakuti itu terbukti ampuh, terutama pada Sri Darma. Dia menjadi semakin rajin belajar, terutamanya disiplin menjawab soal-soal yang sudah dikeluarkan tahun sebelumnya. Dari soal-soal itu akan melatih kejelian dalam berpikir. Jadi tak ada lagi pelajaran yang sekedar dihafal, masuk kuping kanan lantas keluar kuping kiri. Cara belajar seperti itu terbukti mampu mengantarkan Sri Darma ke gerbang kelulusan dengan nilai yang terbilang tinggi.

Tibalah akhirnya masa-masa terakhir yang ditutup dengan acara perpisahan antara para guru dan anak didik. Acaranya dilangsungkan di Bedugul. Di sanalah segala perasaan bahagia diluapkan begitu saja oleh Sri Darma dan teman-temannya. Setelah enam tahun berjuang menimba ilmu di bangku sekolah dasar, 1976 sampai 1982. Rentang waktu itu menjadi masa-masa yang indah pada kehidupan Sri Darma, bukan hanya pengalamannya saat-saat berada di lingkungan sekolah Swastiastu-sejak tahun 1999 hingga sekarang berubah nama menjadi Santo Yoseph, tetapi juga manakala akan berangkat ke sekolah.

Kala itu, suasana jalanan dari rumahnya menuju sekolah relatif sepi. Sekalipun di Denpasar sudah berseliweran angkutan kota berupa bemo roda tiga, namun tidak ada jalur Jalan Waturenggong-Sudirman, yang merupakan lokasi sekolah Swastiastu. Jadinya, mau tak mau harus berjalan kaki, pergi pulang sekolah. Namun Sambereg merasa aman, karena Sri Darma bisa menempuhnya dengan cara menapaki setiap jalanan sawah yang masih sunyi sepi di belakang rumahnya menuju sekolah-sekarang semuanya sudah jadi bangunan bertingkat.

Rutinitas berjalan kaki itupun berakhir setelah sang ayah membelikannya sebuah sepeda gayung. Sepeda ini dibeli pada saat Sri Darma lulus SD yang nantinya digunakan ketika masuk di SMP Swastiastu. "Sebenarnya saya sangat ingin sekali masuk sekolah negeri," ujar Sri Darma. Keinginan itu berusaha diwujudkan dengan cara mendaftar di SMP Negeri 1 Denpasar. Sebelum mendaftar, lebih dulu dia menyampaikan keinginan itu pada sang ayah. Ayahnya merestui, tapi tidak ingin ikut campur, sekalipun dia memiliki hubungan baik dengan kepala sekolah itu.

Sang ayah membiarkan Sri Darma mengurus dirinya sendiri. "Ya, kamu cari saja sendiri. Bapak tidak mau mencarikanmu sekolah. Kalau sekolah saja dicarikan, berarti nanti pekerjaan juga harus dicarikan. Kalau kamu memang pintar, pasti bisa dapat di SMP 1," ucap sang ayah pada Sri Darma. Ucapan sang ayah, membuat Sri Darma jengah, bersemangat untuk membuktikan kemampuan dirinya sendiri. "Saya mendaftar sendiri ke SMP 1 dengan naik sepeda. Begitu juga saat tes berlangsung. Semuanya saya lakukan sendiri," kata Sri Darma.

Perjuangan Sri Darma tidak berbuah manis. Dia gagal mewujudkan mimpinya bersekolah di sekolah negeri favorit itu. Kegagalan itu tak lantas membuatnya berkecil hati. Karena sang ayah selalu membesarkan hatinya. "Ya Swastiastu juga bagus dan tidak kalah dengan SMP 1 Denpasar," ucap sang ayah pada Sri Darma.

Sri Darma pun kembali ke lingkungan Swastiastu. Terhitung dari tahun 1982 hingga 1985, dia tercatat sebagai siswa SMP Swastiastu. Tak ada perbedaan mencolok yang dirasakan Sri Darma di sekolah ini. Semuanya tampak sama seperti saat di SD, terutama suasana kedisiplinannya. Termasuk juga, sikap para gurunya yang begitu perhatian pada siswa. Salah satu darinya, Nyoman Nyuru, seorang Katolik yang mengajar Geografi. Keistimewaannya terletak pada caranya yang lugas saat menerangkan pelajaran Geografi. Dia sering mengaitkan Geografi dengan ilustrasi sejarah dunia. Metode pengajaran seperti itu sangat disukai oleh Sri Darma.

Pelajaran sosial lainnya yang juga membetot perhatian Sri Darma adalah Sejarah Nasional. Terbukti dari nilai 10 yang selalu diperoleh Sri Darma untuk pelajaran Sejarah Nasional. Ketertarikan pada Sejarah Nasional juga tak lepas dari cara gurunya mengajar yang begitu sistematis sehingga mudah dimengerti. Sang guru menerangkan sebuah peristiwa sejarah dalam bentuk cerita yang membuat siswa tidak bosan mendengarkannya.

Sekalipun senang sekali dengan pelajaran Sejarah Nasional, namun itu bukan berarti Sri Darma mengabaikan yang lainnya. Ia ternyata sangat menyukai pelajaran berbau eksak, terutama Matematika dan Fisika. Namun itu bukan berarti pelajaran lainnya diabaikan, sebab pada dasarnya Sri Darma menyukai semua mata pelajaran. Kesenangannya pada banyak pelajaran, termasuk Bahasa Indonesia, yang umumnya dinilai membosankan, ternyata memudahkannya bertarung di arena EBTANAS.

Lulus EBTANAS merupakan suatu kebanggaan bagi semua siswa. Sebab siapa pun yang lulus EBTANAS dengan nilai tinggi, akan memiliki kesempatan menginjakkan kaki di SMA Negeri. Inilah yang membuat Sri Darma begitu semangat mengikuti EBTANAS. Setelah secara berturut-turut masuk di sekolah swasta, dia pun merasa jenuh. Alangkah nikmatnya kalau bisa masuk ke sekolah negeri saat masuk SMA. Peluang untuk mewujudkan asa itu terbuka lebar, dia lulus EBTANAS dengan nilai 42,72 untuk lima mata pelajaran.

Tentu saja nilai dengan rata-rata delapan itu menjadikan Sri Darma semakin yakin akan bisa menuntut ilmu di sekolah negeri. Keyakinan itu sebenarnya sudah terbentuk sebelum pengumuman nilai EBTANAS, "Aku pasti bisa masuk di salah satu SMA negeri di Denpasar. Keyakinan itu semakin membulat ketika terbukti dia memperoleh hasil yang memuaskan. Dia pun mendaftar sendiri ke SMA negeri 1,2, dan 3. Semuanya di Denpasar. Hebatnya, dia dinyatakan lulus pada ketiga sekolah ini. Kenyataan ini membuat hatinya bahagia. Tak hanya Sri Darma, tapi seluruh keluarga juga ikut bahagia.

Namun di tengah rasa bahagia itu, Sri Darma merasa dilema. Mana yang harus dipilih dari ketiga SMA negeri itu. Sri Darma memilih SMA Negeri 3 Denpasar. Ternyata pilihan itu tidak bertahan lama, hanya karena sang ayah tidak membelikannya sepeda motor. Padahal Sri Darma sudah menjelaskan, sepeda motor itu tidak akan dipakai untuk bergaya, melainkan demi kemudahannya pergi pulang ke sekolah yang terlampau jauh jaraknya dari rumah, ada sekitar 7 kilometer. Namun sang ayah punya pendapat berbeda, keberadaan sepeda motor tidak terlalu mendesak, sebab masih bisa ditempuh dengan memakai sepeda gayung. Sri Darma tidak mau menerima pendapat ayahnya. Dia tetap merengek. Pada akhirnya, dia pun mendapatkan sepeda motor yang diinginkan, merk Yamaha.

Keberadaan sepeda motor itu, bukannya membuat Sri Darma makin mantap memilih SMAN 3 Denpasar. Dia justru berpaling hati. Entah pergolakan seperti apa yang bergelayut dalam hatinya saat itu sehingga akhirnya memilih SMAN 1 Denpasar sebagai tempat berikutnya untuk menimba ilmu. Memang sulit dipungkiri, prestasi SMAN 1 Denpasar juga tak kalah bagus dari SMAN 3 Denpasar. Bahkan jadi yang terbaik dari seluruh SMA di Denpasar saat itu.

Karena statusnya jadi yang terbaik, maka siapapun pasti bangga bisa berseragam SMAN 1 Denpasar. Terjadilah perebutan untuk bisa masuk ke SMA favorit tersebut, sebab jika masih memungkinkan semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya terdaftar sebagai siswa sekolah dengan predikat yang terbaik itu. Tentu demikian pula keinginan yang melekat pada diri Sambereg, hanya saja tidak diungkapkannya secara langsung. Itu karena anaknya, Sri Darma berhasil mengisi satu dari ratusan bangku yang tersedia di sekolah terfavorit itu mulai tahun ajaran 1985/1986. Apalagi dicapainya melalui usaha sendiri, tanpa perlu menghalalkan cara-cara "main belakang."

Masuk ke SMAN 1 Denpasar dengan usaha sendiri memang sebuah prestasi yang patut dibanggakan, karena tak sedikit orang yang melakukannya dengan cara-cara "gaib." Anak yang masuk lewat pintu belakang itu ditampung dalam "kelas titipan." Kebanyakan dari mereka itu tidaklah jago dalam pelajaran, alias pas-pasan. Keadaannya berbeda sekali dengan yang lulus murni seperti halnya Sri Darma. Ia memiliki modal yang relatif kuat dalam pelajaran. Modal itulah yang akan digunakannya "bertarung" dengan sesama teman yang lulus murni. Mereka berasal dari seluruh wilayah di Bali. Banyak pula yang dari luar Bali. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016