Nusa Dua (Antara Bali) - Lembaga Penyiaran Publik RRI dan lembaga radio swasta mendorong digitalisasi radio di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan perkembangan teknologi.
"Pemerintah harus lebih serius memperhatikan soal digitalisasi radio jangan sampai ada perbedaan dengan televisi," kata Direktur Utama LPP RRI, Mohammad Rohanudin ditemui dalam diskusi Implementasi Siaran Radio Digital (DRM) di Indonesia serangkaian Asia Pasific Broadcasting Union (ABU) ke-53 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Menurut dia, digital radio mondiale (DRM) juga menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan ABU ke-53 di Bali.
Terlebih sejumlah negara telah menerapkan digitalisasi radio seperti di India, Arab Saudi, negara-negara di kawasan Timur Tengah, Australia dan termasuk Malaysia yang mengarah untuk menerapkan DRM.
Di sejumlah negara format digitalisasi radio, lanjut dia, ada dua versi yakni DRM dan "Digital Audio Broadcasting" (DAB) yang diterapkan oleh Singapura.
"Tetapi di Asia Pasifik itu lebih cenderung memilih DRM," imbuhnya.
Digitalisasi radio, kata dia, memberikan kualitas audio yang lebih jernih termasuk efisiensi frekuensi bagi lembaga penyiaran yang memungkinkan satu frekuensi dimililiki oleh tiga radio atau lebih.
Meski demikian hingga saat ini Indonesia belum memiliki regulasi terkait digitalisasi radio termasuk infrastruktur penerima siaran digital atau "receiver" yang masih belum ada.
Rohanudin mengatakan regulasi tersebut baru dalam rancangan namun itu pun pada konteks penggabungan RRI dan TVRI yang didalamnya ada pasal-pasal yang merepresentasikan perkembangan digitaliasi.
"Untuk hadir (digitalisasi radio), aturan dan `receiver` itu harus ada, maka pemerintah juga harus mengajak industri untuk produksi itu," imbuhnya.
Sementara itu CEO Suara Surya, Errol Jonathan yang turut hadir menjadi pembicara dalam diskusi itu menyatakan bahwa lembaga penyiaran termasuk radio di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan saat ini termasuk adanya teknologi digitalisasi.
Tanpa itu, kelanjutan radio bisa berakhir karena minimnya produk kreatif yang lahir termasuk memanfaatkan teknologi.
Namun kesuksesan DRM itu ditentukan oleh sejumlah hal di antaranya regulasi dan implementasi teknologi DRM, jaminan ketersediaan instrumen penerima siaran, harga instrumen penerima siaran terjangkau serta manajemen radio mengubah paradigma.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Prof Dr Henry Subiakto mengakui bahwa selama ini regulator lebih teronsentrasi pada digitalisasi televisi.
Ia juga menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia bermigrasi dari radio analog menjadi digital baik itu DRM, DAB atau "streaming" yang intinya menerapkan teknologi modern untuk memberikan kualitas kepada pendengarnya.
"Kami akan coba masukkan ke regulasi-regulasi yang baru baik itu ditingkatan undang-undang yang baru mau dibuat atau UU Penyiaran dan UU RTRI atau dibuat khusus di Peraturan Pemerintah," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Pemerintah harus lebih serius memperhatikan soal digitalisasi radio jangan sampai ada perbedaan dengan televisi," kata Direktur Utama LPP RRI, Mohammad Rohanudin ditemui dalam diskusi Implementasi Siaran Radio Digital (DRM) di Indonesia serangkaian Asia Pasific Broadcasting Union (ABU) ke-53 di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Kamis.
Menurut dia, digital radio mondiale (DRM) juga menjadi salah satu isu sentral dalam pertemuan ABU ke-53 di Bali.
Terlebih sejumlah negara telah menerapkan digitalisasi radio seperti di India, Arab Saudi, negara-negara di kawasan Timur Tengah, Australia dan termasuk Malaysia yang mengarah untuk menerapkan DRM.
Di sejumlah negara format digitalisasi radio, lanjut dia, ada dua versi yakni DRM dan "Digital Audio Broadcasting" (DAB) yang diterapkan oleh Singapura.
"Tetapi di Asia Pasifik itu lebih cenderung memilih DRM," imbuhnya.
Digitalisasi radio, kata dia, memberikan kualitas audio yang lebih jernih termasuk efisiensi frekuensi bagi lembaga penyiaran yang memungkinkan satu frekuensi dimililiki oleh tiga radio atau lebih.
Meski demikian hingga saat ini Indonesia belum memiliki regulasi terkait digitalisasi radio termasuk infrastruktur penerima siaran digital atau "receiver" yang masih belum ada.
Rohanudin mengatakan regulasi tersebut baru dalam rancangan namun itu pun pada konteks penggabungan RRI dan TVRI yang didalamnya ada pasal-pasal yang merepresentasikan perkembangan digitaliasi.
"Untuk hadir (digitalisasi radio), aturan dan `receiver` itu harus ada, maka pemerintah juga harus mengajak industri untuk produksi itu," imbuhnya.
Sementara itu CEO Suara Surya, Errol Jonathan yang turut hadir menjadi pembicara dalam diskusi itu menyatakan bahwa lembaga penyiaran termasuk radio di dalamnya harus mampu menyesuaikan dengan perkembangan saat ini termasuk adanya teknologi digitalisasi.
Tanpa itu, kelanjutan radio bisa berakhir karena minimnya produk kreatif yang lahir termasuk memanfaatkan teknologi.
Namun kesuksesan DRM itu ditentukan oleh sejumlah hal di antaranya regulasi dan implementasi teknologi DRM, jaminan ketersediaan instrumen penerima siaran, harga instrumen penerima siaran terjangkau serta manajemen radio mengubah paradigma.
Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, Prof Dr Henry Subiakto mengakui bahwa selama ini regulator lebih teronsentrasi pada digitalisasi televisi.
Ia juga menambahkan bahwa sudah saatnya Indonesia bermigrasi dari radio analog menjadi digital baik itu DRM, DAB atau "streaming" yang intinya menerapkan teknologi modern untuk memberikan kualitas kepada pendengarnya.
"Kami akan coba masukkan ke regulasi-regulasi yang baru baik itu ditingkatan undang-undang yang baru mau dibuat atau UU Penyiaran dan UU RTRI atau dibuat khusus di Peraturan Pemerintah," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016