Jakarta (Antara Bali) - Pemerintah menaikkan tarif cukai tembakau pada
2017 seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
No.147/PMK.010/2016, untuk mengendalikan produksi, tenaga kerja, rokok
ilegal dan penerimaan cukai. Pemerintah juga menaikkan harga jual eceran
(HJE) dengan rata-rata 12,26 persen.
Kebijakan cukai baru ini menyebutkan kenaikan tarif cukai tertinggi sebesar 13,46 persen untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan tarif cukai terendah 0 persen untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang 10,54 persen.
"Pemerinah menyadari rokok merupakan komoditas yang merugikan kesehatan masyarakat, oleh karena itu konsumsinya perlu dibatasi. Kenaikan tarif cukai ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan peredaran rokok," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Pusat Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat.
Sri Mulyani mengharapkan kenaikan tarif cukai berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Pada 2017, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp149,8 triliun atau 10 persen dari total penerimaan pajak.
"Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan. Artinya pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengamankan kebijakan cukai karena apabila meleset, akan langsung berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan nasional," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, kebijakan ini sudah dibicarakan dengan berbagai pihak terkait, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok.
Kementerian Keuangan juga telah bertemu dan berdiskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas yang menyimpulkan kenaikan cukai harus ditempuh untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok.
Namun, kenaikan itu harus berimbang sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Kebijakan cukai baru ini menyebutkan kenaikan tarif cukai tertinggi sebesar 13,46 persen untuk jenis hasil tembakau Sigaret Putih Mesin (SPM) dan tarif cukai terendah 0 persen untuk hasil tembakau Sigaret Kretek Tangan (SKT) golongan IIIB, dengan kenaikan rata-rata tertimbang 10,54 persen.
"Pemerinah menyadari rokok merupakan komoditas yang merugikan kesehatan masyarakat, oleh karena itu konsumsinya perlu dibatasi. Kenaikan tarif cukai ini memang bertujuan untuk mengendalikan konsumsi dan peredaran rokok," kata Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Pusat Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat.
Sri Mulyani mengharapkan kenaikan tarif cukai berkorelasi positif dengan penerimaan dari sektor cukai. Pada 2017, penerimaan cukai ditargetkan sebesar Rp149,8 triliun atau 10 persen dari total penerimaan pajak.
"Walaupun ada sedikit penurunan, namun kontribusinya masih cukup signifikan. Artinya pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama mengamankan kebijakan cukai karena apabila meleset, akan langsung berkaitan dengan APBN yang pada akhirnya akan mempengaruhi pembangunan nasional," ujar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menuturkan, kebijakan ini sudah dibicarakan dengan berbagai pihak terkait, baik pihak yang peduli dengan kesehatan dan lapangan pekerjaan, petani tembakau, maupun asosiasi pengusaha rokok.
Kementerian Keuangan juga telah bertemu dan berdiskusi dengan pemerintah daerah, yayasan, dan universitas yang menyimpulkan kenaikan cukai harus ditempuh untuk mengendalikan konsumsi dan produksi rokok.
Namun, kenaikan itu harus berimbang sehingga tidak berdampak negatif terhadap ketersediaan lapangan pekerjaan dan kesempatan hidup bagi industri kecil. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016