Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Namun yang dipilih bukan sekolah menengah atas (SMA) melainkan SMEA (sekolah menengah ekonomi atas), dengan maksud begitu lulus mudah mendapatkan pekerjaan. Tempat sekolahnya bukan lagi di Tabanan, melainkan Singaraja. Barangkali rasa ingin tahu berlebih yang membawanya berani merantau ke Singaraja.

Ternyata bukan hanya masa-masa SMA yang dihabiskan Sambereg di Singaraja. Jenjang pendidikan perguruan tinggi pun, dia tempuh di kota yang dulu merupakan pusat pemerintahan Karesidenan Bali dan Lombok itu. Dia tercatat sebagai mahasiswa IKIP Negeri Singaraja, dulunya masih berada dalam lingkup Universitas Udayana. Sambereg tak membuang kesempatan selama bersekolah di Singaraja. Hingga akhirnya tahun 1962, dia dinyatakan lulus dan berhak menyandang gelar sarjana muda, Bachelor of Arts (BA).

Keberhasilan Sambereg meraih gelar sarjana muda, rupanya tak dibarengi dengan kisah percintaannya. Ternyata embel-embel sarjana muda saja belum membuatnya percaya diri untuk mendekati wanita. Sulit sekali rasanya. Masih ada kekurangan yang menganga cukup lebar pada dirinya, yaitu masalah uang. Sempat beberapa kali dia mendekati wanita untuk kemudian menjalin hubungan yang lebih serius, tapi gagal. Ya salah satu alasannya karena dia tidak punya banyak uang untuk membeli rumah dan kendaraan pribadi. Alasan yang sangat masuk akal bagi seorang wanita untuk menilai seorang laki-laki.

Namun tidak semua wanita selalu memakai patokan uang untuk menilai layak atau tidaknya seorang laki-laki. Ini tercermin dari seorang wanita bernama Nyoman Kundri. Siapakah dia? Apakah ada hubungan keluarga dengan Sambereg? Kundri berasal dari desa yang sama dengan Sambereg, Desa Gunaksa. Rupanya mereka masih terikat hubungan kekeluargaan. Sama-sama dari klan Pande Besi. Lebih tepatnya dikatakan kalau Kundri adalah keponakan Sambereg. Tanpa disadari, hubungan yang awalnya hanya sekedar seorang keponakan dengan paman, lantas berlanjut ke arah yang lebih serius.

Sebagai orang yang patuh pada petuah leluhur, Kundri berharap hanya akan menikah dengan laki-laki satu klan. Maka mau apa lagi, Sambereg adalah pilihan yang tepat. Selain berpendidikan tinggi, dia adalah sosok laki-laki sederhana dan mau menerima total keadaan dirinya yang hanya lulusan sekolah dasar. Tanpa ada yang pernah menduga, panah-panah dewi cinta yang semula hanya singgah dalam kehidupan mereka, akhirnya lepas dari gandewanya masing-masing. Mereka berdua pun menjadi sepasang kekasih yang menikmati indahnya bunga-bunga cinta sesama klan. Hingga akhirnya di tahun 1966 mereka memutuskan menikah, sekalipun terbentang jarak usia yang cukup lebar, 17 tahun.

Didikan Sang Ayah

Perbedaan usia tidak berpengaruh apa-apa bagi Sambereg dan Kundri dalam membangun pilar-pilar kokoh kehidupan rumah tangga. Mereka memulainya dari sebuah kamar kos di bilangan Banjar Wangaya Kelod (Jalan Kartini sekarang) Denpasar. Posisinya sangat dekat dengan lokasi kantornya, tempat dia mengabdi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Kantor Veteran. Keberhasilan Sambereg bekerja di kantor ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari peran ayahnya yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI selama revolusi fisik 1945-1949. Sambereg yang kala itu berumur antara 13 hingga 17 tahun ikut pula terlibat dalam perjuangan sebatas kemampuannya. Para mantan pejuang itu, setelah zaman kemerdekaan disebut para veteran dan diberikan tunjangan berupa uang sebulan sekali.

Sekalipun sudah menyandang status sebagai pegawai negeri sipil, tapi masih dirasa kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, dia mengambil pekerjaan tambahan sebagai guru honorer di salah satu sekolah di Denpasar. Jadi, terlihat jelas gigihnya Sambereg berjuang untuk mengatasi tantangan kehidupan yang keras di Denpasar. Tak ingin melihat suaminya banting tulang sendirian, Kundri pun ikut membantu. Dia mengadu nasib dengan cara berjualan aneka barang kebutuhan rumah tangga, seperti sayur, daging, ikan, dan bumbu dapur. Barang dagangan itu dia beli di Pasar Badung, yang jaraknya hanya beberapa meter dari tempat kos. Pada pukul 02.00 Kundri menjunjung barang dagangannya menuju ke Pasar Kreneng, sekitar dua kilometer dari Pasar Badung.

Hingga akhirnya Sang Pencipta memercayai mereka menjadi seorang ayah dan ibu. Tahun 1967 tepatnya 6 Juni, lahirlah anak pertama mereka, perempuan, diberi nama Wayan Sri Maetri. Entah ada hubungannya atau tidak, semenjak kelahiran anak itu, perlahan-lahan kehidupan Sambereg dan Kundri menapak lebih membaik. Dengan menyisihkan sebagian penghasilan, di tahun 1969 Sambereg mampu membeli tanah seluas 2,5 are di daerah Panjer, Denpasar. Di atas tanah itu lantas dibangun sebuah rumah dengan dua kamar, berdinding anyaman bambu, yang di Bali disebut bedeg.

Sekalipun baru bisa memiliki rumah dari bedeg, tapi gurat syukur dan bahagia jelas nampak di wajah Sambereg dan Kundri. Setidaknya, perjuangan mereka membuahkan hasil. Semakin bahagialah mereka, ketika kembali diberi kepercayaan untuk merawat seorang anak. Tepat 18 Februari, keluarga Sambereg kembali diwarnai tangis bayi. Namun kali ini seorang bayi laki-laki yang diberi nama Gede Sri Darma, yang lebih dikenal dengan nama panggilan Kadek Sambereg. Setahun kemudian, tepatnya 28 Agustus 1970 Sambereg dan Kundri kembali dikaruniai seorang bayi laki-laki diberi nama Nyoman Sri Subawa. Tiga tahun setelah itu, 1973 lahir lagi seorang bayi laki-laki diberi nama Ketut Gede Sri Diwya.

Tentu tidak mudah merawat empat anak dengan jarak umur yang tak terlampau jauh. Namun Sambereg punya cara jitu mendidik keempat anaknya agar kelak menjadi manusia yang sukses dan terlebih lagi mandiri, yaitu kedisiplinan sedikit ala militer. Sri Darma merasakan sekali nuansa kedisiplinan itu dalam keluarganya. Semua anak wajib bangun pagi, sebelum matahari terbit di ufuk timur. Lantas mengambil tugas masing-masing yang berat ringannya sesuai dengan batasan umur. Ada yang mengepel dan menyapu. Pada hari minggu, pasti disertai dengan mencuci baju sendiri. Kewajiban ini tidak boleh dilupakan.

Ada satu lagi rutinitas yang tak boleh terlupakan. Usai mandi sebelum berangkat ke sekolah, semua anak Sambereg wajib melagukan Gayatri Mantram, tahapan pertama dalam rangkaian Tri Sandhya. Mau tak mau, semua anak melagukan bait demi bait teks Gayatri Mantram. Saat-saat seperti itu Sri Darma seringkali sengaja melantunkan Mantram Gayatri dengan suara keras dari bilik kamarnya. Tujuannya tiada lain, agar sang ayah bisa mendengar dan puas karenanya. Itu berarti pula sang ayah sudah tahu kalau Sri Darma menjalankan kewajibannya.

Tak hanya sebelum berangkat, sepulang dari sekolah pun Sri Darma wajib berdoa melantunkan Gayatri Mantram dan ini merupakan tahapan kedua dalam rangkaian Tri Sandhya. Kalau rutinitas berdoa sudah selesai dilakukan, barulah dia dan saudaranya diperbolehkan makan. Makannya pun tidak boleh sendiri-sendiri, melainkan bersama dengan keluarga. Malam hari sebelum tidur, ada lagi kewajiban melantunkan Gayatri Mantram. Ini merupakan tahapan ketiga dari Tri Sandhya.

Demikianlah, semuanya sudah teratur. Sangat jelas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Jam makan harus makan. Jam tidur harus tidur, dan belajar harus belajar. Istilahnya tidak ada waktu untuk bermain-main, kecuali minggu. Karena di hari itu, Sri Darma bebas bermain dengan teman-temannya di sekitaran lingkungan rumah. Suasana santai sudah mulai terasa menjelang malam minggu. Namun sesantai-santainya keluarga Sambereg, terselip pula acara pemantapan nilai-nilai rohani. Usai makan malam Sambereg mengumpulkan semua anaknya, bukan untuk disuruh belajar atau membaca buku-buku agama, melainkan mendengarkan cerita rakyat Bali, seperti kisah Siap Selem (Ayam Hitam) dan Bawang Barak Bawang Putih (Bawang Merah dan Bawang Putih) serta cerita pewayangan yang diambil dari Mahabharata maupun Ramayana. Sekalipun masih tergolong anak-anak bau kencur, tapi Sri Darma dan ketiga saudaranya dengan telaten mendengarkan setiap cerita yang meluncur dari mulut ayahnya.

Dengan demikian, tanpa disadari oleh anak-anaknya, Sambereg sedang berusaha menanamkan nilai-nilai kehinduan pada diri mereka. Hasilnya, mereka jadi anak-anak yang patuh dan disiplin pada kedua orang tuanya. Tak berani melawan. Selalu merasa bersalah jika sampai tidak mengikuti aturan dari sang ayah. Setiap kesalahan pasti akan menerima hukuman. Jelas bukan hukuman fisik seperti ditampar, dipecut, atau ditendang, melainkan yang bermanfaat untuk menjaga kesehatan seperti push up, shit up, dan bahkan lompat tali. Pernah suatu ketika, Sri Darma berbuat kesalahan. Tanpa sengaja saat mencuci peralatan makan, dia memecahkan gelas. Kejadian itu diketahui oleh sang ayah. Alhasil, dia diberi hukuman melakukan push up. Melalui hukuman itu, sang ayah berharap supaya Sri Darma bisa lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaan apapun.

Maksud sang ayah mampu diresapi dengan sangat baik oleh Sri Darma kecil. Sejak mendapat hukuman itu, dia selalu bersikap hati-hati setiap melakukan tindakan apapun. Perlahan-lahan, dia tumbuh menjadi anak yang selalu bersikap awas. Barangkali sikap awas itu belum terasa kegunaannya saat masih kecil. Bukan hanya mengajarkan sikap awas, Sambereg  juga mendidik anak-anaknya supaya hidup hemat dan bertanggung jawab. Itu dilakukan dengan cara membiasakan anak-anaknya untuk tidak membawa uang jajan ke sekolah.

Larangan membawa uang jajan terkait dengan keinginan Sambereg membiasakan anak-anaknya untuk sarapan pagi sebelum melakukan aktivitas apapun, baik ke sekolah maupun untuk bermain-main pada hari libur. Sang ibu yang kedapatan menyiapkan segala sesuatu yang terkait dengan tradisi pagi. Ada nasi, telur ayam yang direbus, dan ditambah segelas susu hangat. Sarapan yang bisa dikategorikan cukup mengenyangkan perut dan bergizi. Sekalipun demikian, jiwa anak-anak Sri Darma tetap tak terima ketika melihat teman-temannya mengeluarkan uang dari saku untuk membeli jajanan di sekolah.

Kalau sudah begitu, Sri Darma hanya bisa berdiam diri di dalam kelas, sambil menatap kosong teman-temannya yang asyik mengunyah makanan dan meneguk minuman. Seketika muncul rasa tidak percaya diri dan malu saat harus bergaul dengan teman-temannya yang sebagian besar orang berada secara ekonomi. Saking tidak bisanya menahan rasa malu itu, Sri Darma melakukan protes kepada ayahnya. Menuntut supaya diberikan uang jajan sama seperti teman-temannya di sekolah.

Namun protes Sri Darma tetap tak merubah aturan yang sudah berlaku di rumahnya. Tetap tidak ada uang jajan untuk dibelanjakan di sekolah. Rupanya sang ayah memang sengaja membiasakan anak-anaknya makan di rumah dan tidak membeli jajan sembarangan. Sulit dipungkiri banyak makanan yang dijual bagi murid sekolahan yang kurang sehat. Selain alasan kesehatan, Sambereg juga ingin memperkenalkan anak-anak tradisi budaya menabung. Karena bagaimanapun juga, sejatinya dia juga sudah menyisihkan sedikit uang untuk bekal sekolah anak-anaknya, tapi tidak untuk dibelanjakan, melainkan ditabung dalam celengan. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016