Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.

Setelah mendapat masukan dari sejumlah orang "pintar", tak harus menunggu sampai sepekan, mereka mengajak si bayi mereh Sambereg mengungsi ke daerah lain. Peristiwa itu terjadi tahun 1932, ketika krisis ekonomi internasional yang disebut zaman melesat (malese) sedang melanda dunia. Harga jual hasil pertanian merosot drastis, sementara nilai pajak yang mesti dibayar masih pada kisaran semula, mencekik leher. Namun kedua orang tua itu tak peduli. Keselamatan nyawa Sambereg lebih penting ketimbang segalanya. Mereka pun pergi meninggalkan kampung halaman dalam kondisi serba terbatas.

Terjadilah hijrah warga Pande Besi asal Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung bersama istri dan anak semata wayang menuju Desa Bajera, Kabupaten Tabanan. Tidak begitu jelas, kenapa mereka memilih desa itu. Namun samar-samar terdengar, Ayah Sambereg punya sahabat sejati di desa ini, yang katanya akan siap memberi tumpangan untuk sementara jika anak keempat yang ada dalam kandungan istrinya lahir laki-laki. Jadi mereka sudah merancang segala sesuatunya jauh sebelum Sambereg lahir. Bahkan juga sudah diperhitungkan, kira-kira pekerjaan apa yang akan digelutinya nanti di desa itu, sesuai dengan keahliannya, bertani.

Sepertinya ayah Sambereg memang sudah melakukan penjajakan sebelum memutuskan memilih pindah ke desa ini. Betapa tidak, Desa Bajera yang berlokasi di Kecamatan Selemadeg merupakan daerah dengan permukaan tanah datar dan dilalui aliran sungai serta kali. Maka tak salah kalau penduduknya menggantungkan hidup sebagai petani dan banyak pula yang jadi tuan tanah, hanya satu dua yang punya tanah. Jika sampai bisa tinggal di desa ini, ayahnya Sambereg yakin jalan kehidupan terbentang di depan mata. Asalkan mata awas melangkah pastilah sampai di tempat tujuan, memperbaiki kehidupan ekonomi keluarga.

Demikianlah, tak perlu diceritakan kisah perjalanan mereka ke Desa Bajera, yang jelas di tahun 1930-an sudah ada sejumlah kendaraan umum lintas kabupaten. Dari Klungkung menuju Denpasar dan seterusnya melanjutkan perjalanan ke Tabanan. Begitu sampai ditempat tujuan tak banyak barang bawaan yang harus diturunkan dari kap bus. Ayah ibunya Sambereg hanya membawa baju yang melekat ditubuhnya dan sebundel pakaian sebagai pengganti. Itupun hanya kain dan baju yang sudah lusuh. Tidak ada emas tidak pula permata. Uangpun hanya beberapa kepeng saja. Tak jadi soal, yang penting sudah ada orang yang akan menampung mereka untuk sementara. Selanjutnya asalkan tangan dan kaki masih kuat mencangkul dan membajak tanah sawah, pastilah akan ada bulir-bulir beras yang bisa ditanak jadi nasi. Lauk pauknya cukup sayur-sayuran, asal mohon izin dari sang pemilik pastilah bisa dipetik dan ikan air tawar di sungai yang bebas ditangkap siapapun.

Selebihnya adalah tekad, semangat untuk berjuang memutar roda kehidupan keluarga mulai dari nol. Benar, seperti yang dibayangkan, tidaklah sulit mencari dan menemukan tuan tanah yang bersedia menerima kehadiran mereka selaku penyakap (petani penggarap). Hasil panen pertama setelah sebagian diberikan kepada tuan tanah adalah harta karun pertama milik keluarga ini. Tidak semuanya dimakan habis. Sebagian disimpan untuk persediaan bahan makanan, sebagian lagi diuangkan untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari dan biaya upacara yang selalu datang setiap enam bulan sekali secara bergantian.

Hemat adalah pangkal kaya. Itu pula pepatah yang melekat di hati mereka, sehingga tak jadi soal jika nasi hanya ditemani lauk seadanya. Tidak pernah berharap bisa sesuka hati menikmati lezatnya beragam daging hewan atau ternak. Bagi mereka, daging ibarat surga yang perlu dicari susah payah diperjuangkan melalui tetesan bulir-bulir keringat untuk bisa mengkonsumsinya.

"Kalau di Bajera itu sudah terbiasa makan belut yang langsung ditangkap di sawah. Jadi Bapak saya itu bisa menikmati segala binatang yang pernah ada di sawah, tentunya tanpa perlu mengeluarkan uang. Berbeda dengan daging yang ibarat seperti sesuatu yang surga. Ya...intinya adalah sampai sekarang pun orang tua saya hanya makan nasi hangat ditambah uyah lengis (garam dan minyak). Justru makanan yang sederhana itu membuat mereka sehat. Saya pun kalah dalam hal kesehatan," ujar Sri Darma.

Sulitnya Sambereg remaja untuk sekedar mencicipi empuknya daging hewan ataupun ternak, menunjukkan bahwa sekalipun sudah lebih dari satu dekade hidup di Bajera, namun kondisi perekonomian orang tuanya masih jauh dari kata layak dan lebih tepat disebut masih miskin. Di usia remaja dan bahkan ketika Sambereg sudah dewasa, kemiskinan masih belum mau beranjak dari keluarganya. Karena itu, demi menyambung hidup, sang ayah kerap meminta Sambereg membantu mengurus sampi adasan (sapi yang dipelihara dengan sistem bagi hasil), semisal mencari rumput untuk pakannya dan memandikannya.

Jelas sekali kalau Sambereg kecil tidak punya waktu belajar, apalagi pergi ke sekolah. memang benar, dia tidak bisa mencicipi bangku sekolah seperti anak-anak lainnya. Sampai akhirnya jalan mempertemukannya dengan seseorang yang bisa membawa Sambereg merasakan bagaimana nikmatnya bersekolah. Orang itu bernama Wayan Saber, sahabat baik Sambereg. Sekalipun bersahabat, tapi nasib nereka tidaklah sama. Sambereg menghabiskan detik-detik waktunya untuk membantu orang tuanya, bekerja, bekerja, dan bekerja demi sesuap nasi. Tidak demikian halnya dengan Saber. Dia tak perlu sampai memeras keringat demi membantu orang tua. Kesehariannya hanya menjalankan kewajiban sebagai seorang anak, yaitu bermain dan belajar.

Jadi tidaklah sulit bagi Saber untuk mencicipi indahnya masa-masa belajar di sekolah, mengingat dirinya berasal dari keluarga yang sangat berlebihan secara materi di lingkungan tempat tinggalnya. Namun di balik materi yang berlebih, melekat satu kekurangan pada diri Saber. Rupanya dia takut berjalan kaki pergi-pulang ke sekolah seorang diri, mengingat jaraknya yang relatif jauh. Apalagi ditambah dengan kondisi jalan yang masih penuh semak belukar. Jangan-jangan ada orang gila tiba-tiba muncul dari balik rerimbunan, lalu menangkapnya.

Demi mengatasi ketakutan itu, Saber lantas meminta Sambereg mau menemaninya ke sekolah. Sambereg terperanjat, lalu terpana, apakah Saber tidak salah ucap atau dia sedang mimpi. Tidak, itu adalah realitas. Saber langsung berucap di depan matanya, berhadap-hadapan, kala sore hari ketika mereka akan mandi bersama di kali. Tanpa berpikir panjang, Sambereg menyambar dan menggenggam ajakan sahabatnya itu. Sekalipun izin dari orang tua, terutama dari sang ayah belum diperoleh. Dia tahu selemah apapun tenaganya, sangat dibutuhkan oleh kedua orang tuanya sebagai modal untuk mencari tambahan penghasilan. Jika permintaan Sambereg dipenuhi, sudah pasti modalnya akan berkurang. Namun Sambereg tak patah arang. Dengan segala bujuk rayu ditambah memelas, akhirnya sang ayah memberi izin untuk menemani sahabatnya, Saber berangkat ke sekolah.

Awalnya Sambereg hanya puas menemani perjalanan sahabatnya pergi-pulang ke sekolah. Namun pada akhirnya berlanjut dengan terdaftarnya Sambereg sebagai siswa di sekolah itu. Sejatinya di lubuk hati terdalam sang ayah tetap tidak mengizinkan Sambereg bersekolah. Namun, karena anaknya bersikeras, dia akhirnya mengalah. Saat itu tidak ada bayangan dalam benaknya dengan bersekolah dia akan dapat mengubah lingkungan sekitarnya. Hanya saja dia senang melihat orang-orang bersekolah.

"Menurut cerita Bapak, dia memelas dan meyakinkan Kakek saya supaya diizinkan menemani sahabatnya, Wayan Saber. Padahal Kakek tidak mengizinkan Bapak bersekolah. Tapi karena menemani sahabatnya itu, akhirnya Bapak bisa bersekolah juga. Ketika sudah lulus SD, Bapak ingin melanjutkan lagi ke SMP. Karena itu Bapak saya akhirnya berbohong pada Kakek kalau tidak diizinkan sekolah, nanti akan dicari oleh tentara. Karena saat itu Kakek saya senang metajen (judi sabungan ayam). Setelah ditakut-takuti dengan berbohong, akhirnya Bapak diizinkan masuk ke SMP mengikuti sahabatnya, Wayan Saber."

Semenjak SMP, Sambereg semakin bisa merasakan bagaimana nikmatnya rutinitas pergi ke sekolah dan belajar. Bukan karena dengan bersekolah, dia akan terbebas dari soal mengurus sapi, tapi ada yang jauh dari itu. Dia hanya senang menjadi salah satu dari barisan orang-orang terpelajar di kampungnya. Makin senang lagi setelah dia memutuskan akan melanjutkan ke sekolah menengah atas (SMA). (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016