Keberadaan sampah plastik di Pulau Bali menjadi keprihatinan berbagai pihak terkait dengan volumenya yang terus meningkat seiring dengan melonjaknya angka kunjungan wisatawan.

Keprihatinan ini yang melatarbelakangi didirikannya usaha pencacahan sampah plastik dengan memberdayakan masyarakat Desa Lepang, Kabupaten Klungkung, Bali.  
   
"Usaha cacah plastik jenis PET (polyethylene therephthalate), sebenarnya dimulai di Denpasar sejak 2008. Berikutnya, dibuka kembali usaha serupa di Lombok Barat dan wilayah Lepang sejak 2013," ujar Wirajaya Putra, pemilik usaha Bali PET, yang bergerak di bidang pencacahan sampah plastik.

Sampah plastik jenis PET ini dikumpulkan berdasarkan kerja sama pengepul yang memiliki anak buah puluhan pemulung di wilayah Bali bagian selatan dan timur. Untuk bisa mengajak pengepul bekerja sama, lelaki yang akrab dipanggil Wira ini mengaku sebagian besar pengepul terlebih dahulu minta down payment (DP) sebagai modal kerja yang akan dibagikan pada pemulung. Tanpa DP maka sulit akan mendapatkan pasokan secara kontinu dari pengepul.

Setelah terkumpul, sampah plastik itu dibawa ke tempat pencacahan di Lepang. Pada lahan yang luasnya hampir 40 are ini, label sampah plastik itu dipisahkan. Sampah plastik kemudian dimasukkan dalam mesin pencacah.

Jumlah karyawan di Lepang sebanyak 80 orang. Sebagian besar atau sekitar 70 persen karyawan berasal dari Lepang karena memang tujuan usaha ini salah satunya adalah untuk memberdayakan penduduk setempat agar memiliki penghasilan lebih baik.

Mengenai persaingan usaha, Wira mengakui jika kadang-kadang susah mengajak pengepul agar bersikap loyalitas dan secara kontinu mengirimkan sampah plastik ke PT Bali PET. Tidak jarang pengepul ditawari pihak lain yang menawarkan harga sampah plastik lebih tinggi sehingga tidak segan berpaling dalam menyetorkan sampah plastik.

"Namanya usaha, selalu ada hambatan. Akan tetapi, semoga bisnis ini bisa terus jalan saja karena banyak karyawan yang menggantungkan nasib di sini," ucapnya.

Operation Manager PT Bali PET Siwan menambahkan bahwa karyawan di Bali PET mendapatkan gaji dengan sistem borongan, harian, dan bulanan. Kalau harian, rata-rata karyawan mendapatkan Rp70 ribu dengan masa kerja 7 jam.

Karyawan sistem borongan memperoleh upah sekitar Rp1 juta setiap minggu, sedangkan karyawan yang digaji secara bulanan mendapatkan uang sebesar Rp2 juta hingga Rp4 juta per bulan.  
   
Menyinggung bahan baku, Siwan menjelaskan bahwa setiap hari Bali PET menerima pengiriman sampah plastik setidaknya 15 mobil boks. Apabila pengepul tidak memiliki mobil, pihak Bali PET bisa menerapkan sistem jemput bola dengan mengambil sampah plastik ke lokasi pengepul.

"Sampah plastik ini kemudian dicacah. Kami memiliki dua mesin. Dalam sehari mesin-mesin ini mampu mencacah hingga 5 ton sehingga produksi kami rata-rata 10 ton per hari. Plastik cacahan ini tinggal dicuci, dikeringkan, dan dikemas, kemudian dikirimkan ke PT Namasindo Plas di Bandung untuk dijadikan bahan baku lain. Misalnya, jaket dan kaus," ujar Siwan.

Sebagai kompensasi atas pembangunan usaha di wilayah Lepang, kata dia, setiap bulan PT Bali PET menyumbang sebanyak Rp3 juta sebagai kas desa. Tidak hanya menyumbang uang kas, disediakan pula pemeriksaan kesehatan dan pengobatan gratis yang difasilitasi PT Namasindo Plas kepada karyawan PT Bali PET dan warga Lepang untuk meningkatkan derajat kesehatan mereka.

Bahan Baku Polyester
   
"Plastik PET yang sudah dicacah dan dikirimkan ke PT Namasindo Plas itu dijadikan bahan baku polyester. Bisa menjadi produk kaus, jaket, dan olahan biji plastik," ujar Novita Aisyah, CSR/Business Manager PT Namasindo Plas.

Penggunaan sampah plastik sebagai bahan baku polyester, sangat membantu mengurangi volume sampah di Bali, mengingat tingginya kuantitas sampah di pulau ini. Ini berkaitan dengan tingginya angka kunjungan wisatawan sehingga mendongkrak pula jumlah sampah di Bali.

Sebagai realisasi CSR PT Namasindo, perusahaan ini mendukung PT Bali PET dengan membuatkan mess untuk karyawan. Sementara itu, atap bangunan PT Bali PET yang dahulu terbuat dari asbes, kini telah digantikan dengan seng. Asbes memiliki dampak kurang baik bagi kesehatan.

Secara berkala, perusahaan juga mengadakan penyuluhan dan pelatihan untuk para pemulung sebagai upaya meningkatkan keahlian dalam pemilahan sampah dan mengenali jenis sampah yang bernilai.

Sebagai bentuk kepedulian dan realisasi CSR, kata Aisyah, PT Namasindo Plas bersinergi dengan DEG dan FMO menyediakan pengobatan gratis bagi masyarakat kurang mampu dan pemulung beserta keluarganya di Lepang.

"Pengobatan gratis ini sudah dijalankan dengan mendirikan Klinik Rumah Sehat di Tohpati, Denpasar Timur. Kami juga menyediakan sejumlah kendaraan untuk mengadakan pengobatan gratis keliling sehingga lebih banyak masyarakat yang bisa mendapatkan fasilitas pengobatan ini," kata Aisyah.

Sementara itu, Bendesa Adat Lepang Ketut Sirna menyatakan bahwa keberadaan Bali PET di wilayahnya memberi kontribusi positif. Selain menyerap tenaga lokal, juga memengaruhi tingkat perekonomian penduduk yang menjadi karyawan di tempat pencacahan plastik tersebut.

"Keberadaan tempat usaha ini membuat wilayah kami menjadi relatif bersih dari sampah plastik. Penduduk jadi terpikir mengumpulkan sampah plastik untuk dijual karena terbukti bernilai ekonomis," katanya.

Ia mengatakan bahwa keberadaan usaha pencacahan plastik itu juga membuat tingkat kesehatan penduduk menjadi makin berkualitas. Hal ini disebabkan adanya pengobatan gratis secara berkala. Hal ini kemudian dimanfaatkan penduduk Lepang dan beberapa pemulung untuk mendapatkan fasilitas berobat secara cuma-cuma. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016