Berpuluh tahun silam, Sungai Penataran yang mengaliri wilayah Banjar Bukian, Desa Plaga, Kabupaten Badung, Bali, acap kali tercemar kotoran penduduk yang tak jarang melakukan praktik buang air besar sembarangan (BABS).

Padahal, Sungai Penataran merupakan andalan penduduk Banjar Bukian sebagai sumber untuk mendapatkan air bersih. Namun tentu perilaku penduduk yang masih suka BABS, termasuk di aliran sungai dan ladang-ladang, membuat Sungai Penataran menjadi tidak higienis untuk dikonsumsi sehari-hari.

Keberadaan "perarem" atau awig-awig adat sejak tahun 1971 yang menyatakan agar penduduk tidak BABS sembarangan dengan ancaman sejumlah sanksi yang menyertai, seolah dianggap angin lalu saja.

"Padahal, di awig-awig itu dikatakan kalau penduduk yang ketahuan melakukan BABS, maka akan dikenakan denda sebesar Rp5 ribu. Tak hanya itu, nama pelaku juga akan diumumkan saat kami melakukan rapat adat yang berlangsung di banjar setiap bulan sekali."
    
"Tapi awig-awig itu awalnya seperti tidak dianggap penduduk. Barangkali karena aparat banjar juga belum berani tegas untuk menindak warga yang BABS," ujar Wayan Debot, Kelian Dinas Banjar Bukian, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Bali.

Tahun-tahun berlalu, dan pola hidup penduduk pun tidak mengalami perubahan, dan menganggap BABS di aliran sungai atau di lereng-lereng ladang, bukanlah kesalahan yang patut disesalkan. Tindakan ini akhirnya menjadi kebiasaan di dusun berhawa sejuk yang luasnya sekitar 200 hektare ini.

Bau menyengat jika melewati pematang kebun, menjadi sesuatu yang lumrah. Orang-orang akan langsung mengerti bahwa bau itu bersumber dari adanya penduduk yang habis buang hajat.

Kesadaran penduduk kemudian timbul dan terbit keinginan untuk mengubah perilaku, sejak empat tahun silam, ketika perwakilan dari program Aqua Lestari tiba di dusun ini dan memberikan edukasi mengenai pentingnya meningkatkan kualitas hidup.

Penyuluhan dan pelatihan pun gencar dilakukan untuk mendorong masyarakat mempraktikkan perilaku sanitasi dan higienitas dalam kehidupan keseharian. Pihak Aqua Mambal dan Yayasan Janma lantas melakukan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), salah satunya mengimbau agar meninggalkan praktik BABS.

Imbauan ini dilakukan mengingat dampak penyakit yang paling sering terjadi akibat buang air besar sembarangan ke sungai adalah tersebarnya bakteri "Escherichia coli", yang dapat menyebabkan penyakit diare. Selain penyakit, imbauan dilakukan sebagai upaya menjaga meningkatkan kualitas lingkungan alam sekitar.

Direktur Sustainable Development Aqua Grup Karyanto Wibowo menyatakan, menjaga alam merupakan kewajiban yang semestinya dilakukan dengan melakukan program terpadu untuk melestarikan lingkungan dan mengelola sumber daya air secara berkelanjutan.

Pelestarian lingkungan dan sumber daya air sudah menjadi program Aqua Lestari sejak tahun 2012 di Desa Plaga, yang kemudian dikembangkan di Desa Belok Sidan.

"Salah satu program yang gencar dilakukan ketika mengawali kegiatan adalah 'water acces sanitation dan hygiene (WASH)' yakni kegiatan pembangunan sarana air bersih dan pembangunan sanitasi total berbasis masyarakat (STBM)," ucap Karyanto.

Namun, di tengah upaya penyadaran untuk memperbaiki pola hidup agar lebih sehat, di satu sisi masyarakat desa ini mengalami kesulitan mendapatkan air bersih. Desa Plaga terletak di ketinggian 950 dpl, dan meski memiliki aliran air sungai, akan tetapi letaknya di tempat yang sulit dijangkau, karena berlokasi di jurang desa.

Teknologi Hidram
Kondisi ini kemudian menjadi latar belakang pihak Aqua Mambal untuk merembugkan bersama tokoh-tokoh Banjar Bukian, sehingga tercapailah kesepakatan untuk melakukan pembangunan sarana air bersih.

Dengan melibatkan sejumlah ahli, tokoh masyarakat dan pihak terkait, akhirnya dibangunlah teknologi pompa hidram untuk mengangkat air di dasar jurang desa agar bisa mengalir ke rumah-rumah penduduk.

Pemilihan teknologi hidram, dikarenakan pompa ini tidak perlu menggunakan sumber energi seperti listrik, sehingga tidak akan membebani penduduk. Cukup dengan penggantian kampas setiap bulan, maka hidram pun siap dioperasikan.

Pompa hidran bekerja dengan memanfaatkan tenaga aliran air yang jatuh dari tempat suatu sumber, dan kemudian dipompakan ke tempat yang lebih tinggi. Ketika sedang beroperasi, terdengar suara desisan sebagai penanda bahwa klep bekerja memompakan air.

Kerja keras pun dimulai. Warga dengan bersemangat melaksanakan gotong royong membangun lokasi hidram, serta melakukan pemasangan pipa dari jurang desa menuju rumah-rumah penduduk. Secara swadaya pada masing-masing rumah penduduk lantas dibangun bak penampung air yang dipompakan hidram.

Ketika kerja keras ini selesai, maka air dari Sungai Penataran yang berada di jurang desa akhirnya bisa dengan mudah didapatkan karena dialirkan ke bak-bak penampung di rumah penduduk.

"Dulu saya pontang-panting mencari air ke dasar jurang itu, tapi sekarang air bisa dengan mudah didapatkan sehingga tidak lagi menguras tenaga dan waktu. Ibu-ibu di banjar ini sekarang bisa mengerjakan yang lainnya, seperti membantu suami mengurusi kebun untuk bertanam sayuran," ujar Wayan Suiti, perempuan kelahiran Banjar Bukian.

Dikatakan Suiti, setelah ada teknologi hidram, pertanian di Dusun Bukian menjadi makin intensif dikerjakan, mengingat sejumlah perempuan yang dulu bertugas mencari air, sekarang giat membantu mengolah kebun. Untuk bertanam kubis, kacang, jagung, ketela atau berbagai berbagai jenis pohon buah-buahan yang menjadi andalan bagi kehidupan masyarakat Bukian.

"Jauh berbeda kehidupan dulu dengan sekarang. Setelah air gampang didapatkan, kami giat berkebun karena tenaga tidak terkuras untuk mencari air. Jadinya sekarang perekonomian keluarga bertambah baik karena hasil kebun meningkat, yang disebabkan sudah fokus pengerjaannya," ucap Suiti.

Setelah ada teknologi hidram yang dipasang di jurang dusun, untuk mengangkat air ke atas dan kemudian dialirkan ke rumah-rumah penduduk, maka air bersih pun kini didapatkan dengan gampang oleh penduduk Banjar Bukian. Kehidupan 1.176 penduduk di Banjar Bukian pun makin sejahtera setelah air bersih didapatkan dari teknologi pompa hidram.

"Kalau ingat dahulu, kasihan sekali ibu-ibu di dusun ini. Mau cari air saja harus turun ke jurang dan berjalan 1,5 jam. Dan itu harus dilakukan dua kali sehari," ujar Wayan Debot.

Dia menambahkan, dengan langkah tertatih karena jalan menuju jurang itu licin dan kontur tanahnya menurun berliku, maka para perempuan dusun membawa jerigen berkapasitas 10 liter naik turun jurang setiap pagi dan sore hari. Air ini digunakan untuk dikomsumsi di rumah tangga.

 Penegakan Awig-Awig
Kemudahan mendapatkan air bersih dan seiring dengan edukasi untuk memperbaiki pola hidup menjadi lebih berkualitas, penduduk Bukian memaksimalkan penggunaan jamban di rumah mereka. Bagi yang belum memiliki jamban, kemudian berinisiatif untuk membangunnya.

Satu per satu penduduk pun kemudian membangun jamban sendiri. Pihak Aqua Lestari beserta Yayasan Janma melakukan pendampingan. Bantuan batako pun diberikan, supaya makin meningkatkan semangat  penduduk Bukian menuju pola hidup yang lebih sehat, melalui pendekatan adat.

Sejak tahun 2014, Dusun Bukian akhirnya resmi dinyatakan sebagai wilayah yang Open Defecation Free (ODF). Sebagai tindak lanjutnya, dibentuk kegiatan pelatihan kader kebersihan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBB) dan kader pola hidup bersih dan sehat (PHBS), yang kemudian didiklarasikan bersama pihak-pihak yang sudah bebas dari pola buang air besar sembarangan.

"Awig-awig adat pun ditegakkan kembali. Barang siapa yang BABS, ada ancaman tegas dikenakan denda dan sanksi sosial diumumkan di depan massa. Sudah ada warga yang terkena sanksi adat ini, dan dampaknya menimbulkan efek jera. Bukan soal nilai denda, tapi diumumkan di hadapan orang banyak itu sesuatu yang membuat warga malu dan akhirnya menjauhi perilaku BABS," tambah Wayan Debot.

Menurut Wayan Dubot, dengan tidak ada lagi praktik BABS, maka tidak ada kekhawatiran lagi bahwa aliran air sungai akan dicemari kotoran.

"Berkat teknologi hidram dan perubahan pola hidup meninggalkan BABS, maka lingkungan alam Bukian menjadi lebih bersih dan tidak tercemari bakteri. Makanya, beberapa kali air hidram itu diteliti di laboratorium. Hasilnya air itu bebas bakteri, termasuk tidak mengandung bakteri E.coli yang biasa terkandung dalam kotoran. Jadi air itu bisa minum langsung," ujar Wayan Debot dengan nada bangga.

Untuk mengelola penggunaan air bersih dari teknologi pompa hidram, Kelompok Pengelola Sarana Air Bersih (KPSAB) Tirta Amerta Natar Sari Banjar Bukian pun dibentuk, disertai beberapa aturan yang telah disepakati oleh seluruh penduduk. Kini KPSAB Tirta Amerta Natar Sari Banjar Bukian sudah mampu mengelola air bersih secara mandiri, di mana warga dikenakan pembayaran iuran sebesar Rp15 ribu per bulan.

Keseluruhan pembangunan pompa hidram yang merupakan realisasi program Aqua Lestari, kini tersebar di beberapa tempat: di Banjar Bukian - Desa Plaga (dimanfaatkan 133 KK), Banjar Jempanang - Desa Belok Sidan (50 KK) dan di Banjar Semanik - Desa Plaga (dimanfaatkan 191 KK).

Pembangunan pompa hidram menghindarkan penduduk dari krisis air bersih. Sekaligus agar kisah perjalanan ke jurang desa untuk mencari air, takkan terulang lagi di masa mendatang. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Tri Vivi Suryani

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016