Denpasar (Antara Bali) - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Bali Nengah Muliarta, Msi meminta orang tua untuk mendampingi anak menonton siaran televisi, bertujuan untuk mendapatkan siaran sesuai dengan batasan umur yang ditonton.
"Orang tua atau ortu harus mampu memilah dan memilih siaran televisi yang ramah anak. Karena perilaku anak cenderung meniru apa yang disaksikan melalui siaran televisi tersebut," kata Muliarta di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan pada beberapa kasus apa yang ditiru anak menyebabkan anak terjerumus dalam kasus hukum, termasuk menjadi pelaku dari kejahatan seksual terhadap temannya. Harus disadari peran yang diambil televisi (TV) tidak lagi sebatas menjadi sarana untuk mendapatkan hiburan, namun telah mengambil hak asuh dan hak mendidik.
Sebagai contoh kasus, televisi telah menjadi ibu asuh bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak diberikan keleluasaan untuk menonton TV agar orang tua dapat melakukan aktivitas atau pekerjaan rumah tangga.
"Terkadang orang tua membiarkan anak menonton TV dengan alasan agar anak tidak rewel dan menangis, tanpa mempertimbangkan siaran TV yang ditonton anak tersebut," kata Muliarta yang mantan reporter VOA itu.
Muliarta lebih lanjut mengatakan bila dicermati di TV bahwa masih banyak tayangan yang tidak mendidik serta cenderung menonjolkan hiburan semata.
"Contoh kasus dapat kita lihat di mana masih banyak tayangan kartun yang menyajikan kekerasan. Sering juga dalam film kartun dipertontonkan adegan salah satu tokoh yang berulang kali dibunuh tetap hidup kembali. Bagi seorang anak tentu tidak mengerti bahwa aksi-aksi dalam film kartun hanya imajinasi. Celakanya aksi tokoh kartun tersebut ditiru oleh anak-anak tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan," ucapnya.
Parahnya, juga selama ini persepsi pekerja di lembaga penyiaran dan masyarakat di Indonesia bahwa film kartun adalah film untuk anak-anak. Belum lagi film tersebut kemudian mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor film sehingga seakan-akan layak untuk disiarkan melalui TV.
Padahal bila ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran diberikan batasan, bahwa isi siaran tidak boleh berisikan unsur kekerasan. Dalam upaya mengurangi unsur kekerasan dalam sebuah tayangan TV, maka TV sebagai lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk melakukan sensor internal.
"Selama ini masih banyak tayangan kekerasan dalam siaran TV maka dapat disimpulkan sensor internal di lembaga penyiaran masih lemah," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Orang tua atau ortu harus mampu memilah dan memilih siaran televisi yang ramah anak. Karena perilaku anak cenderung meniru apa yang disaksikan melalui siaran televisi tersebut," kata Muliarta di Denpasar, Senin.
Ia mengatakan pada beberapa kasus apa yang ditiru anak menyebabkan anak terjerumus dalam kasus hukum, termasuk menjadi pelaku dari kejahatan seksual terhadap temannya. Harus disadari peran yang diambil televisi (TV) tidak lagi sebatas menjadi sarana untuk mendapatkan hiburan, namun telah mengambil hak asuh dan hak mendidik.
Sebagai contoh kasus, televisi telah menjadi ibu asuh bagi anak-anak dalam sebuah keluarga. Anak-anak diberikan keleluasaan untuk menonton TV agar orang tua dapat melakukan aktivitas atau pekerjaan rumah tangga.
"Terkadang orang tua membiarkan anak menonton TV dengan alasan agar anak tidak rewel dan menangis, tanpa mempertimbangkan siaran TV yang ditonton anak tersebut," kata Muliarta yang mantan reporter VOA itu.
Muliarta lebih lanjut mengatakan bila dicermati di TV bahwa masih banyak tayangan yang tidak mendidik serta cenderung menonjolkan hiburan semata.
"Contoh kasus dapat kita lihat di mana masih banyak tayangan kartun yang menyajikan kekerasan. Sering juga dalam film kartun dipertontonkan adegan salah satu tokoh yang berulang kali dibunuh tetap hidup kembali. Bagi seorang anak tentu tidak mengerti bahwa aksi-aksi dalam film kartun hanya imajinasi. Celakanya aksi tokoh kartun tersebut ditiru oleh anak-anak tanpa berpikir dampak yang ditimbulkan," ucapnya.
Parahnya, juga selama ini persepsi pekerja di lembaga penyiaran dan masyarakat di Indonesia bahwa film kartun adalah film untuk anak-anak. Belum lagi film tersebut kemudian mendapatkan tanda lulus sensor dari lembaga sensor film sehingga seakan-akan layak untuk disiarkan melalui TV.
Padahal bila ditinjau dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran diberikan batasan, bahwa isi siaran tidak boleh berisikan unsur kekerasan. Dalam upaya mengurangi unsur kekerasan dalam sebuah tayangan TV, maka TV sebagai lembaga penyiaran memiliki kewajiban untuk melakukan sensor internal.
"Selama ini masih banyak tayangan kekerasan dalam siaran TV maka dapat disimpulkan sensor internal di lembaga penyiaran masih lemah," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016