Denpasar (Antara Bali) - Tari Joged Pingit yang merupakan salah satu tarian sakral bagi masyarakat di Desa Pakraman (desa adat) Penyabangan, Kabupaten Gianyar, turut memeriahkan pelaksanaan Pesta Kesenian Bali ke-38.

"Tidak semua orang boleh menarikan Joged Pingit, untuk kegiatan ritual, yang boleh menarikan adalah anak-anak perempuan yang belum haid. Tetapi untuk di PKB kali ini kami tidak meminta anak-anak untuk menarikan," kata Bendesa Desa Pakraman Penyabangan Made Witarjana di sela-sela pementasan Tari Joged Pingit itu, di Kalangan (Panggung) Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Jumat.

Jika tari Joged pada umumnya merupakan tari pergaulan dan para penonton bisa ikut menari atau menjadi "pengibing, tidak demikian dengan Joged Pingit ini. Penari Joged Pingit lebih cenderung menampilkan cerita dan itu ditarikan seorang diri, hanya untuk lakon Pebapangan yang boleh ada "pengibingnya".

Witarjana menceritakan tari Joged Pingit itu muncul sekitar 1960-an dan awalnya termasuk tari Bebalihan yang boleh dibawakan dimana saja.

"Namun tarian tersebut menjadi `pingit` atau sakral ketika suatu ketika di tahun 1960-an itu para penari dan penabuhnya mengalami kejadian aneh karena mereka tiba-tiba merasa kaku dan lemes sehingga tidak bisa menari dan menabuh gamelan," ucapnya.

Peristiwa itu terjadi ketika "sekaa" atau kelompok kesenian Joged Pingit sedang "Ngelawang" atau menari berkeliling di luar Desa Pakraman Penyabangan.

"Ketika para penari dan penabuh tubuhnya merasa kaku itu, tiba-tiba ada sinar yang menghinggapi "gelungan" atau hiasan kepala penari. Setelah sinar itu muncul, seketika semua penari dan penabuh bisa bangun kembali," ucap Witarjana.

Semenjak kejadian itulah, tari yang sebelumnya dikenal dengan nama Joged Ngukudin (karena ditarikan seorang diri) itu menjadi "dipingitkan" atau disakralkan. Kini Joged Pingit hanya ditarikan di saat piodalan atau ritual di pura dan juga saat ada Wali Ideran atau ritual mengiringi Ida Bhatara (manifestasi Tuhan) berkeliling dari banjar (dusun) ke banjar.

Pada pementasan PKB tersebut, Witarjana mengatakan penari menggunakan "gelungan" duplikat karena "gelungan" yang disakralkan itu distanakan di Pura Dalem. Sebelum mulai menari dilakukan ritual "Pamendakan" dan juga dihaturkan sarana Pejati.

"Intinya upacara itu sebagai bentuk permohonan izin bahwa gelungan duplikat dipentaskan, supaya penari diberikan taksu (kharisma) dan masyarakat juga diberikan keselamatan," kata Witarjana.

Para penonton yang memadati Kalangan Angsoka itu terlihat sangat antusias menyaksikan tarian yang hanya ada di beberapa desa di Bali itu. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016