Catatan Redaksi

Prof Gede Sri Darma, D.B.A, prototype generasi muda pejuang yang jujur, intelektual dan option kepada pembangunan masyarakat  Bali. Tiga sifat dasar paling dominan dari  Sri Darma tersebut menyatu dalam karakter dirinya, sebagai kekuatan progresif  menyiapkan anak anak Bali  dengan visi 'Move to Global Digital' dengan mendobrak tradisi akademis yang tidak produktif. Sri Darma adalah  rector termuda di Indonesia yang pikiran pikiran-pikirannya selalu mencerahkan anak bangsa , sehingga layak menjadi pemimpin Bali masa depan.


Perkuliahan berlangsung melalui sistem paket mengikuti pola yang berlaku umum kala itu. Untuk bisa naik tingkat mahasiswa harus lulus ujian semua mata kuliah yang ditempuh. Jika sampai gagal ujian meski hanya satu mata kuliah, maka kenaikan ke tingkat berikutnya  akan tertunda. Mereka harus mengikuti ujian ulangan yang biasa disebut her.

Rentang waktunya disesuaikan dengan nilai ketidaklulusan maka semakin panjang rentang waktu untuk mengikuti her. Alasannya, mahasiswa dengan kualifikasi seperti itu dinilai memerlukan waktu belajar lebih lama ketimbang yang nilainya lebih tinggi. Jika her gagal, barulah mereka harus mengulang lagi di tingkat yang sama. Jika semua mata kuliah sudah dinyatakan lulus, barulah mahasiswa berhak mengerjakan tugas akhir.
    
Demikianlah, proses belajar mengajar di AKABA pada masa kepemimpinan Sambereg selaku direktur, dan sekretaris yayasan, Sambereg sampai tak merasakan waktu telah berlalu selama dua tahun. Dua tahun, bukanlah rentang waktu yang panjang bagi sebuah lembaga pendidikan akademi. Layaknya seorang bayi seusia itu, AKABA baru mulai bisa menapak perlahan dengan kedua kaki. Jadi semuanya tampak sama seperti diawal berdiri. Entah itu tenaga pengajar maupun ruang perkuliahan tetap seperti sebelumnya.
    
Gorda dan Sambereg tak mau berdiam diri melihat kondisi itu. Mereka pun merancang perubahan dengan cara memikirkan pembaruan fasilitas ruangan perkuliahan yang sekiranya lebih memadai ketimbang SMEA Negeri Denpasar. Mereka lalu membidik gedung-gedung yang lebih representatif dan paling penting bisa dipinjam sebagai ruang perkuliahan. Mereka terpincut dengan gedung Akademi Koperasi (Akop ) yang berlokasi di Kreneng Denpasar.
    
Gorda dan Sambereg segera menemui I Wayan Kota Widana selaku Direktur Akop guna meminta izin pemakaian gedung itu sebagai ruang perkulihan mahasiswa AKABA. Gayung bersambut. Dengan tangan terbuka sang Direktur memberikan izin. Rupanya bukan hanya kata "silahkan pakai" yang ingin mereka dengar dari mulut sang direktur. Lebih dari itu, dia menyatakan bersedia ketika ditawari sebagai Direktur menggantikan Sambereg.
    
Siapa sebenarnya sosok Kota Widana? Apakah dia punya hubungan keluarga dengan Gorda maupun Sambereg?  Ternyata tidak. Jika demikian, apakah mereka sudah saling kenal sebelumnya? Ya, begitulah adanya. Sambereg dan Kota Widana adalah kawan satu angkatan di SMEA Negeri Singaraja. Kebersamaan mereka berlanjut di program B1 jurusan pendidikan ekonomi, Fakultas Keguruan dan ilmu pendidikan ( IKIP ) Universitas Erlangga Surabaya, Cabang Singaraja. Jalinan persahabatan itulah yang membuat Sambereg tanpa ragu meminta kesediaan Kota Widana sebagai direktur AKABA. Lagi pula Kota sudah bergelar Doktorandus. Ini yang terpenting, supaya sesuai dengan peraturan terbaru dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
     
"Menteri P & K mensyaratkan supaya jabatan seorang pimpinan Lembaga akademi, tak terkecuali AKABA harus bergelar sarjana. Saya belum memenuhi syarat itu karena masih sarjana muda. Jika syarat itu tidak dipenuhi, maka AKABA terancam akan dibubarkan. Karena itu, kami meminta supaya anda bersedia menjadi direktur AKABA,"ucap Sambereg pada Kota Widana.
    
Kota Widana tak langsung membalas. Dia sangat kaget mendengar permintaan yang tidak main-main itu. Dia perlu berpikir, ternyata tak butuh waktu lama untuk merumuskan jawaban. Jawaban itu sangat melegakan hati Sambereg serta Gorda yang baru dikenalnya. Dia menyatakan kesanggupannya karena tertarik dengan komitmen Gorda dan Sambereg untuk memajukan AKABA.
    
Setelah itu dilakukan proses administrasi perubahan jabatan. Respon positif atas perubahan jabatan itu datang dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Di tahun 1971, resmilah Wayan Kota Widana menjalankan tugasnya sebagai Direktur AKABA. Sementara segala urusan operasional pengelolaan proses pendidikan dan pengajaran masih dipegang penuh oleh Gorda dan Sambereg.
     
Ruang kuliah pun di pindahkan dari SMEA Negeri Denpasar ke Gedung Akop. Proses perpindahan itu tak sampai mengganggu jalannya perkuliahan. Semua itu terjadi karena masih kuatnya dukungan staf pengajar untuk memajukan AKABA. Meraka benar-benar loyalitas  yang tinggi terhadap dunia pendidikan. Seperti tak peduli dengan relatif kecilnya gaji yang diberikan oleh yayasan. Mereka bahkan semakin gigih memanjukan AKABA, tak terkecuali Kota Widana. Dia bahkan bisa mencurahkan waktu seutuhnya untuk AKABA karena sudah tak lagi menjabat sebagai Direktur AKP dan Sekretaris AAN, sebab kedua lembaga pendidikan milik pemerintah ini sudah kolaps.
     
Selanjutnya Kota Widana ingin terus menjalankan tugasnya sebagai Direktur AKABA. Namun seperti yang umumnya dialami manusia, apa yang dirasakan sulit berjalan seiring dengan realita. Kondisi inilah yang menimpa  Kota Widana. Dia dihadapkan pada sebuah pilihan, apakah terus bertahan sebagai Direktur AKABA atau memenuhi tanggungjawab sebagai Direktur Bank Wisata Bali. Dia pun diminta segera melaporkan pilihannya kepada Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi di perbankan. Pada akhirnya dia memilih menanggalkan jabatan Direktur AKABA. Pilihan ini disampaikan langsung kepada Gorda dan Sambereg. Mereka sangat menghargai pilihan Kota Widana, pergi meninggalkan AKABA.
    
Kepergian Kota Widana, memaksa Gorda dan Sambereg berpikir untuk mencari penggantinya. Kalau salah satu dari mereka yang tampil, jelas tidak mungkin, sebab keduanya hanya menyandang gelar sarjana muda. Mereka terus berpikir, berpikir dan berpikir untuk menemukan sosok yang paling sesuai mengisi kekosongan jabatan direktur AKABA. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya terpilihlah Wayan Tangiarta.
    
Kualifikasi yang dituntut pemerintah bagi pimpinan lembaga pendidikan akademi mampu dipenuhi Tangiarta. Seperti sudah diceritakan, dia adalah sarjana ekonomi lulusan Janabrada, Yogyakarta. Dia juga bukan hanya seorang dosen biasa di AKABA, melainkan juga pejabat sekretaris untuk mendampingi Wayan Kota selaku Direktur. Pengalaman sebagai sekretaris, dianggap sangat penting artinya, sehingga Gorda dan Sambereg memutuskan Tangiarta yang paling pantas menggantikan Kota Widana sebagai direktur AKABA.
    
Tangiarta mengharapkan tugas yang diembankan padanya itu menjadi tanggungjawab tim. Karena dalam kepemimpinannya, dia senantiasa mengedepankan adanya kerja sama tim. Harapan itu selaras dengan keinginan Gorde dan Sambereg untuk memajukan AKBA. Ternyata mereka bukan hanya mengharap, melainkan juga bekerja, bekerja dan bekerja dengan penuh semangat. Mereka sadar, untuk memajukan AKABA perlu usaha keras yaitu dengan terlebih dulu memperkuat posisinya.
    
Perlahan tapi pasti, karpet merah AKABA pun mulai terbentang, semakin lama semakin panjang. Hingga di tahun 1974 Gorda dan Sambereg menarik nafas lega, AKABA bisa memiliki kampus sendiri dan relatif permanen. Keberhasilan itu berproses melalui perjuangan yang keras dan melelahkan. Namun dwitunggal Gorda dan Sambereg pantang menyerah. Mereka mampu membeli tanah seluas duapuluh delapan are di daerah Panjer sekarang menjadi jalan Waturenggong. Letaknya persis di sebelah timur rumah pribadi Sambereg.
    
Tanpa membuang waktu, pembangunan kampus pun dimulai. Mengikuti desain yang sebelumnya sudah disiapkan oleh Gorda dan Sambbereg. Akhirnya terwujud sebuah bangunan permanen kampus AKABA yang terdiri dari lima ruangan. Tiga ruangan untuk perkuliahan mahasiswa, satu untuk sekretariat dan satu lagi untuk tempat pelatihan keahlian tenaga dosen. Jadilah kampus itu sebagai pencapaian yang luar biasa dalam perjalanan AKABA sebagai sebuah lembaga pendidikan tinggi.
    
Para mahasiswa AKABA kini bisa kuliah dengan perasaan yang lebih mantap dan tenang, tanpa harus takut suatu saat nanti akan pindah ke sana ke mari. Sekalipun demikian, rupanya masih ada yang menghantui mereka, yaitu status AKABA yang masih belum jelas. Hingga usia yang sudah menginjak lima tahun, status terdaftar dari menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang dikeluarkan melalui koordinator Perguruan Tinggi Wilayah VI Surabaya belum juga dikantongi. (*)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016