Karangasem (Antara Bali) - Petani di Desa Seraya Tengah, Kecamatan/Kabupaten Karangasem, Bali, terpaksa meninggalkan tanaman jagung dan beralih ke jenis tumbuhan kayu terkait anomali cuaca sehingga ketersediaan air terbatas.
"Dahulu jagung (Zea mays) di Seraya itu sangat terkenal karena rasanya legit dan butiran jagungnya besar-besar. Tapi sejak cuaca tidak menentu, tanaman jagung banyak yang mati," kata Kadek Sudiarta, salah seorang penduduk yang memiliki lahan pertanian di Banjar Kaler, Seraya Tengah, Rabu.
Akibat ketidakmenentuan cuaca dan intensitas hujan sangat minim, pasokan air pun sangat berkurang. Lahan pertanian menjadi mengering dan tanaman jagung satu persatu menjadi mati.
Kondisi ini membuat beberapa petani di Seraya Tengah menjadi patah arang dan mengalihkan objek bertanamnya, dengan memilih tanaman kayu seperti sengon dan albansia untuk ditanam di lahan perkebunan.
Tidak sedikit pula penduduk Seraya Tengah mengisi kebun dengan tanaman cengkeh, karena dinilai lebih prospektif. Ketimbang bertahan pada tanaman jagung, tapi hanya mendatangkan kerugian semata.
"Padahal dulu, tanaman jagung itu ikon pertanian penduduk Seraya Tengah. 100 persen penduduknya bertanam jagung. Tapi kini tinggal sekitar 10 persen saja penduduk yang masih bertahan menanam jagung," ujarnya.
Jagung Seraya Tengah, lanjutnya, ketika sudah panen tidak akan dijual. Melainkan ditaruh di `geladag` atau para-para yang diletakkan di atas tungku dapur.
Kepulan asap dari tungku, membuat buah jagung itu tahan bertahun-tahun. Hasil panen jagung itu yang kemudian menghidupi satu keluarga hingga masa setahun. Sampai akhirnya tiba masa panen jagung berikutnya.
Bertanam jagung, tidak memerlukan perawatan rumit karena tidak memerlukan pupuk yang bermacam-macam. Biasanya penduduk Seraya menggunakan pupuk kandang atau daun-daunan untuk menyuburkan tanaman.
"Setelah biji ditanam, tiga bulan berselang, tanaman sudah siap panen. Belakangan setelah berkali-kali mengalami gagal panen, maka penduduk menjadi bosan bertanam jagung," ujar dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
"Dahulu jagung (Zea mays) di Seraya itu sangat terkenal karena rasanya legit dan butiran jagungnya besar-besar. Tapi sejak cuaca tidak menentu, tanaman jagung banyak yang mati," kata Kadek Sudiarta, salah seorang penduduk yang memiliki lahan pertanian di Banjar Kaler, Seraya Tengah, Rabu.
Akibat ketidakmenentuan cuaca dan intensitas hujan sangat minim, pasokan air pun sangat berkurang. Lahan pertanian menjadi mengering dan tanaman jagung satu persatu menjadi mati.
Kondisi ini membuat beberapa petani di Seraya Tengah menjadi patah arang dan mengalihkan objek bertanamnya, dengan memilih tanaman kayu seperti sengon dan albansia untuk ditanam di lahan perkebunan.
Tidak sedikit pula penduduk Seraya Tengah mengisi kebun dengan tanaman cengkeh, karena dinilai lebih prospektif. Ketimbang bertahan pada tanaman jagung, tapi hanya mendatangkan kerugian semata.
"Padahal dulu, tanaman jagung itu ikon pertanian penduduk Seraya Tengah. 100 persen penduduknya bertanam jagung. Tapi kini tinggal sekitar 10 persen saja penduduk yang masih bertahan menanam jagung," ujarnya.
Jagung Seraya Tengah, lanjutnya, ketika sudah panen tidak akan dijual. Melainkan ditaruh di `geladag` atau para-para yang diletakkan di atas tungku dapur.
Kepulan asap dari tungku, membuat buah jagung itu tahan bertahun-tahun. Hasil panen jagung itu yang kemudian menghidupi satu keluarga hingga masa setahun. Sampai akhirnya tiba masa panen jagung berikutnya.
Bertanam jagung, tidak memerlukan perawatan rumit karena tidak memerlukan pupuk yang bermacam-macam. Biasanya penduduk Seraya menggunakan pupuk kandang atau daun-daunan untuk menyuburkan tanaman.
"Setelah biji ditanam, tiga bulan berselang, tanaman sudah siap panen. Belakangan setelah berkali-kali mengalami gagal panen, maka penduduk menjadi bosan bertanam jagung," ujar dia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016