Denpasar (Antara Bali) - Margrit Megawe menjadi saksi sekaligus terdakwa sempat menolak kedatangan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) untuk membantu mencari keberadaan Engeline.
Engeline hilang dan ditemukan meninggal terkubur di halaman rumahnya, Jalan Sedap Malam Denpasar, beberapa waktu lalu.
Arist Merdeka Sirait, selaku saksi KPAI dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, mengungkapkan, penolakan tersebut karena Margrit tidak mengizinkan saksi masuk ke dalam rumah dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Padahal kedatangan kami ingin membantu mencari Engeline tang hilang, namun saat saya meminta untuk masuk ke dalam rumah, Margrit menolak untuk melihat kondisi kamar Engeline dengan alasan korban sulit untuk diketemukan," kata Arist Merdeka.
Selain itu, saksi justru digiring ke luar rumah karena di halaman rumahnya tidak ada tempat untuk berbincang-bincang, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa sebenarnya Engeline masih ada di dalam rumah itu dan ada persekongkolan jahat di dalam rumah itu.
"Saya sempat bertanya kepada Margrit, apakah ada seseorang yang menelepon ibu, namun saksi dengan ketusnya mengatakan banyak yang menelepon rumah," ujarnya.
Kemudian, saat saksi ingin bertemu Agustay Hamdamay juga sempat dilarang Margrit Megawe, namun karena bantuan polisi, baru dapat ketemu Agustay.
Dari keterangan Agustay bahwa, pihaknya melihat Engeline terakhir kali pada 16 Mei 2015, Pukul 14.00 Wita yang sedang menangis dan melihat telinga dan hidung korban mengeluarkan darah, namun tidak menjelaskan penyebab hal itu.
"Setelah meminta keterangan dari Agustay itu, saya tidak mengetahui bahwa dia sempat diancam dengan parang oleh Margrit," ujarnya.
Ia menegaskan, saat itu tidak banyak mendapat informasi dari Agus. "Saya juga tidak mendengar peristiwa Agus diberi uang Rp200 juta," katanya.
Dalam sidang itu, Arist Merdeka menuturkan kondisi rumah tidak layak, dan melihat baju sekolah Engeline di dalam kamar bau anyir dan banyak barang yang tidak tertata rapi.
Pihaknya juga sempat ditunjukan Margrit terkait akta pengangkatan anak yang sempat diserahkan kepadanya, namun tidak membaca secara detail isinya karena bau yang tidak sedap dalam kamar korban.
"Sempat ada pertanyaan dari wartawan terkait hak asuh anak. Kemudian saya menjawab apabila Margrit terbukti melakukan penelantaran dan membuat anak hilang, maka hak asuh anak dapat dicabut," katanya.
Saat itu juga, Margrit marah-marah dan mengeluarkan kata-kata yang kurang baik dan sempat terjadi penolakan dikunjungi kembali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016
Engeline hilang dan ditemukan meninggal terkubur di halaman rumahnya, Jalan Sedap Malam Denpasar, beberapa waktu lalu.
Arist Merdeka Sirait, selaku saksi KPAI dalam sidang di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, mengungkapkan, penolakan tersebut karena Margrit tidak mengizinkan saksi masuk ke dalam rumah dengan alasan yang tidak masuk akal.
"Padahal kedatangan kami ingin membantu mencari Engeline tang hilang, namun saat saya meminta untuk masuk ke dalam rumah, Margrit menolak untuk melihat kondisi kamar Engeline dengan alasan korban sulit untuk diketemukan," kata Arist Merdeka.
Selain itu, saksi justru digiring ke luar rumah karena di halaman rumahnya tidak ada tempat untuk berbincang-bincang, sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa sebenarnya Engeline masih ada di dalam rumah itu dan ada persekongkolan jahat di dalam rumah itu.
"Saya sempat bertanya kepada Margrit, apakah ada seseorang yang menelepon ibu, namun saksi dengan ketusnya mengatakan banyak yang menelepon rumah," ujarnya.
Kemudian, saat saksi ingin bertemu Agustay Hamdamay juga sempat dilarang Margrit Megawe, namun karena bantuan polisi, baru dapat ketemu Agustay.
Dari keterangan Agustay bahwa, pihaknya melihat Engeline terakhir kali pada 16 Mei 2015, Pukul 14.00 Wita yang sedang menangis dan melihat telinga dan hidung korban mengeluarkan darah, namun tidak menjelaskan penyebab hal itu.
"Setelah meminta keterangan dari Agustay itu, saya tidak mengetahui bahwa dia sempat diancam dengan parang oleh Margrit," ujarnya.
Ia menegaskan, saat itu tidak banyak mendapat informasi dari Agus. "Saya juga tidak mendengar peristiwa Agus diberi uang Rp200 juta," katanya.
Dalam sidang itu, Arist Merdeka menuturkan kondisi rumah tidak layak, dan melihat baju sekolah Engeline di dalam kamar bau anyir dan banyak barang yang tidak tertata rapi.
Pihaknya juga sempat ditunjukan Margrit terkait akta pengangkatan anak yang sempat diserahkan kepadanya, namun tidak membaca secara detail isinya karena bau yang tidak sedap dalam kamar korban.
"Sempat ada pertanyaan dari wartawan terkait hak asuh anak. Kemudian saya menjawab apabila Margrit terbukti melakukan penelantaran dan membuat anak hilang, maka hak asuh anak dapat dicabut," katanya.
Saat itu juga, Margrit marah-marah dan mengeluarkan kata-kata yang kurang baik dan sempat terjadi penolakan dikunjungi kembali. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2016