Denpasar (Antara Bali) - Saksi Ketut Ruta, selaku Kepala Sekolah korban pembunuhan Engeline (8) di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 12 Sanur, Denpasar Selatan, sering melihat korban terlambat masuk sekolah.
"Pada April 2015, saya melihat Engeline terlambat datang ke sekolah dan saat itu teman-temannya sudah masuk kelas. Saat ditanya, korban mengaku berjalan kaki ke sekolah dengan jarak kurang lebih dua kilometer dan tidak diantar orang tuanya," ujar Ketut Ruta, di Denpasar, Selasa.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Edward Harris Sinaga itu, saksi menerangkan saat Engeline terlambat sekolah melihat secara fisik kondisi korban lemah, badan kurus.
Ia juga melihat, pakaian yang digunakan agak kotor dan baju yang dikenakan korban tidak disetrika dan rambut kurang rapi.
"Saat saya bertanya kepada Engeline kenapa terlambat ke sekolah dia hanya terdiam, saat itu saya dan Engeline ngobrol di halaman sekolah. Kemudian, saat ditanya berulang kali korban tinggal dimana dan diantar siapa sekolah baru mau menjawab," ujarnya.
Ia mengatakan, saat ditanya Engeline menjawab tinggal di Jalan Sedap Malam, Denpasar, dan hanya menganggukan kepala saat ditanya apa korban berjalan kaki sekolah.
Ia menerangkan, korban terdaftar sebagai siswa di sekolah itu sejak Tahun 2013-2014 dan duduk dibangku kelas satu B. Kemudian, yang mendaftarkan Engeline ke sekolah itu ibu angkatnya Margrit Megawe.
"Saat itu syarat masuk sekolah dasar batasan umur minimal enam tahun dan saat itu Engeline didaftarkan ke sekolah itu tidak memiliki akta kelahiran," ujarnya.
Saat pendaftaran Engeline ke sekolah SDN 12 Sanur itu, kata dia, tidak menanyakan secara detail akta kelahiran korban, ujarnya dan pihaknya sempat bertanya nama ayah kandungnya, Margrit menyatakan tidak ada.
"Saat korban didaftarkan Margrit ke sekolah kami, hanya mengetahui terdakwa sebagai ibu kandungnya," ujarnya.
Kemudian, hari berikutnya Wali Kelas Engeline, Putu Sri Wijayanti mempertanyakan korban sering terlambat sekolah, tidur dikelas dan pendiam.
"Saya hanya menyarankan agar memberitahukan kepada orang tua Engeline dan mengunjungi ke rumahnya," ujarnya.
Ia menambahkan pada 16 Mei 2015, dari informasi gurunya Engeline tidak masuk sekolah, padahal saat itu ada kegiatan kerja bakti di sekolah tersebut.
Kemudian, pada 18 Mei 2015, pihaknya baru mengetahui Engeline menghilang dari rumahnya karena melihat berita tersebut di media massa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Pada April 2015, saya melihat Engeline terlambat datang ke sekolah dan saat itu teman-temannya sudah masuk kelas. Saat ditanya, korban mengaku berjalan kaki ke sekolah dengan jarak kurang lebih dua kilometer dan tidak diantar orang tuanya," ujar Ketut Ruta, di Denpasar, Selasa.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Denpasar, Edward Harris Sinaga itu, saksi menerangkan saat Engeline terlambat sekolah melihat secara fisik kondisi korban lemah, badan kurus.
Ia juga melihat, pakaian yang digunakan agak kotor dan baju yang dikenakan korban tidak disetrika dan rambut kurang rapi.
"Saat saya bertanya kepada Engeline kenapa terlambat ke sekolah dia hanya terdiam, saat itu saya dan Engeline ngobrol di halaman sekolah. Kemudian, saat ditanya berulang kali korban tinggal dimana dan diantar siapa sekolah baru mau menjawab," ujarnya.
Ia mengatakan, saat ditanya Engeline menjawab tinggal di Jalan Sedap Malam, Denpasar, dan hanya menganggukan kepala saat ditanya apa korban berjalan kaki sekolah.
Ia menerangkan, korban terdaftar sebagai siswa di sekolah itu sejak Tahun 2013-2014 dan duduk dibangku kelas satu B. Kemudian, yang mendaftarkan Engeline ke sekolah itu ibu angkatnya Margrit Megawe.
"Saat itu syarat masuk sekolah dasar batasan umur minimal enam tahun dan saat itu Engeline didaftarkan ke sekolah itu tidak memiliki akta kelahiran," ujarnya.
Saat pendaftaran Engeline ke sekolah SDN 12 Sanur itu, kata dia, tidak menanyakan secara detail akta kelahiran korban, ujarnya dan pihaknya sempat bertanya nama ayah kandungnya, Margrit menyatakan tidak ada.
"Saat korban didaftarkan Margrit ke sekolah kami, hanya mengetahui terdakwa sebagai ibu kandungnya," ujarnya.
Kemudian, hari berikutnya Wali Kelas Engeline, Putu Sri Wijayanti mempertanyakan korban sering terlambat sekolah, tidur dikelas dan pendiam.
"Saya hanya menyarankan agar memberitahukan kepada orang tua Engeline dan mengunjungi ke rumahnya," ujarnya.
Ia menambahkan pada 16 Mei 2015, dari informasi gurunya Engeline tidak masuk sekolah, padahal saat itu ada kegiatan kerja bakti di sekolah tersebut.
Kemudian, pada 18 Mei 2015, pihaknya baru mengetahui Engeline menghilang dari rumahnya karena melihat berita tersebut di media massa. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015