Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah tokoh masyarakat Bali yang juga merupakan penulis, mengajak para jurnalis di Pulau Dewata untuk dapat menerapkan jurnalisme damai dengan belajar dari Kasus Tolikara, Papua, belum lama ini.

Mpu Jaya Prama Ananda (mantan wartawan Tempo), dalam sebuah kesempatan bertajuk "Diskusi Jurnalisme Damai Belajar dari Kasus Tolikara," di Denpasar, Sabtu, mengatakan kunci untuk mewujudkan jurnalisme damai adalah wartawan harus berdamai dulu dengan diri sendiri sebelum meliput konflik sosial.

"Bagaimana bisa meliput jurnalisme damai, tetapi hati tidak damai. Padahal jurnalisme damai harus netral meskipun sulit," ujar Mpu Jaya Prama Ananda yang kini sudah menjadi "sulinggih" atau pendeta Hindu itu.

Menurut dia, penerapan jurnalisme damai dewasa ini menemui banyak kendala. Salah satu contohnya karena masyarakat yang tercermin dari tokoh politik dan pemilik media massa, sesungguhnya dalam hati sudah tidak damai lagi. Jurnalisme damai tidak dapat diwujudkan bila hati sendiri tidak damai. Padahal jurnalisme damai harus netral meskipun sulit.

"Kita mudah tersulut apalagi soal agama, kita sudah direcoki berbagai hal ini. Apalagi kecenderungan pemberitaan kita yang disponsori siaran televisi, tren semakin banyak kekerasan semakin tinggi ratingnya," ucapnya.

Mpu Jaya menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah ketentraman hati, dan rasa empati sebelum liputan kasus kekerasan seperti ini. Belajar dari Kasus Tolikara, lebih banyak bumbu dari pada inti persoalan, terutama media "online".

Namun hal itu tidak bisa disalahkan, karena jurnalis mendapatkan informasi sumber-sumber dan diperparah adanya keberpihakan dari media dan wartawan. "Intinya, sebagai wartawan meliput daerah itu siap tidak untuk berbekal hati dengan damai, karena tanpa kenetralan akan sulit mewartakan yang terjadi," katanya.

Sementara itu, Made Sujaya (peliput Bom Bali dan penulis buku "Kuta dan Bom Bali") bercerita ketika meliput peristiwa bom tersebut di Kuta belasan tahun silam, ada peristiwa-peristiwa kecil yang bisa memancing perselisihan.

"Kasus Bom Bali itu pengalaman saya bagaimana mengelola informasi banyak, sebagian ada informasi bernilai menaikkan rating dan sebagian sampah karena bisa mencederai kerukunan," ujarnya.

Sujaya mengatakan kasus tersebut tidak memicu SARA tetapi dapat memicu sentimen SARA. Ia bercerita saat Bom Bali I dirinya mendapatkan liputan mengenai aspek kultural soal bagaimana Kuta yang sejak zaman dulu sudah heterogen.

"Saya meliput bagaimana mereka ternyata sudah punya modal sosial yaitu bagaimana terbuka tetapi saat Bom Bali muncul prasangka-prasangka," ucapnya.

Dalam hal ini disebutkan bahwa peran media bisa menjadi motor yang kontributif. Hal yang perlu diperhatikan dan penting adalah berdamai dulu sebagai wartawan sebelum meliput. Jurnalisme damai itu suatu hal yang belum selesai namun tidak perlu khawatir karena saat ini pembaca sudah cerdas.

"Jurnalisme damai bisa mencari perspektif baru dan alternatif, dan menurut saya adalah kebutuhan kita semua," kata Sujaya. (WDY)

Pewarta: Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015