Denpasar (Antara Bali) - Hasil pemeriksaan alat deteksi kebohongan atau "lie detektor" yang dilakukan kepolisian bukan menjadi alat bukti utama untuk menggali keterangan tersangka Margrit dalam kasus pembunuhan Engeline.
Saksi ahli hukum pidana dan acara pidana, Dr Tomi Sihotang yang memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa itu, menegaskan hasil deteksi kebohongan itu tidak dapat berdiri sendiri, namun ada dua elemen hukum pidana yang tidak dapat dideteksi detektor.
"Hasil pemeriksaan deteksi kebohongan itu tidak dapat mengetahui bukti perbuatan (akta serius) dan pikiran jahat (mens rea)," ujar Tomi dalam sidang praperadilan yang dipimpin Hakim Tunggal Achmed Peten Sili, di Denpasar.
Menurut dia, dari dua elemen hukum pidana yang meggunakan alat "lie detektor" itu menjelaskan bahwa polisi menggunakan alat bukti putusasa dalam penyidikan.
Apabila polisi mengunakan hasil "lie detektor" sebagai menggali keterangan saksi yang tidak nyambung dan berhubungan dengan alat bukti yang ada, maka hasil tes itu tidak didapat sebagai alat bukti.
Saksi yang mengubah keterangannya maka penyidik harus mempertimbangkan secara seksama dan memilih apa yang diterangkan sesuai dengan fakta dengan menceritakan kejadian yang sebenarnya dengan alasan karena setiap berita acara pasti ada nilai kebenaran.
Selain itu, pihaknya memberikan keterangan bahwa untuk visum "et repertum" harus diketahui penyidik bahwa apabila ingin mengetahui fakta sebenarnya harus menemukan alat bukti yang berkaitan dengan tersangkai.
"Dari olah tempat kejadian perkara (TKP) itu pun juga dapat menjadi bukti baru apabila bersesuaian dengan hasil keterangan tersangka," ujar Tomi pria yang lahir pada 3 Desember 1957 itu.
Kemudian terkait surat penyidikan harus menguatkan pasal yang menjerat tersangka dan harus dimasukkan semuanya sesuai dengan surat perintah penyidikan (Sprindik).
"Ketika sudah ditentukan sprindiknya penyidik dapat masukan pasal lainnya yang memiliki kaitannya dengan kasus itu," kata pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara itu yang bertempat tinggal di jalan cempaka putih jakarta Pusat tersebut.
Apabila hal itu tidak berkaitan, maka konsekuensi hukuman kepada tersangka harus batal demi hukum apabila dua tersangka dinaikkan ke persidangan dengan berkas kasus yang sama.
"Seharusnya pada Pasal 55 KUHAP dalam berkas perkara harus ditetapkan satu tersangka yang harus diadili," ujar Tomi yang pernah menjadi saksi ahli praperadilan Kasus Susno Duaji itu.
Apabila barang bukti yang disimpan bukan mengakibatkan kematian korban, maka tidak dapat dijadikan nilai pembuktian dan nantinya akan menjadi bukti sampah. Untuk itu, Komponen yang mengaikan barang bukti akan sah apabila berkaitan langsung dengan kasus, namun sebaliknya maka tidak sah secara hukum.
"Kasus pembunuhan harus ada alat bukti yang lengkap dan tidak memaksakan perkara itu, dan satu pasal saja belum cukup membuktikan keterkaitan dengan tersangka dalam pembunuhan," ujarnya.
Ia menambahkan barang bukti itu ada pengujian penelitian sehingga ada hubungannya dengan tersangka dengan korban. "Saya tegaskan tidak semua alat bukti menjadi barang bukti," ujarnya.
Salah satu metode untuk membuktikan alat bukti barang bukti harus bersesuaian satu sama lain, apabila tidak bersesuaian, maka tidak boleh digabungkan.(APP)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Saksi ahli hukum pidana dan acara pidana, Dr Tomi Sihotang yang memberikan keterangan di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa itu, menegaskan hasil deteksi kebohongan itu tidak dapat berdiri sendiri, namun ada dua elemen hukum pidana yang tidak dapat dideteksi detektor.
"Hasil pemeriksaan deteksi kebohongan itu tidak dapat mengetahui bukti perbuatan (akta serius) dan pikiran jahat (mens rea)," ujar Tomi dalam sidang praperadilan yang dipimpin Hakim Tunggal Achmed Peten Sili, di Denpasar.
Menurut dia, dari dua elemen hukum pidana yang meggunakan alat "lie detektor" itu menjelaskan bahwa polisi menggunakan alat bukti putusasa dalam penyidikan.
Apabila polisi mengunakan hasil "lie detektor" sebagai menggali keterangan saksi yang tidak nyambung dan berhubungan dengan alat bukti yang ada, maka hasil tes itu tidak didapat sebagai alat bukti.
Saksi yang mengubah keterangannya maka penyidik harus mempertimbangkan secara seksama dan memilih apa yang diterangkan sesuai dengan fakta dengan menceritakan kejadian yang sebenarnya dengan alasan karena setiap berita acara pasti ada nilai kebenaran.
Selain itu, pihaknya memberikan keterangan bahwa untuk visum "et repertum" harus diketahui penyidik bahwa apabila ingin mengetahui fakta sebenarnya harus menemukan alat bukti yang berkaitan dengan tersangkai.
"Dari olah tempat kejadian perkara (TKP) itu pun juga dapat menjadi bukti baru apabila bersesuaian dengan hasil keterangan tersangka," ujar Tomi pria yang lahir pada 3 Desember 1957 itu.
Kemudian terkait surat penyidikan harus menguatkan pasal yang menjerat tersangka dan harus dimasukkan semuanya sesuai dengan surat perintah penyidikan (Sprindik).
"Ketika sudah ditentukan sprindiknya penyidik dapat masukan pasal lainnya yang memiliki kaitannya dengan kasus itu," kata pria asal Pematang Siantar, Sumatera Utara itu yang bertempat tinggal di jalan cempaka putih jakarta Pusat tersebut.
Apabila hal itu tidak berkaitan, maka konsekuensi hukuman kepada tersangka harus batal demi hukum apabila dua tersangka dinaikkan ke persidangan dengan berkas kasus yang sama.
"Seharusnya pada Pasal 55 KUHAP dalam berkas perkara harus ditetapkan satu tersangka yang harus diadili," ujar Tomi yang pernah menjadi saksi ahli praperadilan Kasus Susno Duaji itu.
Apabila barang bukti yang disimpan bukan mengakibatkan kematian korban, maka tidak dapat dijadikan nilai pembuktian dan nantinya akan menjadi bukti sampah. Untuk itu, Komponen yang mengaikan barang bukti akan sah apabila berkaitan langsung dengan kasus, namun sebaliknya maka tidak sah secara hukum.
"Kasus pembunuhan harus ada alat bukti yang lengkap dan tidak memaksakan perkara itu, dan satu pasal saja belum cukup membuktikan keterkaitan dengan tersangka dalam pembunuhan," ujarnya.
Ia menambahkan barang bukti itu ada pengujian penelitian sehingga ada hubungannya dengan tersangka dengan korban. "Saya tegaskan tidak semua alat bukti menjadi barang bukti," ujarnya.
Salah satu metode untuk membuktikan alat bukti barang bukti harus bersesuaian satu sama lain, apabila tidak bersesuaian, maka tidak boleh digabungkan.(APP)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015