Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Universitas Udayana Prof Dr Wayan Windia menilai ketimpangan sosial ekonomi di Bali semakin tinggi serta desakan para pendatang yang semakin kuat dalam berbagai aspek kehidupan.
"Sekarang ini masyarakat Bali sudah sesak, diperparah lagi dengan suasana konflik sosial, khususnya konflik,yang terjadi di tengah-tengah kemiskinan yang semakin merambah naik," kata Prof Windia, guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, kondisi yang demikian itu menyebabkan sawah banyak beralih fungsi dan keberadaannya semakin menyusut. Demikian pula lingkungan sosio-kultural yang semakin tidak harmonis dengan kearifan lokal.
"Sementara itu, masyarakat Bali sedang berada dalam suasana `nikmat`, malas, berpikir jangka pendek (instan), konsumtif, dan berwatak elitis," ujar Prof Windia yang juga ketua pusat penelitian subah Unud.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada wacana yang gaduh, bahwa di intenet mulai muncul iklan mencari tenaga kerja, dengan syarat bahwa harus bukan orang Bali.
"Hal itu menunjukkan bahwa sekarang ini dalam proses pembangunan di Bali telah terjadi dikotomi sosial yang membara. Oleh karenanya, perlu ada kesadaran di kalangan elite di Bali untuk mulai menoleh kembali visi pembangunan Bali hingga tahun 2026 yang akan datang," harap Prof Windia.
Ia mengingatkan, semua ektivitas sosio-ekonomi-kultural harus berlandaskan pada visi missi pembangunan jangka sebelas tahun ke depan. Demikian pula semua konflik sosial yang terjadi harus disandingkan dengan visi pembangunan Bali.
"Hal itu semua harus dimulai dari kesadaran para pemimpin Bali, jika tidak, jangan harap eksistensi Bali akan bisa berlanjut," ujar Windia.
Dalam Tri Hita Karana (THK) yakni kearifan lokal tentang hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan dengan Tuhan Yang Mahaesa, tercermin bahwa, aktivitas bisnis yang berlandaskan pada THK adalah aktivitas bisnis jalan-tengah.
Bisnis yang dilaksanakan tersebut tidak hanya mengutamakan keuntungan semata, namun harus memperhatikan kejujuran yang bisa dipercaya. Bisnis tidak hanya mengutaman efesiensi, namun harus juga efektivitas, harap Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Sekarang ini masyarakat Bali sudah sesak, diperparah lagi dengan suasana konflik sosial, khususnya konflik,yang terjadi di tengah-tengah kemiskinan yang semakin merambah naik," kata Prof Windia, guru besar Fakultas Pertanian Unud di Denpasar, Minggu.
Ia mengatakan, kondisi yang demikian itu menyebabkan sawah banyak beralih fungsi dan keberadaannya semakin menyusut. Demikian pula lingkungan sosio-kultural yang semakin tidak harmonis dengan kearifan lokal.
"Sementara itu, masyarakat Bali sedang berada dalam suasana `nikmat`, malas, berpikir jangka pendek (instan), konsumtif, dan berwatak elitis," ujar Prof Windia yang juga ketua pusat penelitian subah Unud.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika ada wacana yang gaduh, bahwa di intenet mulai muncul iklan mencari tenaga kerja, dengan syarat bahwa harus bukan orang Bali.
"Hal itu menunjukkan bahwa sekarang ini dalam proses pembangunan di Bali telah terjadi dikotomi sosial yang membara. Oleh karenanya, perlu ada kesadaran di kalangan elite di Bali untuk mulai menoleh kembali visi pembangunan Bali hingga tahun 2026 yang akan datang," harap Prof Windia.
Ia mengingatkan, semua ektivitas sosio-ekonomi-kultural harus berlandaskan pada visi missi pembangunan jangka sebelas tahun ke depan. Demikian pula semua konflik sosial yang terjadi harus disandingkan dengan visi pembangunan Bali.
"Hal itu semua harus dimulai dari kesadaran para pemimpin Bali, jika tidak, jangan harap eksistensi Bali akan bisa berlanjut," ujar Windia.
Dalam Tri Hita Karana (THK) yakni kearifan lokal tentang hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan dengan Tuhan Yang Mahaesa, tercermin bahwa, aktivitas bisnis yang berlandaskan pada THK adalah aktivitas bisnis jalan-tengah.
Bisnis yang dilaksanakan tersebut tidak hanya mengutamakan keuntungan semata, namun harus memperhatikan kejujuran yang bisa dipercaya. Bisnis tidak hanya mengutaman efesiensi, namun harus juga efektivitas, harap Prof Windia. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015