Denpasar (Antara Bali) - Guru besar Universitas Udayana Prof. Dr Wayan Windia menilai, Bali semakin banyak kedatangan investor kapitalis dalam beberapa tahun belakangan ini yang semata-mata ingin mengeruk keuntungan sehingga menimbulkan konflik sosial.

"Kami sangat terkejut tatkala baru-baru ini muncul konflik sosial di kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK). Sebuah kawasan, yang dahulu juga dibangun di tengah-tengah friksi badai sosial," kata Prof. Windia yang juga ketua pusat penelitian subak Unud di Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan, GWK setelah beberapa kali berganti investor, kini masyarakat Bali diwariskan pula dengan konflik sosial antara para pemilik pertokoan dengan pihak investor GWK yang terbaru.

"Konflik ini muncul di tengah-tengah konflik sosial dalam proses rencana investasi reklamasi di Teluk Benoa," ujar Wayan Windia.

Guru besar Fakultas Pertanian Unud itu menambahkan, di Bali jauh sebelumnya juga pernah muncul konflik sosial dalam proses pembangunan lapangan golf di kawasan Tanah Lot, Tabanan.

"Apakah artinya semua peristiwa ini bagi masyarakat Bali?" Tanya Windia yang dijawabnya sendiri, hal ini berarti bahwa masyarakat Bali sudah mulai melakukan perlawanan terhadap berbagai investasi kapitalis.

Hal itu dilakukan karena masyarakat merasa semakin tersisihkan secara "sosio-political-cultural", biaya sosial yang menimpanya terlalu besar dan semakin ada kesadaran tentang eksistensi lingkungan pada alam di sekitarnya.

"Bagi masyarakat yang sudah `kenyang`, dan semakin terdidik, maka mereka akan selalu mengalihkan perhatiannya pada masalah tersier seperti lingkungan, sektor jasa dan eksistensi," ujar Wayan Windia.

Hal itu dilakukan karena dalam kehidupan telah berani melakukan perlawanan sosial. Sementara itu, investor yang mulai masuk ke Bali adalah kaum investor kapitalis, yang pragmatis dan individualistis.

"Mereka sama sekali tidak hirau dengan visi Pembangunan Bali : Menuju Bali Dwipayana yang Berlandaskan pada filsafat Tri Hita Karana (THK). Selanjutnya Pemda Bali juga sibuk dengan hanya hal-hal yang pragmatis seperti politik, pendapatan asli daerah (PAD) dan pertumbuhan," ujar Windia.

Padahal visi pembangunan Bali 20 tahun (2006-2026) yakni pembangunan yang berlandaskan THK. Basis filsafat THK pada hakekatnya adalah harmoni dan kebersamaan.

"Kalau saja pejabat di Bali agak ngeh, pada visi pembangunannya, maka mereka pasti dengan cepat mengambil langkah antisipatif solusi terbaik sehingga tidak menimbulkan permasalahan yang lebih parah," ujar Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Pewarta: I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015