Tabanan (Antara Bali) - Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta meminta supaya jajaran pengurus adat setempat dapat membuatkan "awig-awig" atau aturan adat tertulis yang mengatur ketentuan bagi wisatawan yang masuk ke Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan.
"Hal ini mengingat kesucian pura harus dijaga dan sangat sakral. Sedangkan wisatawan yang masuk tidak sepenuhnya diketahui dalam keadaan bersih, atau tidak `cuntaka` (datang bulan)," kata Sudikerta usai melakukan persembahyangan bersama di Pura Batukaru, di Tabanan, Senin.
Sudikerta juga menyarankan agar warga setempat membuat jalan setapak yang melingkari lokasi pura yang berada di kaki Gunung Batukaru itu, sehingga wisatawan yang berkunjung dengan dipandu pramuwisata tidak harus masuk ke areal pura.
"Dengan demikian, kemungkinan melakukan pelanggaran dan menodai kesucian pura setempat dapat diminimalisasi," ujar mantan Wakil Bupati Badung itu.
Sementara itu, Nyoman Sukada, Kelihan Adat Desa Tengkudak, Batukaru, mengatakan pihaknya akan berupaya untuk memproteksi areal pura dengan "awing awing" yang dicantumkan di depan pura.
Apalagi, ucap dia, mengingat Pura Batukaru merupakan salah satu dari Sad Kahyangan atau enam pura besar yang dianggap paling utama di Bali dan sangat disucikan.
Di sisi lain, dalam persembahyangan yang dilakukan bertepatan dengan ritual "Penyineban" tersebut, Sudikerta didampingi Nyonya Dayu Sudikerta, mantan Gubernur Bali Dewa Made Beratha, Kepala Dinas Kebudayaan Dewa Putu Beratha, dan Karo Kesra Setda Provinsi Bali Anak Agung Grya.
Dengan melakukan persembahyangan tersebut dan juga ritual penyucian bhuwan agung (makrokosmos) dan bhuwana alit (mikrokosmos) berharap agar keseimbangan dunia dapat terjaga secara utuh.
Pura Batukaru berjarak sekitar 42 kilometer di sebelah barat Kota Denpasar atau sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Denpasar, Bali.
Pura ini berada pada ketinggian 700 meter di atas muka laut dan dibangun sekitar abad XI atas prakarsa Mpu Kuturan atau Mpu Rajakerta (menurut lontar Usana Bali). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Hal ini mengingat kesucian pura harus dijaga dan sangat sakral. Sedangkan wisatawan yang masuk tidak sepenuhnya diketahui dalam keadaan bersih, atau tidak `cuntaka` (datang bulan)," kata Sudikerta usai melakukan persembahyangan bersama di Pura Batukaru, di Tabanan, Senin.
Sudikerta juga menyarankan agar warga setempat membuat jalan setapak yang melingkari lokasi pura yang berada di kaki Gunung Batukaru itu, sehingga wisatawan yang berkunjung dengan dipandu pramuwisata tidak harus masuk ke areal pura.
"Dengan demikian, kemungkinan melakukan pelanggaran dan menodai kesucian pura setempat dapat diminimalisasi," ujar mantan Wakil Bupati Badung itu.
Sementara itu, Nyoman Sukada, Kelihan Adat Desa Tengkudak, Batukaru, mengatakan pihaknya akan berupaya untuk memproteksi areal pura dengan "awing awing" yang dicantumkan di depan pura.
Apalagi, ucap dia, mengingat Pura Batukaru merupakan salah satu dari Sad Kahyangan atau enam pura besar yang dianggap paling utama di Bali dan sangat disucikan.
Di sisi lain, dalam persembahyangan yang dilakukan bertepatan dengan ritual "Penyineban" tersebut, Sudikerta didampingi Nyonya Dayu Sudikerta, mantan Gubernur Bali Dewa Made Beratha, Kepala Dinas Kebudayaan Dewa Putu Beratha, dan Karo Kesra Setda Provinsi Bali Anak Agung Grya.
Dengan melakukan persembahyangan tersebut dan juga ritual penyucian bhuwan agung (makrokosmos) dan bhuwana alit (mikrokosmos) berharap agar keseimbangan dunia dapat terjaga secara utuh.
Pura Batukaru berjarak sekitar 42 kilometer di sebelah barat Kota Denpasar atau sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Denpasar, Bali.
Pura ini berada pada ketinggian 700 meter di atas muka laut dan dibangun sekitar abad XI atas prakarsa Mpu Kuturan atau Mpu Rajakerta (menurut lontar Usana Bali). (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015