Denpasar (Antara Bali) - Pertumbuhan industri pengolahan di Bali melorot pada awal 2015 akibat biaya produksi yang meningkat sebagai dampak dari kenaikan harga LPG, listrik, upah minimum provinsi (UMP), dan bahan bakar minyak (BBM).
Begitu pula depresiasi nilai tukar rupiah yang masih berlanjut dan mendorong kenaikan biaya produksi, terutama pada perusahaan yang memiliki konten impor, kata Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati, di Denpasar, Sabtu.
Dewi Setyowati dalam laporan kajian ekonomi dan keuangan regional Provinsi Bali menyebutkan, pertumbuhan kategori industri pengolahan melambat dari 7,50 persen (yoy) pada triwulan IV-2014 menjadi hanya sebesar 6,72 persen (yoy) triwulan I-2015.
Melorotnya pertumbuhan sektor industri pengolahan tersebut menyebabkan penyaluran kredit perbankan untuk kategori industri pengolahan juga mengikuti dengan berkurang dari 17,55 persen (yoy) menjadi hanya 13,55 persen (yoy) dengan pinjaman sebesar Rp1,8 triliun.
Kondisi tersebut terjadi seiring dengan masih terjadinya ketidakpastian untuk keuntungan perusahaan ke depan. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi listrik industri terlihat mengalami peningkatan mencapai 9,24 persen (yoy) pada triwulan I 2015 dari sebesar 3,05 persen (yoy) pada triwulan IV 2014.
Melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan akan berpengaruh terhadap perolehan devisa nonmigas Bali yang pertumbuuhannnya juga mengalami perlambatan dari 19,96 persen (yoy) pada triwulan IV-2014 menjadi 18,55 persen (yoy) pada triwulan I-2015.
Dewi Setyowati menjelaskan, kondisi itu terjadi seiring dengan berkurangnya pengiriman ikan segar terutama ke Jepang. Penurunan tersebut terlihat dari volume ekspor Bali yang mengalami penurunan mencapai 27,8 ribu ton pada triwulan I-2015 dari 32,84 ribu ton pada triwulan IV-2014.
Pada triwulan I-2015, komoditas perikanan masih menjadi jenis matadagangan unggulan Provinsi Bali, disamping perhiasan, pakaian jadi, kayu olahan serta produk furniture, dan hampir semua komoditas unggulan tersebut mengalami perlambatan ekspor. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
Begitu pula depresiasi nilai tukar rupiah yang masih berlanjut dan mendorong kenaikan biaya produksi, terutama pada perusahaan yang memiliki konten impor, kata Kepala Perwakilan Kantor Bank Indonesia Provinsi Bali, Dewi Setyowati, di Denpasar, Sabtu.
Dewi Setyowati dalam laporan kajian ekonomi dan keuangan regional Provinsi Bali menyebutkan, pertumbuhan kategori industri pengolahan melambat dari 7,50 persen (yoy) pada triwulan IV-2014 menjadi hanya sebesar 6,72 persen (yoy) triwulan I-2015.
Melorotnya pertumbuhan sektor industri pengolahan tersebut menyebabkan penyaluran kredit perbankan untuk kategori industri pengolahan juga mengikuti dengan berkurang dari 17,55 persen (yoy) menjadi hanya 13,55 persen (yoy) dengan pinjaman sebesar Rp1,8 triliun.
Kondisi tersebut terjadi seiring dengan masih terjadinya ketidakpastian untuk keuntungan perusahaan ke depan. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi listrik industri terlihat mengalami peningkatan mencapai 9,24 persen (yoy) pada triwulan I 2015 dari sebesar 3,05 persen (yoy) pada triwulan IV 2014.
Melambatnya pertumbuhan sektor industri pengolahan akan berpengaruh terhadap perolehan devisa nonmigas Bali yang pertumbuuhannnya juga mengalami perlambatan dari 19,96 persen (yoy) pada triwulan IV-2014 menjadi 18,55 persen (yoy) pada triwulan I-2015.
Dewi Setyowati menjelaskan, kondisi itu terjadi seiring dengan berkurangnya pengiriman ikan segar terutama ke Jepang. Penurunan tersebut terlihat dari volume ekspor Bali yang mengalami penurunan mencapai 27,8 ribu ton pada triwulan I-2015 dari 32,84 ribu ton pada triwulan IV-2014.
Pada triwulan I-2015, komoditas perikanan masih menjadi jenis matadagangan unggulan Provinsi Bali, disamping perhiasan, pakaian jadi, kayu olahan serta produk furniture, dan hampir semua komoditas unggulan tersebut mengalami perlambatan ekspor. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015