Denpasar (Antara Bali) - Pemerintah Provinsi Bali mengoptimalkan fungsi "rabies center" yang telah dibentuk di berbagai rumah sakit daerah dan pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di Pulau Dewata sebagai salah satu langkah menyiasati keterbatasan jumlah vaksin antirabies (VAR).
"Optimalisasi antara lain dititikberatkan pada upaya memaksimalkan pertolongan pertama pada kasus gigitan anjing," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Gede Wira Sunetra dalam orasinya di Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), di Denpasar, Minggu.
Wira tidak menampik bahwa jumlah gigitan anjing belakangan makin mengkhawatirkan yaitu di atas angka 100 per hari. Hanya saja, dia memberi pemahaman bahwa tak setiap gigitan anjing berpotensi rabies.
"Apalagi yang menggigit itu adalah anjing yang dipelihara dengan baik dan sudah mendapat vaksin," ucapnya.
Namun, setiap gigitan tetap harus mendapat menanganan mengacu tata laksana pencegahan rabies. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencuci bekas gigitan anjing dengan air mengalir dan sabun selama 10-15 menit.
"Nyucinya jangan hanya sebentar, minimal 10 menit," ujarnya.
Langkah pertama ini, kata dia, dapat menghilangkan virus rabies hingga 80 persen. Tahap selanjutnya barulah mengunjungi layanan kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
Terkait dengan masih terbatasnya ketersediaan stok VAR, pihak rumah sakit memang akan selektif dalam memberikan vaksin. Pihaknya terus mengupayakan agar bulan Juli ini Bali mendapatkan 10.000 stok VAR dari pihak produsen.
"Ini masalahnya bukan tidak ada dana. Untuk tahun 2015, sejatinya kita sudah minta lebih dari 80 ribu, namun yang dipenuhi cuma 10 ribu," ujar Wira.
Dia menambahkan, hal ini antara lain dipicu merebaknya kasus rabies di sejumlah provinsi. Menyikapi persoalan ini, Pemprov Bali sangat berharap peran aktif dan kepedulian masyarakat dalam pencegahan rabies. Antara lain dengan mengurus hewan peliharaan (anjing) dengan baik.
Terkait dengan keberadaan anjing sebagai hewan penyebar rabies, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Bali drh Nata Kesuma menyebut bahwa populasi anjing di Bali saat ini telah mencapai 400 ribu ekor.
Yang mengkhawatirkan, kata Nata, 95 persen diantaranya dipelihara dengan cara diliarkan. Kondisi ini menjadi kendala cukup berat bagi petugas dalam melakukan vaksinasi terhadap hewan tersebut.
"Belum lagi topografi yang cukup menyulitkan kami di lapangan," ucapnya.
Untuk itu, pihaknya sangat berharap peran "prajuru desa pakraman" atau pengurus desa adat agar proaktif menertibkan anjing liar di wilayah masing-masing.
Dalam kesempatan itu, Nata Kesuma kembali menyosialisasikan kewajiban pemilik anjing mengacu pada pasal 5 Perda Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009. Pemilik anjing wajib mendaftarkan hewan peliharaannya, memiliki kartu, memberikan vaksin, menyediakan kandang dan mengenakan alat pengaman manakala diajak ke luar rumah.
Pihaknya meminta agar mereka yang mengaku cinta binatang mengindahkan ketentuan tersebut guna mencegah makin meluasnya kasus rabies. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Optimalisasi antara lain dititikberatkan pada upaya memaksimalkan pertolongan pertama pada kasus gigitan anjing," kata Kepala Bidang Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Gede Wira Sunetra dalam orasinya di Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja (PB3AS), di Denpasar, Minggu.
Wira tidak menampik bahwa jumlah gigitan anjing belakangan makin mengkhawatirkan yaitu di atas angka 100 per hari. Hanya saja, dia memberi pemahaman bahwa tak setiap gigitan anjing berpotensi rabies.
"Apalagi yang menggigit itu adalah anjing yang dipelihara dengan baik dan sudah mendapat vaksin," ucapnya.
Namun, setiap gigitan tetap harus mendapat menanganan mengacu tata laksana pencegahan rabies. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah mencuci bekas gigitan anjing dengan air mengalir dan sabun selama 10-15 menit.
"Nyucinya jangan hanya sebentar, minimal 10 menit," ujarnya.
Langkah pertama ini, kata dia, dapat menghilangkan virus rabies hingga 80 persen. Tahap selanjutnya barulah mengunjungi layanan kesehatan terdekat untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
Terkait dengan masih terbatasnya ketersediaan stok VAR, pihak rumah sakit memang akan selektif dalam memberikan vaksin. Pihaknya terus mengupayakan agar bulan Juli ini Bali mendapatkan 10.000 stok VAR dari pihak produsen.
"Ini masalahnya bukan tidak ada dana. Untuk tahun 2015, sejatinya kita sudah minta lebih dari 80 ribu, namun yang dipenuhi cuma 10 ribu," ujar Wira.
Dia menambahkan, hal ini antara lain dipicu merebaknya kasus rabies di sejumlah provinsi. Menyikapi persoalan ini, Pemprov Bali sangat berharap peran aktif dan kepedulian masyarakat dalam pencegahan rabies. Antara lain dengan mengurus hewan peliharaan (anjing) dengan baik.
Terkait dengan keberadaan anjing sebagai hewan penyebar rabies, Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Bali drh Nata Kesuma menyebut bahwa populasi anjing di Bali saat ini telah mencapai 400 ribu ekor.
Yang mengkhawatirkan, kata Nata, 95 persen diantaranya dipelihara dengan cara diliarkan. Kondisi ini menjadi kendala cukup berat bagi petugas dalam melakukan vaksinasi terhadap hewan tersebut.
"Belum lagi topografi yang cukup menyulitkan kami di lapangan," ucapnya.
Untuk itu, pihaknya sangat berharap peran "prajuru desa pakraman" atau pengurus desa adat agar proaktif menertibkan anjing liar di wilayah masing-masing.
Dalam kesempatan itu, Nata Kesuma kembali menyosialisasikan kewajiban pemilik anjing mengacu pada pasal 5 Perda Provinsi Bali Nomor 15 Tahun 2009. Pemilik anjing wajib mendaftarkan hewan peliharaannya, memiliki kartu, memberikan vaksin, menyediakan kandang dan mengenakan alat pengaman manakala diajak ke luar rumah.
Pihaknya meminta agar mereka yang mengaku cinta binatang mengindahkan ketentuan tersebut guna mencegah makin meluasnya kasus rabies. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015