Kepulauan Nusantara dari Sabang sampai Merauke dikenal sebagai daerah yang subur dan curah hujan yang tinggi sehingga tanaman apa saja yang dikembangkan akan tumbuh dan sanggup memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakatnya.

Atas dasar potensi yang besar itu di awal masa pemerintahannya, Presiden RI Joko Widodo memprogramkan untuk meraih kembali swasembada pangan, yang dahulu pernah dicapai pada masa kepemimpinan presiden ke-2 RI H.M. Soeharto.

Bahkan, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menargetkan akan mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu tiga tahun, tutur pengamat masalah pertanian di Bali Dr. I Gede Sedana yang juga Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra Denpasar.

Oleh sebab itu, potensi besar bidang pertanian di Indonesia itu diharapkan bisa diolah dalam mewujudkan pertanian yang berdaulat berbasis kesejahteraan rakyat.

Untuk itu, pengembangan agrobisnis padi dalam mewujudkan swasembada pangan dalam tiga tahun--sesuai dengan tekad Presiden Joko Widodo--sangat diperlukan adanya integrasi yang kuat.

Integrasi yang kuat itu menyangkut antarsubsistem agrobisnis, baik di hulu maupun di hilir, sehingga mampu mencapai swasembda pangan, bukan hanya beras.

Jika hanya mencapai swasembada beras yang menjadi sasaran utama, dikhawatirkan akan muncul masalah baru dalam bidang pemasaran, terutama saat hasil pertanian itu melimpah ruah.

Pengalaman selama ini di lapangan menunjukkan bahwa saat petani mampu menghasilkan produksi padi yang tinggi, saat yang bersamaan mereka menerima harga produk yang relatif murah.

Dengan demikian, tingkat kesejahteraan petani tidak akan bergeser menuju tingkat yang lebih baik. Selain itu, penyediaan benih dan pupuk subsidi sebagai bagian dari subsistem di hulu serta irigasi, subsistem penujang yang memadai belum menjamin meningkatkan kesejahteraan petani.

Untuk itu, Dr. Gede Sedana memandang perlu keseimbangan integrasi yang kuat di antara hulu dan hilir. Bahkan, sangat mutlak harus dilakukan. Hal itu didasarkan atas subsistem hilir yang harus diperkuat untuk mengimbangi perbaikan di subsistem hulu, yakni menyangkut subsistem pengolahan dan pemasaran produksi pertanian.

Hal itu menjadi sangat penting dilakukan untuk memberikan makna terhadap agrobisnis yang dikembangkan secara terpadu dan selaras dengan semua subsistem yang ada di dalamnya.

Agrobisnis sebagai kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditas pertanian yang menjadi salah satu atau keseluruhan mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri).

Hal penting lainnya menyangkut pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan bidang pertanian.

Subsidi Pertanian

Gede Sedana, alumnus program pascasarjana Universitas Udayana, memberikan apresiasi terhadap kebijakan Presiden Joko Widodo dalam menyediakan subsidi sarana produksi pertanian, seperti benih unggul, pupuk, traktor, serta irigasi, dalam mewujudkan swasembada pangan.

Komitmen kepala negara itu tentu berdampak positif terhadap pengembangan usaha tani di lahan sawah, khususnya tanaman padi yang diharapkan mampu mengantarkan Indonesia meraih kembali swasembada beras, seperti pada tahun 1984 atau pada era presiden ke-2 RI Jenderal Besar H.M. Soeharto.

Pemerintahan Jokowi tampaknya bertekad secara sungguh-sungguh, antara lain diwujudkan dalam kebijakan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk pembangunan dan pengembangan sektor pertanian.

Pengalihan subsidi BBM itu untuk subsidi pupuk, benih, serta infrastruktur irigasi dan bendungan. Dengan demikian, kucuran dana untuk sektor pertanian relatif cukup besar, yakni mencapai Rp20 triliun.

Namun, Gede Sedana mempertanyakan keefektifan swasembada pangan (beras) tersebut dengan peningkatan kesejahteraan para petani di lahan sawah.

Untuk itu, pengembangan agrobisnis hendaknya dapat dilakukan secara terpadu dan selaras dengan semua subsitem yang ada dalam kawasan tersebut.

Keterpaduan itu penting karena kegiatan agrobisnis berhubungan dengan penanganan komoditas pertanian yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi dan pengolahan.

Keterpaduan itu juga menyangkut masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian serta kelembagaan penunjang kegiatan.

Semua itu bertujuan menyejahterakan petani khususnya, di lahan sawah dan berkenaan dengan komoditas padi perlu dilakukan upaya menyinergikan dengan penguatan di subsistem hilir.

Kegiatan yang dilaksanakan, antara lain meningkatkan akses petani melalui kelompok, antara lain subak di Bali terhadap kemajuan teknologi bidang pertanian. Modal dengan memberikan insentif di hilir, yakni menjamin tingkat harga produk yang tinggi, terutama pada musim panen raya.

Pemerintah bisa menempuh salah satu cara berkenaan dengan harga produk padi (gabah) dengan membentuk badan usaha, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Badan usaha tersebut diberikan peran untuk membeli produk yang dihasilkan petani dengan harga yang relatif tinggi. Harga yang tinggi itulah menjadi insentif yang terbesar bagi petani untuk bisa mengelola usahatani secara berkelanjutan.

"Harga yang tinggi di tingkat petani akan menjamin terdongkraknya kesejahteraan petani," kata Dr. Gede Sedana. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015