Jakarta (Antara Bali) - Presiden Direktur CSE Aviation sekaligus pakar
keselamatan penerbangan Edwin Soedarmo mengatakan Indonesia belum siap
menghadapi ASEAN Open Sky 2015, terutama karena belum siapnya
infrastruktur yang ada.
"Aspek teknis, infrastruktur dan kebijakan kita masih jauh dari memadai untuk dapat mendukung pemain Indonesia mampu bersaing bebas di ASEAN Open Sky 2015," kata Presiden Direktur CSE Aviation Edwin Soedarmo dalam acara media gathering "Tinjauan Industri Penerbangan di Indonesia Terkait dengan Karut Marut Penerbangan Nasional" di Wisma Antara, Rabu.
ASEAN Open Sky 2015 adalah kebijakan membuka wilayah udara antar-sesama anggota negara ASEAN yang akan dilaksanakan tahun ini.
Layaknya Eropa dengan Uni Eropa-nya, kekuatan negara-negara ASEAN harus disatukan untuk menghadapi tantangan dan persaingan dari negara besar Asia, seperti Tiongkok dan India.
"Kita butuh pemimpin-pemimpin yang fokus dan berintegritas, yang punya target," kata Edwin.
Salah satu kendala yang menjadikan ASEAN Open Sky 2015 berat bagi Indonesia adalah pemeringkatan operator menunjukkan adanya pencabutan kategori II, perusahaan-perusahaan penerbangan katergori III bisa diberikan sanksi berupa pembekuan sertifikat operator penerbangan atau Air Operator Certificates (AOC), sedangkan untuk berpartisipasi dalam ASEAN Open Sky, operator penerbangan harus mengangkat Safety Level menjadi kategori I.
"Selain itu SDM kita belum kompeten, akses ke bandara masih sulit, dan masih banyak lagi kendala lain. Indonesia belum siap tapi sudah harus menerima ini, Indonesia hanya akan jadi pasar bagi negara lain," katanya.
Terlebih lagi, kata Edwin, mengingat Indonesia memiliki banyak bandara sebagai pintu masuk pemain asing, sementara sebagai contoh Singapura hanya memiliki satu bandara.
"Saingan terberat kita adalah Singapura, Malaysia dan Thailand. Jika ke depan pemerintah kita fokus memperbaiki ini, diperkirakan kita baru siap dua tahun kemudian," kata Edwin.
Jika Indonesia tak siap maka kedaulatan Indonesia juga dipertaruhkan karena jika air traffic controller (ATC) Indonesia dianggap tak siap, tak memiliki kemampuan setara dengan persyaratan keamanan terbang internasional, maka wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas wilayah kedaulatan RI akan diserahkan kepada negara yang sudah siap pengaturan ATC-nya.
"Lalu lintas udara di atas wilayah kedaulatan RI akan tambah padat, ditambah teknologi ATC yang terbatas maka akan menyulitkan petugas ATC mengontrol udara Indonesia dari penerbangan gelap," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015
"Aspek teknis, infrastruktur dan kebijakan kita masih jauh dari memadai untuk dapat mendukung pemain Indonesia mampu bersaing bebas di ASEAN Open Sky 2015," kata Presiden Direktur CSE Aviation Edwin Soedarmo dalam acara media gathering "Tinjauan Industri Penerbangan di Indonesia Terkait dengan Karut Marut Penerbangan Nasional" di Wisma Antara, Rabu.
ASEAN Open Sky 2015 adalah kebijakan membuka wilayah udara antar-sesama anggota negara ASEAN yang akan dilaksanakan tahun ini.
Layaknya Eropa dengan Uni Eropa-nya, kekuatan negara-negara ASEAN harus disatukan untuk menghadapi tantangan dan persaingan dari negara besar Asia, seperti Tiongkok dan India.
"Kita butuh pemimpin-pemimpin yang fokus dan berintegritas, yang punya target," kata Edwin.
Salah satu kendala yang menjadikan ASEAN Open Sky 2015 berat bagi Indonesia adalah pemeringkatan operator menunjukkan adanya pencabutan kategori II, perusahaan-perusahaan penerbangan katergori III bisa diberikan sanksi berupa pembekuan sertifikat operator penerbangan atau Air Operator Certificates (AOC), sedangkan untuk berpartisipasi dalam ASEAN Open Sky, operator penerbangan harus mengangkat Safety Level menjadi kategori I.
"Selain itu SDM kita belum kompeten, akses ke bandara masih sulit, dan masih banyak lagi kendala lain. Indonesia belum siap tapi sudah harus menerima ini, Indonesia hanya akan jadi pasar bagi negara lain," katanya.
Terlebih lagi, kata Edwin, mengingat Indonesia memiliki banyak bandara sebagai pintu masuk pemain asing, sementara sebagai contoh Singapura hanya memiliki satu bandara.
"Saingan terberat kita adalah Singapura, Malaysia dan Thailand. Jika ke depan pemerintah kita fokus memperbaiki ini, diperkirakan kita baru siap dua tahun kemudian," kata Edwin.
Jika Indonesia tak siap maka kedaulatan Indonesia juga dipertaruhkan karena jika air traffic controller (ATC) Indonesia dianggap tak siap, tak memiliki kemampuan setara dengan persyaratan keamanan terbang internasional, maka wewenang pengaturan lalu lintas udara di atas wilayah kedaulatan RI akan diserahkan kepada negara yang sudah siap pengaturan ATC-nya.
"Lalu lintas udara di atas wilayah kedaulatan RI akan tambah padat, ditambah teknologi ATC yang terbatas maka akan menyulitkan petugas ATC mengontrol udara Indonesia dari penerbangan gelap," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015