Denpasar (Antara Bali) - Pengamat masalah hukum, Dr Ida Bagus Radendra Suastama, SH., M. Hum menilai, aparat penegak hukum di Bali masih lemah, sehingga perlu melakukan revolusi mental dalam menegakkan hukum secara adil.

"Hal itu didasarkan atas kenyataan selama ini masih banyak kasus hukum ketika bersentuhan dengan kekuasaan maupun politik, penegakan hukum akan macet, bahkan berhenti," kata Ida Bagus Radendra Suastama yang juga dosen Universitas Hindu Indonesia (Unhi) di Denpasar, Selasa.

Ia mengataka, penegakan hukum dan penuntasan kasus korupsi sejumlah pejabat kini dirasakan masih tebang pilih.

Salah satunya dugaan kasus penipuan yang melibatkan mantan Bupati Tabanan, Adi Wiryatama yang kini menjabat ketua DPRD Bali beserta rekannya yang dinyatakan tersangka, namun secara tiba-tiba mendapat surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dari pihak kepolisian.

Menurut pengamat hukum sekaligus akademisi, Ida Bagus Radendra Suastama, pada dasarnya bersipat "eguality before the low" artinya perlakuan hukum itu sama atau tidak tebang pilih.

Namun ketika masyarakat melihat proses hukum "dijual belikan" maka saat itulah hukum tidak lagi dipercaya.

Saat ini ketidak percayaan masyarakat akan para penegak hukum mulai menipis sehingga diperlukan revolusi mental dengan tujuan membenahi sistem pemerintah yang dipenuhi para koruptor.

Para penegak hukum harus berani dan tegas saat menangani kasus korupsi berbenturan dengan kekuasaan dan politik untuk mengambil keputusan yang seadil-adilnya.

Revolusi mental yang dicanangkan Presiden Joko Widodo hendaknya dapat diimplementasikan pada semua bidang bukan hanya selogan dalam mengisi sebuah jabatan.

Begitu pula bagi penegakan hukum di Indonesia harus dilakukan revolusi mental bagi para penegak hukum, sehingga nanti kepercayaan masyarakat akan hukum di negeri ini pulih kembali, ujar Ida Bagus Radendra Suastama. (WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014