Denpasar (Antara Bali) - Hari bebas kendaraan atau "car free day" di kawasan Lapangan Puputan Renon, Denpasar, Bali, diwarnai pertunjukan "ngelawang" yang dilakukan oleh sejumlah anak-anak sebagai tradisi usai Hari Raya Galungan.
"Kami ingin mengajak anak-anak untuk ikut berpartisipasi melangsungkan tradisi yang kini banyak ditinggalkan generasi muda," kata Pembina pertunjukan barong "ngelawang", Ngakan Made Ardana di Denpasar, Minggu.
Pertunjukan "ngelawang" itu ditampilkan oleh sepuluh anak-anak dari Sanggar Bangsing Bhuana Sari dari Desa Werdi Bhuwana, Mengwi, Kabupaten Badung.
Sekitar sepuluh menit mereka menampilkan pertunjukan "ngelawang" yang diiringi alunan gong tradisional Bali di depan Podium Bebas Bicara yang kebetulan digelar setiap Minggu di lapangan setempat.
Anak-anak itu, kata Ngakan, merupakan binaan Pemerintah Provinsi Bali yang mengharapkan generasi muda kembali mencintai tradisi leluhur yang kini mulai tergeser oleh kemajuan zaman.
Pertunjukan "ngelawang" itupun sontak mendapat perhatian masyarakat yang saat itu tengah melakukan olahraga pagi.
Usai menggelar pertunjukkan di podium tersebut, anak-anak itu kemudian berjalan keliling lapangan untuk menampilkan barong "ngelawang".
"Ngelawang" memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan yang dipentaskan mewarnai perayaan Galungan, hari raya yang dilaksanakan enam bulan sekali itu untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).
Tradisi itu memiliki makna untuk menetralisir alam semesta dan menolak segela jenis penyakit yang menggangu kehidupan manusia pada Hari Raya Galungan.
"Ngelawang" dengan membawakan barong "bangkung" atau babi betina itu kini makin jarang dipentaskan sebagai tradisi leluhur di kalangan generasi muda, terlebih di kota besar seperti Denpasar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Kami ingin mengajak anak-anak untuk ikut berpartisipasi melangsungkan tradisi yang kini banyak ditinggalkan generasi muda," kata Pembina pertunjukan barong "ngelawang", Ngakan Made Ardana di Denpasar, Minggu.
Pertunjukan "ngelawang" itu ditampilkan oleh sepuluh anak-anak dari Sanggar Bangsing Bhuana Sari dari Desa Werdi Bhuwana, Mengwi, Kabupaten Badung.
Sekitar sepuluh menit mereka menampilkan pertunjukan "ngelawang" yang diiringi alunan gong tradisional Bali di depan Podium Bebas Bicara yang kebetulan digelar setiap Minggu di lapangan setempat.
Anak-anak itu, kata Ngakan, merupakan binaan Pemerintah Provinsi Bali yang mengharapkan generasi muda kembali mencintai tradisi leluhur yang kini mulai tergeser oleh kemajuan zaman.
Pertunjukan "ngelawang" itupun sontak mendapat perhatian masyarakat yang saat itu tengah melakukan olahraga pagi.
Usai menggelar pertunjukkan di podium tersebut, anak-anak itu kemudian berjalan keliling lapangan untuk menampilkan barong "ngelawang".
"Ngelawang" memiliki makna melanglang atau mengelilingi lingkungan yang dipentaskan mewarnai perayaan Galungan, hari raya yang dilaksanakan enam bulan sekali itu untuk merayakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).
Tradisi itu memiliki makna untuk menetralisir alam semesta dan menolak segela jenis penyakit yang menggangu kehidupan manusia pada Hari Raya Galungan.
"Ngelawang" dengan membawakan barong "bangkung" atau babi betina itu kini makin jarang dipentaskan sebagai tradisi leluhur di kalangan generasi muda, terlebih di kota besar seperti Denpasar. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014