Jakarta (Antara Bali) - Pemerintah memperkirakan volume impor untuk menutupi defisit penyediaan bahan bakar minyak di dalam negeri bakal mencapai 575 ribu barel per hari pada 2015.
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi di Jakarta, Jumat mengatakan, defisit BBM bakal terus selama belum ada penambahan kapasitas produksi kilang di dalam negeri.
"Konsumsi BBM meningkat, sementara produksi kilang dalam negeri cenderung stagnan sampai nanti ada penambahan kapasitas dalam beberapa tahun mendatang," katanya.
Menurut Agus Cahyono, pemerintah memiliki dua skema kebijakan penambahan kapasitas kilang BBM yakni pembangunan baru dan meningkatkan kapasitas yang ada.
"Pembangunan kilang baru dimungkinkan melalui APBN murni, kemitraan pemerintah dan swasta (KPS), atau swasta murni," katanya.
Untuk kilang KPS, pemerintah sudah melakukan studi kelayakan menyangkut teknis, sosial ekonomi, dan konfigurasi kilang tersebut.
Pemerintah juga telah melakukan konsultasi pasar di Singapura pada Februari 2015 untuk menjaring investor yang nantinya akan bermitra dengan Pertamina.
Investor kilang KPS disyaratkan memiliki empat hal yakni membawa teknologi tinggi, memiliki kejelasan pasokan "crude", memproduksi petrokimia, dan memiliki sumber daya manusia yang profesional.
Pemerintah akan memberi kemudahan perizinan, insentif, menyediakan lahan, dan memfasilitasi investor yang akan menjadi mitra Pertamina.
Sementara, Pertamina akan menjadi pembeli siaga (offtaker) produk kilang yang direncanakan berkapasitas 300.000 barel "crude" per hari.
Siapkan lahan
Pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 500 ha di Bontang, Kalimantan Timur sebagai bakal lokasi kilang.
Meski, pemerintah mempersilakan pula Pertamina membangun kilang di daerah lain yang memungkinkan.
Awalnya, pemerintah berkeinginan membangun sendiri kilang dengan dana APBN.
Namun, akhirnya diputuskan menggandeng investor swasta dengan skema KPS.
Sementara, di sisi lain, Pertamina sudah menyiapkan penambahan kapasitas kilang yang ada dari saat ini 820 ribu menjadi 1,68 juta barel per hari pada 2018-2019.
Program yang disebut "refinery development master plan" (RDMP) itu dilakukan di lima kilang pengolahan dengan perkiraan nilai investasi sekitar 25 miliar dolar AS.
Pada 10 Desember 2014, Pertamina menandatangani nota kesepahaman dengan tiga perusahaan migas kelas dunia untuk melakukan RDMP tersebut.
Perusahaan tersebut adalah Saudi Aramco (Arab Saudi) untuk meningkatkan kapasitas di tiga kilang yakni Dumai, Riau; Cilacap, Jateng; dan Balongan, Jabar.
Lalu, Sinopec (Tiongkok) untuk kilang di Plaju, Sumsel dan JX Nippon Oil & Energy (Jepang) di Kilang Balikpapan, Kaltim.
Dengan RDMP, kapasitas kilang di Dumai naik dari 140 ribu menjadi 300 ribu per hari, Plaju dari 90 ribu menjadi 300 ribu, Cilacap dari 270 ribu jadi 370 ribu, Balikpapan dari 220 ribu jadi 360 ribu, dan Balongan dari 100 ribu menjadi 350 ribu barel per hari.
Produksi premium akan meningkat sebanyak 3,3 kali lipat dari 190.000 menjadi 630.000 barel per hari, diesel naik 2,4 kali dari 320.000 menjadi 770.000 barel per hari, dan avtur dari 50.000 menjadi 120.000 barel per hari.
Selain BBM, produk petrokimia seperti propilen dan polipropilen naik 9,5 kali dari 200.000 ton menjadi 1,89 juta ton per tahun.
Saat ini, Indonesia memiliki delapan kilang pengolahan minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas mencapai 1,166 juta barel per hari.
Kedelapan kilang tersebut adalah enam unit milik PT Pertamina (Persero) yakni Dumai, Riau berkapasitas 177 ribu barel per hari, Plaju, Sumsel 128 ribu, Balongan, Jabar 125 ribu, Cilacap, Jateng 348 ribu, Balikpapan, Kaltim 260 ribu, dan Kasim, Papua 10 ribu.
Lalu, kilang yang dioperasikan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) berkapasitas 100 ribu barel dan PT Tri Wahana Universal 18 ribu barel per hari.
Namun, dari kapasitas 1,166 juta barel per hari tersebut, saat ini, hanya memproduksi BBM sekitar 800.000 barel per hari. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Direktur Pembinaan Program Migas Kementerian ESDM Agus Cahyono Adi di Jakarta, Jumat mengatakan, defisit BBM bakal terus selama belum ada penambahan kapasitas produksi kilang di dalam negeri.
"Konsumsi BBM meningkat, sementara produksi kilang dalam negeri cenderung stagnan sampai nanti ada penambahan kapasitas dalam beberapa tahun mendatang," katanya.
Menurut Agus Cahyono, pemerintah memiliki dua skema kebijakan penambahan kapasitas kilang BBM yakni pembangunan baru dan meningkatkan kapasitas yang ada.
"Pembangunan kilang baru dimungkinkan melalui APBN murni, kemitraan pemerintah dan swasta (KPS), atau swasta murni," katanya.
Untuk kilang KPS, pemerintah sudah melakukan studi kelayakan menyangkut teknis, sosial ekonomi, dan konfigurasi kilang tersebut.
Pemerintah juga telah melakukan konsultasi pasar di Singapura pada Februari 2015 untuk menjaring investor yang nantinya akan bermitra dengan Pertamina.
Investor kilang KPS disyaratkan memiliki empat hal yakni membawa teknologi tinggi, memiliki kejelasan pasokan "crude", memproduksi petrokimia, dan memiliki sumber daya manusia yang profesional.
Pemerintah akan memberi kemudahan perizinan, insentif, menyediakan lahan, dan memfasilitasi investor yang akan menjadi mitra Pertamina.
Sementara, Pertamina akan menjadi pembeli siaga (offtaker) produk kilang yang direncanakan berkapasitas 300.000 barel "crude" per hari.
Siapkan lahan
Pemerintah telah menyiapkan lahan seluas 500 ha di Bontang, Kalimantan Timur sebagai bakal lokasi kilang.
Meski, pemerintah mempersilakan pula Pertamina membangun kilang di daerah lain yang memungkinkan.
Awalnya, pemerintah berkeinginan membangun sendiri kilang dengan dana APBN.
Namun, akhirnya diputuskan menggandeng investor swasta dengan skema KPS.
Sementara, di sisi lain, Pertamina sudah menyiapkan penambahan kapasitas kilang yang ada dari saat ini 820 ribu menjadi 1,68 juta barel per hari pada 2018-2019.
Program yang disebut "refinery development master plan" (RDMP) itu dilakukan di lima kilang pengolahan dengan perkiraan nilai investasi sekitar 25 miliar dolar AS.
Pada 10 Desember 2014, Pertamina menandatangani nota kesepahaman dengan tiga perusahaan migas kelas dunia untuk melakukan RDMP tersebut.
Perusahaan tersebut adalah Saudi Aramco (Arab Saudi) untuk meningkatkan kapasitas di tiga kilang yakni Dumai, Riau; Cilacap, Jateng; dan Balongan, Jabar.
Lalu, Sinopec (Tiongkok) untuk kilang di Plaju, Sumsel dan JX Nippon Oil & Energy (Jepang) di Kilang Balikpapan, Kaltim.
Dengan RDMP, kapasitas kilang di Dumai naik dari 140 ribu menjadi 300 ribu per hari, Plaju dari 90 ribu menjadi 300 ribu, Cilacap dari 270 ribu jadi 370 ribu, Balikpapan dari 220 ribu jadi 360 ribu, dan Balongan dari 100 ribu menjadi 350 ribu barel per hari.
Produksi premium akan meningkat sebanyak 3,3 kali lipat dari 190.000 menjadi 630.000 barel per hari, diesel naik 2,4 kali dari 320.000 menjadi 770.000 barel per hari, dan avtur dari 50.000 menjadi 120.000 barel per hari.
Selain BBM, produk petrokimia seperti propilen dan polipropilen naik 9,5 kali dari 200.000 ton menjadi 1,89 juta ton per tahun.
Saat ini, Indonesia memiliki delapan kilang pengolahan minyak mentah menjadi BBM dengan kapasitas mencapai 1,166 juta barel per hari.
Kedelapan kilang tersebut adalah enam unit milik PT Pertamina (Persero) yakni Dumai, Riau berkapasitas 177 ribu barel per hari, Plaju, Sumsel 128 ribu, Balongan, Jabar 125 ribu, Cilacap, Jateng 348 ribu, Balikpapan, Kaltim 260 ribu, dan Kasim, Papua 10 ribu.
Lalu, kilang yang dioperasikan PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) berkapasitas 100 ribu barel dan PT Tri Wahana Universal 18 ribu barel per hari.
Namun, dari kapasitas 1,166 juta barel per hari tersebut, saat ini, hanya memproduksi BBM sekitar 800.000 barel per hari. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014