Bangli (Antara Bali) - Ritual "mapegat sot" yang merupakan upacara untuk memutus kutukan "raksasa" dan menghilangkan wabah penyakit, akan digelar di Pura Dalem Desa Bukih, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Bali, Senin (30/8) mendatang.
"Prosesi ritual mapegat sot itu merupakan rangkaian dari upacara 'ngaben raksasa' yang telah dilaksanakan pada Senin (23/8) lalu," kata I Nyaman Lanus, tokoh adat Desa Bukih, Kintamani, Jumat.
Ia menambahkan, prosesi ritual itu akan dilaksanakan di Pura Dalem Desa Bukih, sebuah tempat ibadah bagi umat Hindu yang berdiri di dekat tempat pemakaman.
Pada ritual itu, warga Desa Bukih akan dilukat (dibersihkan dengan air suci) oleh para pemangku atau tokoh spiritual setempat, katanya.
Ia menjelaskan, prosesi itu pertama kali dilakukan pada tahun ini, karena warga setempat banyak yang menderita sakit yang tergolong aneh.
Penyakit aneh tersebut antara lain sakit kepala tanpa sebab dan tiba-tiba, berteriak laksana orang gila, gatal-gatal di tubuh muncul setiap saat, dan lain sebagainya.
"Berdasarkan hasil rembug warga, akhirnya kami memutuskan untuk menggelar ritual 'mapegat sot'," jelasnya.
Sebelum dilakukan ritual "mapegat sot", sambung Lanus, pihaknya sudah menggelar "ngaben raksasa" pada Senin lalu. Maksud dan tujuan dari prosesi ngaben hingga ritual "mapegat sot" adalah untuk melepaskan kutukan dari seorang yang bertubuh tinggi besar (raksasa), yang sempat dibunuh warga pada jaman dahulu.
Berdasarkan mitos yang berkembang, disebutkan bahwa pada jaman dahulu ada seorang warga menjelma menjadi raksasa, dikenal dengan nama "Kaki Raksase" (kakek raksasa).
Setelah mencicipi adonan atau masakan khas Bali, lawar, yang tak sengaja dicampur dengan darah dari warga yang "ngadonang" itu, kata Lanus, Kaki Raksase tidak bisa menahan hasrat untuk terus memangsa manusia. Kemudian dia mengasingkan diri di dalam sebuah goa di jurang yang berada di sebelah selatan batas Desa Bukih.
"Sejak saat itulah Kaki Raksase semakin kejam dan bengis untuk memenuhi hasratnya memangsa manusia," ujarnya menuturkan.
Buktinya, kata Lanus, setiap warga melakukan upacara keagamaan, Kaki Raksase selalu menculik penari yang berbaris paling belakang untuk dijadikan santapan.
Sebagai puncak dari kekesalan warga, akhirnya mereka menyerbu dan membakar hidup-hidup raksasa itu di dalam goa dengan menggunakan tumpukan ijuk, katanya.
Hingga kini, ucap Lanus, bukti-bukti keberadaan Kaki Raksasa terlihat masih ada.
Berdasarkan mitos berkembang, sebelum tewas Kaki Raksasa sempat mengutuk warga Desa Bukih agar tidak bisa berkembang lebih dari tujuh kepala keluarga. Selain itu, Kaki Raksasa juga tetap akan meminta bagian sesajen pada setiap upacara keagamaan di pura.
"Atas dasar itu dan dibuktikan dengan sejumlah peristiwa ganjil yang kini kerap terjadi di wilayah desa, maka kami sepakat untuk menggelar upacara 'ngaben raksasa' yang dirangkaikan dengan 'mapegat sot' yang bertujuan untuk mengembalikan ketentraman desa dari gangguan arwah Kaki Raksasa yang diyakini masih gentayangan," ucapnya.
Sepintas, prosesi ngaben raksasa yang telah dilaksanakan itu, kata Lanus, tidak ada bedanya dengan ngaben yang dilakukan pada umumnya di Bali.
Warga membuat simbol raksasa di atas kain putih, kemudian kain itu dibakar, terus diupacarai laksana pengabenan orang yang telah meninggal dunia, ucap Lanus.
"Rangkaian dari ngaben raksasa itulah pada Senin mendatang digelar ritual mapegat sot untuk memutus gangguan arwah Kaki Raksasa bagi warga di desa kami," katanya menjelaskan.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Prosesi ritual mapegat sot itu merupakan rangkaian dari upacara 'ngaben raksasa' yang telah dilaksanakan pada Senin (23/8) lalu," kata I Nyaman Lanus, tokoh adat Desa Bukih, Kintamani, Jumat.
Ia menambahkan, prosesi ritual itu akan dilaksanakan di Pura Dalem Desa Bukih, sebuah tempat ibadah bagi umat Hindu yang berdiri di dekat tempat pemakaman.
Pada ritual itu, warga Desa Bukih akan dilukat (dibersihkan dengan air suci) oleh para pemangku atau tokoh spiritual setempat, katanya.
Ia menjelaskan, prosesi itu pertama kali dilakukan pada tahun ini, karena warga setempat banyak yang menderita sakit yang tergolong aneh.
Penyakit aneh tersebut antara lain sakit kepala tanpa sebab dan tiba-tiba, berteriak laksana orang gila, gatal-gatal di tubuh muncul setiap saat, dan lain sebagainya.
"Berdasarkan hasil rembug warga, akhirnya kami memutuskan untuk menggelar ritual 'mapegat sot'," jelasnya.
Sebelum dilakukan ritual "mapegat sot", sambung Lanus, pihaknya sudah menggelar "ngaben raksasa" pada Senin lalu. Maksud dan tujuan dari prosesi ngaben hingga ritual "mapegat sot" adalah untuk melepaskan kutukan dari seorang yang bertubuh tinggi besar (raksasa), yang sempat dibunuh warga pada jaman dahulu.
Berdasarkan mitos yang berkembang, disebutkan bahwa pada jaman dahulu ada seorang warga menjelma menjadi raksasa, dikenal dengan nama "Kaki Raksase" (kakek raksasa).
Setelah mencicipi adonan atau masakan khas Bali, lawar, yang tak sengaja dicampur dengan darah dari warga yang "ngadonang" itu, kata Lanus, Kaki Raksase tidak bisa menahan hasrat untuk terus memangsa manusia. Kemudian dia mengasingkan diri di dalam sebuah goa di jurang yang berada di sebelah selatan batas Desa Bukih.
"Sejak saat itulah Kaki Raksase semakin kejam dan bengis untuk memenuhi hasratnya memangsa manusia," ujarnya menuturkan.
Buktinya, kata Lanus, setiap warga melakukan upacara keagamaan, Kaki Raksase selalu menculik penari yang berbaris paling belakang untuk dijadikan santapan.
Sebagai puncak dari kekesalan warga, akhirnya mereka menyerbu dan membakar hidup-hidup raksasa itu di dalam goa dengan menggunakan tumpukan ijuk, katanya.
Hingga kini, ucap Lanus, bukti-bukti keberadaan Kaki Raksasa terlihat masih ada.
Berdasarkan mitos berkembang, sebelum tewas Kaki Raksasa sempat mengutuk warga Desa Bukih agar tidak bisa berkembang lebih dari tujuh kepala keluarga. Selain itu, Kaki Raksasa juga tetap akan meminta bagian sesajen pada setiap upacara keagamaan di pura.
"Atas dasar itu dan dibuktikan dengan sejumlah peristiwa ganjil yang kini kerap terjadi di wilayah desa, maka kami sepakat untuk menggelar upacara 'ngaben raksasa' yang dirangkaikan dengan 'mapegat sot' yang bertujuan untuk mengembalikan ketentraman desa dari gangguan arwah Kaki Raksasa yang diyakini masih gentayangan," ucapnya.
Sepintas, prosesi ngaben raksasa yang telah dilaksanakan itu, kata Lanus, tidak ada bedanya dengan ngaben yang dilakukan pada umumnya di Bali.
Warga membuat simbol raksasa di atas kain putih, kemudian kain itu dibakar, terus diupacarai laksana pengabenan orang yang telah meninggal dunia, ucap Lanus.
"Rangkaian dari ngaben raksasa itulah pada Senin mendatang digelar ritual mapegat sot untuk memutus gangguan arwah Kaki Raksasa bagi warga di desa kami," katanya menjelaskan.(*)
Editor : Masuki
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010