Denpasar (Antara Bali) - Pelaku pariwisata Bali Gusti Agung Prana mengatakan pelibatan masyarakat dengan kearifan lokalnya menjadi kunci penting guna mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan memutus rantai kemiskinan di Indonesia.
"Salah satu contoh upaya untuk mengembangkan desa tertinggal, seperti yang dilakukan di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, tak bisa dilepaskan dari faktor pendukung lainnya," katanya kepada media di Kabupaten Tabanan, Bali, Jumat.
Ia mengatakan waktu itu, kondisi Desa Pemuteran sangat memprihatinkan karena masyarakatnya dihimpit kemiskinan. Kekeringan menjadi pemandangan biasa.
Padahal, kata dia, banyak potensi sumber daya alam di wilayah tersebut seperti perairan dan panorama bukit dan pegunungan yang indah.
Mulailah, Agung Prana mengenalkan konsep pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada kearifan lokal dan otentisitas yang dimiliki. Selama beberapa tahun akhirnya bisa mengajak masyarakat untuk memiliki dan membangun kepariwisataan berbasis masyarakat.
"Untuk melindungi masyarakat kecil maka dibuatlah `awig-awig` atau aturan adat yang mengatur bahwa pembangunan akomodasi pondok wisata hanya boleh dilakukan oleh warga setempat," kata mantan Ketua ASITA Bali itu.
Demikian pula, berbagai sarana dan kegiatan pariwisata dikelola oleh masyarakat setempat mulai wisata bahari, snorkeling, diving hingga penanaman terumbu karang, tak lepas dari keterlibatan mereka.
Hal sama, dilakukan Agung Prana dengan terus berjuang melakukan pendekatan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti juga dilakukan di daerah di Subak Uma Abian, Desa Belayu, Kabupaten Tabanan.
Ia mengatakan pihaknya mengubah pikiran masyarakat agar bisa mempertahankan lahan yang dimiliki dan membangun harapan baru.
Keberadaan subak (sistem pengairan di Bali), misalnya yang telah mendapat pengakuan dari Badan Dunia Unesco sebagai warisan budaya yang mesti dilestarikan, harus tetap dipertahankan.
"Yang kita lakukan adalah merevitalisasi subak yang telah diapresiasi dunia itu menjadi destinasi yang menarik," katanya.
Selain itu, kata dia, upaya untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan dengan mengedukasi masyarakat, tentang pentingnya menjaga lahan pertanian atau subak mereka dari kepentingan komersial atau kapital.
Hal itu diakuinya tidak mudah, sebab, lahan-lahan pertanian yang masih subur menjadi incaran para calo tanah, yang mengimingi warga dengan harga selangit. Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan.
Berkat kerja kerasnya itu, Agung Prana, bahkan telah dianugerahi sebagai "social enterpreunership" dan diminta berbicara di forum-forum internasional.
Dia banyak bicara tentang pentingnya menjaga kearifan lokal dan pelibatan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Menurutnya, predikat "social enterpreuership" bisa dicapai dengan pendekatan hati dan menjaga sesuatu yang otentik di masyarakat. Harus ada soluasi yang dihasilkan dalam mengatasi kendala yang ada.
"Saya punya keyakinan bahwa kehancuran pariwisata itu bisa dicegah dengan mengembangkan kearifan lokal dan memberdayakan masyarakat, kita harus dorong kesadaran dan partisipaasi rakyat, karena itu kunci keberhasilan pembangunan pariwisata kita," kata Agung Prana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Salah satu contoh upaya untuk mengembangkan desa tertinggal, seperti yang dilakukan di Desa Pemuteran, Kabupaten Buleleng, tak bisa dilepaskan dari faktor pendukung lainnya," katanya kepada media di Kabupaten Tabanan, Bali, Jumat.
Ia mengatakan waktu itu, kondisi Desa Pemuteran sangat memprihatinkan karena masyarakatnya dihimpit kemiskinan. Kekeringan menjadi pemandangan biasa.
Padahal, kata dia, banyak potensi sumber daya alam di wilayah tersebut seperti perairan dan panorama bukit dan pegunungan yang indah.
Mulailah, Agung Prana mengenalkan konsep pembangunan berkelanjutan yang bertumpu pada kearifan lokal dan otentisitas yang dimiliki. Selama beberapa tahun akhirnya bisa mengajak masyarakat untuk memiliki dan membangun kepariwisataan berbasis masyarakat.
"Untuk melindungi masyarakat kecil maka dibuatlah `awig-awig` atau aturan adat yang mengatur bahwa pembangunan akomodasi pondok wisata hanya boleh dilakukan oleh warga setempat," kata mantan Ketua ASITA Bali itu.
Demikian pula, berbagai sarana dan kegiatan pariwisata dikelola oleh masyarakat setempat mulai wisata bahari, snorkeling, diving hingga penanaman terumbu karang, tak lepas dari keterlibatan mereka.
Hal sama, dilakukan Agung Prana dengan terus berjuang melakukan pendekatan untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian seperti juga dilakukan di daerah di Subak Uma Abian, Desa Belayu, Kabupaten Tabanan.
Ia mengatakan pihaknya mengubah pikiran masyarakat agar bisa mempertahankan lahan yang dimiliki dan membangun harapan baru.
Keberadaan subak (sistem pengairan di Bali), misalnya yang telah mendapat pengakuan dari Badan Dunia Unesco sebagai warisan budaya yang mesti dilestarikan, harus tetap dipertahankan.
"Yang kita lakukan adalah merevitalisasi subak yang telah diapresiasi dunia itu menjadi destinasi yang menarik," katanya.
Selain itu, kata dia, upaya untuk mewujudkan pariwisata yang berkelanjutan dengan mengedukasi masyarakat, tentang pentingnya menjaga lahan pertanian atau subak mereka dari kepentingan komersial atau kapital.
Hal itu diakuinya tidak mudah, sebab, lahan-lahan pertanian yang masih subur menjadi incaran para calo tanah, yang mengimingi warga dengan harga selangit. Kondisi itu diperparah dengan lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam mencegah terjadinya alih fungsi lahan.
Berkat kerja kerasnya itu, Agung Prana, bahkan telah dianugerahi sebagai "social enterpreunership" dan diminta berbicara di forum-forum internasional.
Dia banyak bicara tentang pentingnya menjaga kearifan lokal dan pelibatan masyarakat dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Menurutnya, predikat "social enterpreuership" bisa dicapai dengan pendekatan hati dan menjaga sesuatu yang otentik di masyarakat. Harus ada soluasi yang dihasilkan dalam mengatasi kendala yang ada.
"Saya punya keyakinan bahwa kehancuran pariwisata itu bisa dicegah dengan mengembangkan kearifan lokal dan memberdayakan masyarakat, kita harus dorong kesadaran dan partisipaasi rakyat, karena itu kunci keberhasilan pembangunan pariwisata kita," kata Agung Prana. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014