Bagi Bali tiada hari tanpa alunan suara gamelan dan gerak lincah orang menari. Alunan musik tradisional itu ibarat denyut nadi Pulau Dewata.

Geliat tari ibarat ritme kehidupan. Puspa ragam ekspresi seni tari tersaji dalam ritual keagamaan, aktivitas budaya, adat dan peristiwa sosial lainnya maupun yang digelar secara khusus sebagai tontonan wisatawan.

Menari bukan hanya dilakoni oleh gadis-gadis cantik dan perjaka-perjaka tampan. Dalam ritual agama Hindu yang dianut masyarakat Bali, orang-orang tua hingga anak-anak pun tampil menari.

Karena menari adalah kesukacitaan yang mengasyikkan sebagai sebuah persembahan sekaligus ekspresi estetik.

Pemerhati seni I Kadek Suartaya, SSKar, MSi, mengemukakan bahwa gong kebyar salah satu instrumen gamelan Bali yang telah seratus tahun mengawal budaya Bali dan kini keberadaannya telah mendunia.

Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar yang lahir di daerah "gudang seni" Bali, yakni Kabupaten Gianyar, 53 tahun silam ini menjelaskan gamelan gong kebyar yang muncul tahun 1914 atau 1915, telah menapak Benua Eropa pada tahun 1931.

Dalam ruang jelajah berikutnya, kata ahli gamelan Bali dan kerawitan ini, gong kebyar menyebar ke Benua Amerika, Asia, dan Australia. Di tanah kelahirannya Pulau Dewata, gong kebyar selain dimiliki oleh setiap desa atau banjar, juga oleh sanggar-sanggar seni pribadi, kantor pemerintah hingga sekolah-sekolah.

Gamelan berusia seabad ini juga dapat dijumpai di penjuru Nusantara, seperti di kota-kota besar Jakarta, Surabaya, dan Bandung hingga di lingkungan komunitas etnik Bali, seperti di Lampung, Palu, dan tanah Papua.

Gong kebyar pada awalnya berkembang di Bali utara. Kebaruan dan kecemerlangan yang diekspresikan gamelan yang dikembangan dari gamelan kuna gong gede, dengan cepat merebak ke seluruh Bali.

Setidaknya pada tahun 1930-an, euforia gamelan itu telah bergemuruh dalam pentas gong kebyar antarkerajaan se-Bali. Karakteristik musikal gong kebyar itu turut pula mempengaruhi prinsip-prinsip keindahan ansambel gamelan Bali yang lainnya, baik barungan gamelan yang lebih tua usianya, seperti gender wayang hingga gamelan yang lebih muda seperti gamelan joged bumbung.

Begitu kuatnya arus gong kebyar yang menggelinding dari Buleleng, sempat melibas keberadaan gamelan khas Bali selatan. Sekitar tahun 1950-1960 tidak sedikit gamelan semarapagulingan, palegongan, panyalonarangan misalnya, dilebur menjadi gamelan gong kebyar.

Paling Populer

Michael Tanzer, peneliti dari Amerika Serikat dalam bukunya, "Gamelan Gong Kebyar: The Art of Twentieth-Century Balinese Music" (2000) menyebut gong kebyar sebagi genre gamelan paling populer dan berpengaruh dari seluruh musik pada abad ke-20 yang berkembang di Pulau Bali.

Dalam bab pendahuluannya Tanzer menegaskan, gong kebyar memiliki sikap mandiri yang tegas dan penuh sadar diri, terbebas dari berbagai katagori dan fungsi musik sebelumnya, suatu sikap yang secara jelas terdengar dalam gerakan dan ritme musik, bahkan pada perkenalan pertama.

Rupanya sejak awal kelahiran gong kebyar memang diciptakan sebagai musik instrumentalia dan wadah bagi para komponisnya untuk mengekspresikan diri, kebebasan mencipta lagu baru, membuat aransemen yang rumit sebagai pertanda kreasi baru.

Gong kebyar memiliki keunikan, baik dari segi musikalnya maupun dalam konteks sosial budayanya. Kehadiran dan perjalanan gong kebyar di tengah masyarakat Bali beriringan dengan dinamika kebudayaan Bali, sejak prakemerdekaan hingga sekarang. Sebagai sebuah nilai budaya atau simbol masyarakat.

Gong kebyar turut serta mengawal budaya Bali dalam segala perubahan sosio-kulturalnya. Karakteristik budaya Bali dengan sinergi agama-estetika-solidaritasnya, menyertakan gamelan gong kebyar dalam berbagai ekspresi dan aktivitas masyarakat.

Demikian pula sebaliknya, sebagai ekspresi budaya, gong kebyar hadir sebagai representasi yang signifikan pada peristiwa dan prilaku budaya masyarakat Bali.

Sebab, musik pada dasarnya adalah suatu lambang dari hal-hal yang berkaitan dengan ide-ide maupun perilaku suatu masyarakat.

Seratus tahun terakhir ini, kehadiran gong kebyar dengan segala perubahannya seakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan berkesenian, ritual keagamaan, dan dinamika masyarakatnya.

Untuk memberi arti pada seabad gong kebyar memfokuskan pada dua hal, yakni pengaruh gong kebyar pada seni pertunjukan Bali, dan gong kebyar dalam konteks ekspresi budaya masyarakat Pulau Dewata.

Kedua hal itu, menurut Kadek Suartaya, yang juga kandidat doktor program pascasarjana Kajian Budaya Universitas Udayana dianalisis melalui pendekatan kajian teks dan konteks, sebab gong kebyar sebagai sebuah teks tentu memiliki keterkaitan dengan konteks sosial-kultural-religius kehidupan manusia, dalam hal ini manusia Bali.

Saling Mempengaruhi

Suartaya yang sering memperkuat tim kesenian Bali mengadakan lawatan ke mancanegara itu menjelaskan, gong kebyar yang lahir di Bali utara dengan cepat menyebar ke penjuru Bali.

Perkembangan pesat gong kebyar bukan hanya secara fisik namun juga secara konsep estetik, terutama secara fungsional. Secara fisik, gong kebyar telah dikenal luas di Bali pascakemerdekaan RI, baik gong kebyar buatan baru atau gong kebyar yang didaur dari gamelan-gamelan yang telah ada sebelumnya.

Pada awalnya, bentuk fisik gong kebyar milik sebuah desa atau banjar, umumnya dengan tungguh instrumen yang masih bersahaja sering disebut lelengisan atau tanpa ukiran dan warna prada.

Hingga dimulainya lomba gong kebyar atau utsawa merdangga pada tahun 1968, utusan masing-masing kabupaten dan kota di Bali masih tampil dengan fisik gamelan yang sederhana.

Kendati dalam bentuk fisik yang sederhana, biasanya gong kebyar yang dibeli dengan susah payah itu oleh warga desa atau banjar pemiliknya, dipelihara dengan telaten. Tidak sembarang warga, terutama anak-anak, dibolehkan memainkan gamelan.

Sebab untuk dapat mengikuti trend gong kebyar yang merebak di Bali itu memerlukan biaya dan pengorbanan yang berat pada situasi krisis ekonomi yang sedang terpuruk.

Selain biaya uang, masyarakat yang ingin memiliki gong kebyar juga berkorban perasaan yang harus melebur gamelan yang telah dimiliki seperti semarapagulingan atau palegongan misalnya agar dapat berkebyaria.

Namun begitu kuatnya pesona gong kebyar memaksa masyarakat desa atau banjar mengikhlaskan gamelan warisan leleluhurnya diubah menjadi gong kebyar.

Ansambel gong kebyar sangat berpengaruh kepada gamelan lainnya. Pengaruh fisikal dari perkembangan kebyar itu dibarengi pula dengan pengaruh estetik musikal. Estetika ngebyar menjalar pada ekspresi musikal sejumlah gamelan Bali yang lainnya.

Ngebyar, kata dia, secara teknis musikal dalam seni tabuh didefinisikan sebagai sesuatu ungkapan secara serentak, keras, cepat, ramai, riuh, lincah, aksentuatif, sarat kejutan, dan seterusnya.

Dari sudut etimologis, kebyar sebagai sebuah istilah dalam bahasa Bali dapat dipandang secara audio dan visual. Secara audio kebyar adalah bunyi yang keras serentak dan secara visual kebyar adalah sinar sesaat yang terang benderang.

Karakteristik musikal ngebyar, secara sadar dan tak sadar, mewarnai estetika sebagian seni karawitan Bali seperti tampak dalam gender wayang, angklung, joged bumbung, dan balaganjur. (MFD)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014